Thursday, October 14, 2010

Cerita Asal-Muasal Tou Minahasa

Berdasarkan tradisi turun temurun, anak-anak suku Minahasa, yakni: Tontemboan, Toudano, Tombulu, dan Tonsea (disebut suku utama), merupakan keturunan leluhur Toar dan Lumimuut. Awalnya mereka tinggal di Wulur Mahatus (Pegunungan Seribu) kemudian berpindah ke Watu Niutakan (dekat Tompaso Baru sekarang).1 Dalam nyanyian “Zazanian ni Karema” (Tombulu) yang dinyanyian pada upacara Mangorai2 dikisahkan tentang bagaimana sampai Toar dan Lumimuut menjadi suami-istri dan mendapatkan banyak keturunan. Pada babak ketiga syair terakhir nyanyian itu dikatakan:3

Yah niséra sana-awu, sé minakasuzu-mé:
Sé Makazua-Siouw, sé oki’
Wo Makatelu-Pitu, sé puyun
Karia né Pasiouwan-Telu, sé tou lakez
Sé kinasuzuan pé’ né ka’sa puyun-impuyun.

Artinya:4
Dan mereka suami-istri itu (Toar dan Lumimuut), mendapatkan keturunan:
yang 2x9, yakni anak-anak,
dan 3x7, yakni cucu-cucu,
bersama 9x3, yakni orang banyak.
Mereka juga mendapat banyak cece-cicit.

Dengan bertambahnya jumlah mereka menjadi sangat banyak, maka tanah pertanian dan hutan perburuan di tempat mereka tinggal semakin sempit (ditambah faktor-faktor lainnya), maka mulailah keluarga-keluarga yang memisahkan diri untuk mendirikan (tumani) tempat tinggal mereka sendiri (wanua weru = tempat tinggal baru). Itu sebabnya masyarakat Minahasa awalnya merupakan masyarakat yang berkelompok menurut kedekatan hubungan kekerabatan (kinship). Pada waktu ini belum ada identitas suku seperti yang nanti muncul kemudian.

Setiap kelompok menerapkan sistem pemerintahan yang ditetapkan oleh leluhur To’ar menurut petunjuk Karema dan Lumimuut, yakni:5
• Golongan 2x9 (Makarua Siouw) sebagai pemimpin adat dan agama (Tona’as6 dan Walian7).
• Golongan 3x7 (Makatelu Pitu) yakni mereka yang memerintah wanua (desa, tempat pemukiman). Mereka disebut tu’ur um wanua, patu’an, paedon tu’a, ulu um wanua, dll. Termasuk di dalam golongan ini adalah para waraney (prajurit). Jika dalam keadaan perang maka pemimpin perang disebut Teterusan.
• Golongan 9x9x9 (Pasiouwan Telu) adalah rakyat biasa, para petani, nelayan dan pemburu.
Sistem pemerintahan ini dijalankan berdasarkan asas musyawarah. Semua keputusan-keputusan menyangkut kehidupan bersama ditetapkan dalam sebuah pertemuan bersama dengan kepala-kepala keluarga.

