Wednesday, October 13, 2010

Pakasaan Toudano setelah kedatangan Bangsa Barat

Ikrar Minaesa untuk menghadapi raja Bolaang Mongondow telah mengukuhkan rasa persaudaraan di antara suku-suku di Malesung, dan ikrar itu juga adalah untuk menentang hal-hal yang merugikan kepentingan mereka bersama. Ketika keserakahan bangsa-bangsa Barat membawa mereka sampai ke Asia Tenggara, maka nampaklah kepada bangsa-bangsa Barat itu bahwa persatuan merupakan ancaman utama mereka.

Spanyol datang pertama kali sebagai pedagang, kemudian setelah beberapa lama, tampaklah bahwa mereka bukan sekedar datang untuk berdagang. Walak Tondano yang awalnya menerima mereka sebagai mitra dagang, akhirnya harus mengalami kelicikan dan kesewenang-wenangan mereka, sama seperti yang terjadi di seluruh Minaesa. Serdadu Spanyol dengan semena-mena memperlakukan rakyat Minahasa dan mengganggu perempuan.1 R. E. H. Kotambunan (mengutip T. A. Worotikan2) menceritakan tentang salah seorang Kepala Walak Toudano, Mononimbar, yang diberi minuman keras oleh pemimpin Spanyol, Don Pedro Alkasas, sampai mabuk kemudian digantung di sebuah pohon, karena ia dituduh tidak bisa mengumpulkan padi yang dituntut Spanyol, sekalipun sebenarnya padi itu sudah diberikan. Di Sawangan, Tonsea, beberapa orang Spanyol dan serdadu Ternate membunuh walian-walian pada suatu upacara poso, dan menculik beberapa perempuan dan dijadikan budak belian.3 Akhirnya, ketika seorang serdadu Spanyol menampar Lumi, karena ia menolak mengakui raja angkatan Spanyol untuk Malesung, Tombulu mengangkat senjata melawan Spanyol. Minaesa pun turun tangan.

Dari catatan Juan Yranzo, seorang misionari Katolik yang bekerja di Minahasa pada waktu itu, disebutkan bahwa kurang lebih ada 10.000 serdadu pribumi serentak menyerang mereka, menangkap 22 orang yang dijadikan tawanan dan menghukum mati 19 orang.4

Spanyol berhasil dienyahkan dari tanah Malesung. Tapi kekuatiran telah menyelimuti hati para pimpinan walak, telah diperhitungkan bahwa kekuatan Spanyol terlalu besar untuk dihadapi oleh Serikat. Tombulu yang merasa sebagai pemrakarsa perang terhadap Spanyol berangkat menemui pimpinan Belanda di Ternate, menawarkan hubungan kerja sama antara Kerajaan Manado dan Belanda.5

Belanda belum menanggapi permintaan Tombulu, dan Spanyol akhirnya terlihat kembali mengambil beras di Kali, membawa rasa kuatir yang dalam pada pihak Minaesa. Kembali utusan yang kedua menemui pimpinan Belanda di Ternate, meyakinkan mereka bahwa Minahasa merupakan wilayah strategis dengan padi yang dihasilkannya. Upaya ini akhirnya membuahkan hasil. Dengan kedatangan Belanda, maka Spanyol pun terpaksa tak bisa lagi memijakkan kakinya di Minahasa.

Ketika Belanda tiba di Minahasa, mereka melihat bahwa Walak Tondano sebagai salah satu penghasil beras utama tidak sungkan menunjukkan pribadi mereka yang bebas dan merdeka. Segera saja mereka dilihat sebagai ancaman yang harus diatasi terlebih dahulu. Hubungan dengan Spanyol merupakan isu yang sensitif di Minahasa pada waktu itu, dan Belanda memanfaatkannya untuk memperalat Raja Manado dan walak-walak di Minahasa untuk menyerang Tondano, supaya Belanda dapat menguasai padi yang dihasilkannya. Itulah Perang Tondano Pertama (1661) yang berakhir pada kehancuran pemukiman Tondano dan penyitaan terhadap peralatan-peralatan perang mereka. Peristiwa ini adalah awal dari redupnya cahaya perserikatan Minaesa, menandai tahun-tahun pertentangan dan perselishan antara walak satu dengan yang lain, saling membunuh dan menghancurkan antara mereka sendiri.

Pada waktu walak-walak Minahasa mengadakan pertemuan di Watu Pinawetengan untuk memerangi Belanda, beberapa pemimpin Tonsea yang telah tertipu oleh Belanda tidak datang dan membantu Belanda dalam Perang Tondano 1808-1809.

Berbagai perselisihan antar walak terjadi ketika Belanda bercokol di tanah Minahasa. Perselisihan-perselisihan ini dikomentari oleh orang Belanda dan ditulis oleh penulis mereka, dan apa yang mereka tulis adalah perselisihan-perselisihan yang terjadi adalah akibat orang-orang Minahasa gemar berperang, suka berburu kepala orang, dan mereka saling membenci. Orang Minahasa yang mengerti sejarahnya akan menentang pendapat ini. Setiap kali ada pertentangan antara satu suku dengan yang lainnya, menurut adat kebiasaan mereka bertemu dan bermusyawarah di Watu Pinawetengan. Namun setelah kedatangan Belanda, suku-suku terkesan cenderung menggunakan kekerasan ketika berselisih antara satu terhadap yang lain. (Satu hal yang perlu dipertanyakan.) Tahun 1699 Belanda memperbaharui kontrak dengan Minahasa, salah satu poinnya adalah: Kepala-kepala walak hanya boleh memaklumkan perang atau mengadakan perdamaian dengan keluasan V.O.C.6

Setelah ikrar Minaesa dan mengalahkan Bolaang Mongondow, Pakasaan Tondano terlibat perang melawan penjajah Belanda (1661). Belanda dibantu oleh Raja Manado dan suku-suku Minahasa lainnya. Waktu itu Pakasaan Tondano dikalahkan dan pemukiman mereka dibakar. Pada waktu yang kemudian, Pakasaan Tondano terlibat dalam beberapa perselisihan dengan beberapa Pakasaan lainnya. Hal mana terjadi juga antara yang satu dengan yang lainnya. Pakasaan Toudano berselisih dengan Pakasaan Tombulu pada tahun 1707 dan nanti selesai pada tahun 1710. Tondano, Kakas dan Remboken melawan tiga walak kecil Manado, Ares dan Klabat.

Tahun 1808-1809 merupakan perang Minahasa melawan Belanda, di mana rakyat Toudano, serdadu Tomohon-Sarongsong dan Klabat berperang sampai titik penghabisan melawan serangan pasukan Belanda yang dibantu oleh sebagian walak Minahasa sendiri, serdadu Ternate, serdadu bantuan lainnya yang didatangkan Belanda untuk memadamkan perlawanan rakyat Minahasa di Benteng Moraya dan Benteng Pa’pal, Tondano.

Pada tahun 1861, Pakasaan Toudano berselisih mengenai perbatasan dengan suku Tonsea, di mana juga Pakasaan Toudano dikatakan mengklaim Tanjung Pulisan.7 Tonsea menganggap bahwa wilayah Sedangan-Amian adalah kepunyaan mereka menurut hasil musyawarah Watu Pinawetengan. Ada juga cerita-cerita tertentu disebutkan bahwa Toudano memasukkan semacam pajak kepada Tonsea karena menempati wilayah mereka. Cerita yang lain mengatakan bahwa suku Tonsea berkedudukan di Kembuan sampai pada ujung danau Tondano, sebelah Timur sungai Teberan (sekarang kuala Tondano). Jadi suku Toudano yang tadinya mendarat di sekitar Tanjung Pulisan dan berpindah ke wilayah Danau Tondano, konon disetujui untuk menempati tempat tersebut dan diwajibkan memberi ikan. Dari cerita-cerita inilah muncul istilah “ata ni Klabat” (budak Klabat [Tonsea]).

Dr. E.C. Godeé Molsbergen tak percaya bahwa orang-orang Toudano yang kuat dan lincah, yang menghendaki kebebasan dan secara terbuka dan teguh menyatakan pendapatnya dulu adalah ata ni Klabat.8 Menurutnya:

“orang-orang Tondano dapat dibedakan dari penduduk-penduduk distrik [sebelumnya: walak] yang lain. Mereka lebih halus dan tajam rautan mukanya. Warna kulit mereka beradab. Mata mereka agak hidup-hidup dan gerak-gerik mereka lebih bebas. Baik kaum pria dan wanita elok mukanya dan tubuhnya. Mereka adalah orang-orang yang dapat melakukan sesuatu.”