Keluarga-keluarga pertama yang meninggalkan wanua utama untuk membuka wanua baru adalah adalah:
1. Mandey bersama istrinya Rawenbene’ dengan lima anak berangkat ke Lomparen.
2. Pinontoan dengan istrinya Ambilingen dengan enam anak berangkat ke dataran Gunung Lokon.
3. Rumengan dengan istrinya Katiwiei bersama enam orang anak pergi ke lingkaran Gunung Rumengan.
4. Wanarongsong dengan istrinya Winenean bersama sembilan belas anak bermukim di Wawoh, dekat Tomohon.
5. Kumiwel dengan istrinya Pahirangen bersama tiga anak pergi ke Kuranga dekat Tomohon.
6. Lolowing dengan istrinya Rinerotan serta enam anak beralih ke Puser in Tana’, tak jauh dari Tomohon.
7. Makaliwe dengan istrinya Riwuatan-tinonton dengan empat anak pergi ke daerah Mongondouw.
8. Mangalu’ung dengan istrinya Pinupuran dengan tiga anak berangkat ke Kentur Worotikan, dekat Tewasen.
9. Manalea, Manangbeka, Manambeang, dan Manawaan bersama istrinya Winenean dengan tiga anak pergi ke mana-mana sebagai penjaga sekitar Malesung.
10. Totokai dan Tingkulendeng bersama istri-istri mereka Tombarihan dan Woworiye dengan anak-anak delapan orang berangkat ke Tu’ur in Tana’.
11. Soputan dengan istrinya Poriwuhan dengan sembilan anak pergi ke daerah Soputan.
12. Makawalang dengan istrinya Toritiombang bersama empat anak pergi ke arah timur Gunung Rumengan.
13. Winawatan dengan istrinya Mangindawan dengan lima anak pergi ke Paniki.
14. Kumambong dengan istri Winawatan dan Mangilawan bersama tiga anak pergi ke pantai timur Minahasa.
15. Rumoyomporong dan istri Paparayamporong dengan empat anak pergi ke Pulau Romoyomporong atau Pulau Lembeh.
16. Tumewan, Rumimbu’uk, dan Siouw Kurur pergi bermukim di Kema. Siouw Kurur kemudian pindah ke Pinaras.
17. Roringsepang dan istrinya Sundei bersama empat anak pergi ke Kentur Awuan atau Rua Matuari (Dua Sudara).
18. Pangerapan dan Pontoh Mandolang bersama istri Kourensina dan Rameipatolah pergi ke wilayah Lumalengkei di ujung Pulisan, tak jauh dari Tatelu.
19. Taulumangkun dengan istrinya Sindohwene dengan dua anak pergi ke daerah Kalawat.
20. Makarawung dengan istrinya dengan lima anak bermukim di Elehan ni Endo, di pantai barat.
21. Repih dengan istrinya Matinongtong dan Tontombene’ dengan lima anak pergi ke Rano Lahendong [Lahendong, Sonder].
22. Pangimbatan dengan istrinya Tinoring dengan lima anak pergi ke Walelaki dekat Rano Lahendong.
23. Muntu-untu membawa Marinoya, Panaaran, Tumatular, Miyoiyoh dan Mainalo bersama istri-istri mereka: Runintunan, Sinendeman, Sinindengan, Sendangkati, Mereikundap, Tendewene dan Lingkambene pergi ke dataran Kasendukan.
24. Mamarimbim, Makarauh, Tumilaar dengan istri masing-masing: Tinaatalan, Sumariei, Kalewlewan, dan Kauwelan dengan tujuh belas anak pindah ke Karendoran, dekat Tu’ur in Tana’.

Menurut H. M. Taulu taranak-taranak di atas ini berasal dari golongan Makarua Siouw dan Makatelu Pitu. Bersama taranak-taranak ini telah bercampur dengan dengan golongan Pasiouwan Telu yang mengikuti mereka dan bekerja bersama-sama mereka. Di kemudian hari, golongan Makarua Siouw hendak meniru kebiasaan suku-suku yang ada disekitarnya dengan berlaku sebagai raja. Hal ini menimbulkan pemberontakan dari golongan Pasiouwan Telu yang berhasil menetapkan kembali adat yang ditetapkan oleh leluhur, sekaligus menyebabkan berpindahnya sistem pemerintahan ke tangan Pasiouwan Telu.8


Ray Maleke

Berikutnya: Musyawarah Watu Pinawetengan

-------

1 H. M. Taulu, Bunga Rampai: Sejarah Dan Anthropology Budaya Minahasa. Cetakan IV. Manado: Tunas Harapan, 1981) h. 15; F. S. Watuseke, Sejarah Minahasa. Opcit.,14.
2 Sebuah upacara keagamaan yang melibatkan nyanyian dan tari-tarian yang dipimpin oleh Walian Mangorai (Wenas, Sejarah dan Kebudayaan Minahasa. Institut Seni Budaya Sulawesi Utara, April 2007, 10)
3 J. Wenas, Ibid., 81, mengutip J. G. F. Riedel, Aasaren Tuah Puhuna ne Mahasa (Batavia: Landsdrukkerij, 1870) 14. Dalam teks ini huruf [e] taleng dari saya.
4 J. Wenas menerjemahkan bagian syair ini sebagai berikut (Ibid.):
Dan mereka Suami-Istri itu, menghasilkan keturunan:
Kelompok 2x9 atau anak-anak
Kelompok 3x7 atau cucu-cucu
Dan tiga kelompok rakyat biasa,
Cece-cicit keturunan yang banyak.
5 H. M. Taulu
6 Menurut H. M. Taulu kata “tona’as” berasal dari “tou ta’as” yang berarti “orang kuat, keras” (Ibid.).
7 Walian adalah istilah untuk pemimpin agama suku Minahasa.
8 H. M. Taulu, Opcit.

0 comments:



Lindungi Danau Kita dengan Menjaga Hutan Kita. Jangan biarkan ini terjadi!

http://www.wepa-db.net/pdf/0712forum/presentation26.pdf

Popular Posts