Memang sifat dan karakter Toudano yang tegas, berani, dan pantang mundur tak hanya sekedar cerita. Namun demikian halnya, itu tidak harus membuat mereka seakan-akan dapat berlaku sesuka hati mereka. Bukan tidak mungkin bahwa Toudano memberikan sesuatu kepada Tonsea jikalau memang pada suatu ketika mereka menempati tanah milik pusaka Tonsea; itu hal yang lumrah dan etis dalam adat kebudayaan Malesung. Hanya saja dalam penilaian saya, cerita ini tidak lebih dari politik kotor pemerintah kolonial, supaya kedua Pakasaan ini saling membenci satu dengan yang lain. Isilah “ata-ni-Klabat” adalah istilah kolonial, dan dapat dibaca dalam buku-buku Minahasa yang ditulis oleh orang Barat atau orang Minahasa yang terpengaruh dengan mental kolonial.

Dari kisah yang dikutip oleh Joutje Sendoh dari Hukum Besar Tonsea, Emor Sumampouw, yang mengatakan bahwa Pulisan dulu merupakan tempat di mana Tonsea dan Toudano bertempur melawan bajak laut Mangindanao, sebelum Toudano migrasi ke wilayah danau, menunjukkan bahwa kedua suku ini mempunyai hubungan yang baik. Apalagi ketika ikrar Minaesa itu dikumandangkan dan Pakasaan-Pakasaan Minahasa berdampingan menghalau tirani yang ingin menguasai mereka.

Namun memang kedatangan bangsa-bangsa Barat, terlebih khusus Kompeni Belanda, menyebabkan hubungan antar walak/pakasaan menjadi rentan konflik. Beberapa perselisihan antar walak lainnya adalah:9
1. Tomohon melawan Ares, Kalabat dan Negeri Baru
2. Tonsea melawan Amurang
3. Kakaskasen melawan Bantik
4. Tomohon melawan Tonsea, dan
5. Tonsea melawan Ares, Kalabat dan Negeri Baru.

Setelah Perang Tondano 1808-1809 yang menghancurkan pemukimannya dan menggugurkan banyak rakyat dan pahlawan-pahlawannya, Pakasaan Toudano memulai kembali dengan membangun pemukiman yang baru di pinggiran Sungai Teberan (Sungai Tondano) di bawah pengawasan Inggris. Ketika Belanda kembali menempati Minahasa, sejarah Pakasaan Toudano pada khususnya dan Minahasa pada umumnya, di antara konflik “sekutu dan jajahan” yang melekat pada dirinya, merenda sejarahnya yang melahirkan orang-orang besar yang namanya tertulis dalam sejarah Indonesia: dalam segala suka dan dukanya, dan kebanggaan yang tak terhindari.

Semoga saja dari memahami sejarahnya, Tou Minahasa telah benar-benar meresapi apa makna persatuan itu, dan mengetahui pahitnya perpecahan ketika kita membiarkan diri dihasut atau dipecah belah oleh pihak yang ingin menghancurkan kita. I ayat u santi!


Ray Maleke

-------

1 Girot Wuntu, Opcit. 14 menyebut dua tona’as Tondano di bunuh di Tataaran, yaitu: Mononimbar dan Rakian.
2 Geschiedenis uit de sagen der Minahassa, 353•157
3 Opcit. 21-22.
4 J. Wenas, Opcit., 44 mengutip H. van Kol, Uit Onze Kolonien, Leiden: 1903, 92-95.
5 Mereka menyebut Raja Manado karena kemungkinan mereka ingin supaya Belanda melihat mereka sebagai suatu kerajaan, karena jika menggunakan nama walak mungkin tidak terlalu kuat, karena waktu itu Minaesa belum dikenal sebagai suatu kesatuan politik.
6 F. S. Watuseke, Opcit., 27.
7 R. E. H. Kotambunan, Opcit., 40 mengutip E.C. Godeé Molsbergen, de Geschiedenis van Minahassa tot 1829, 14.
8 Menurut tulisan Giroth Wuntu, Graafland pernah dipukuli di Tondano karena dianggap sebagai “penghasut” dan “biang keladi” permusuhan antara Toudano dan Tonsea. Tidak disebutkan secara spesifik apa yang dimaksud sebenarnya. Opcit. 234-235.
9 F. S. Watuseke, Opcit. 30.

0 comments:



Lindungi Danau Kita dengan Menjaga Hutan Kita. Jangan biarkan ini terjadi!

http://www.wepa-db.net/pdf/0712forum/presentation26.pdf

Popular Posts