Wednesday, October 13, 2010

Perjalanan Tonsingal ke Tepi Utara Danau Tondano

Setelah memahami hal ikhwal sub-etnis Toudano dalam sejarah ke-Minahasaan-nya, maka sejarah mendaratnya Tounsingal di Tanjung Pulisan dapat diletakkan pada konteksnya yang sebenarnya. Bahwa keturunan Toar Lumimuut mengadakan pertemuan di situs Tu’ur in Tana’ di mana terjadi peristiwa Pinawéténgan u nuwu atau pinawéténgan um posan. Lalu Toudano, yang pada waktu itu dikenal dengan Tontumaratas, berangkat ke Atep diantar oleh Tona’as Singal,1 dan kemudian karena mengejar para perompak yang menyerang Atep, sejumlah orang dari kelompok ini terdampar di wilayah Tidore.2 Sebelumnya, golongan tua-tua telah berangkat ke wilayah Kakas. Dari wilayah Laut Maluku mereka berusaha kembali ke negeri Malesung dan mendarat di Tanjung Pulisan di mana mereka membangun dua wanua, yakni Lumian dan Lumambot.3 Karena hancurnya perkampungan mereka akibat diterjang badai (atau juga oleh sebab-sebab lainnya), mereka memutuskan untuk memasuki pedalaman Malesung.

Dari Tanjung Pulisan dikisahkan Tounsingal sampai ke Gunung Tamporok (dari kata: tanu um porok: seperti bakul) yaitu gunung Kalabat. Kemungkinan mereka tinggal pula ditempat itu untuk beberapa lama, di tempat yang diberi nama Wawantamporok (di bawah gunung tamporok).4 Mereka hidup dari berburu binatang, seperti anoa dan babi hutan, pada suatu ketika mereka sampai pada sebuah aliran sungai (sekarang sungai Tondano). Di situ mereka menemukan kulit kerang (pelang, renga, dan kelobi yang sudah tidak ada isinya) sedang terbawa air. Mereka pun bertanya-tanya apakah ada pemukiman di hulu sungai itu.5 Lalu mereka mendaki Gunung Klabat, dan ketika mereka memandang dari puncaknya, maka “tampaklah di arah Selatan terbentang dataran keabu-abuan yang menyerupai kain taplak terbentang lebar yang ternyata adalah sebuah danau.”6

Mereka memutuskan untuk mengikuti aliran sungai. Ketika mereka tiba di Liningaan7 (kampung Liningaan sekarang), maka berbunyilah burung Manguni. Setelah didengar maka mereka menyimpulkan petanda baik, lalu mereka melanjutkan perjalanan mereka ke hulu sungai Teberan.8 Di pilihlah lokasi itu karena aman dari serangan musuh, yaitu di tengah rawa-rawa di hulu sungai Teberan. Mereka membangun pemukiman mereka dengan balok-balok kayu yang besar sehingga pemukiman mereka tampak seperti berada di atas air, sehingga mereka disebut Tou en rano yang kemudian menjadi Walak Tondano.Dengan terbentuknya Walak Tondano, Walak Kakas, dan kemudian Walak Remboken, maka lahirlah Pakasaan Toudano.



Pada sekitar abad keenambelas, mereka mulai mendiami bagian daratan dan mendirikan lima buah perkampungan:10
1. Tounkuramber dipimpin oleh Tona’as Longkia;
2. Tuutu dipimpin oleh Tona’as Kawengian;
3. Wanua Uru dipimpin oleh Tona’as Nelwan;
4. Werot dipimpin oleh Tona’as Mononimbar;
5. Wanga dipimpin oleh Tona’as Rakian.

Dalam kurun waktu 10 tahun mereka menghadapi berbagai malapetaka. Wabah cacar menelan sebagian besar dari penduduk, dan selama 4 atau 5 tahun mereka mengalami gagal panen. Setelah dibicarakan bersama, maka diputuskan untuk membangun negeri yang baru di bagian utara Danau Tondano. Rumah-rumah dibangun di atas balok-balok dan mereka kembali hidup di atas air dengan Kepala Walaknya, Dotu [G]erungan.11

Walak Tondano kemudian berhasil membangun masyarakat mereka menjadi penghasil padi. Mereka menjadi salah satu simbol kejayaan Minahasa. Rumah-rumah yang besar di bangun di atas air, benteng pertahanan dibangun untuk menghadapi serangan musuh.12 Mereka juga mampu menegakkan diri sebagai kekuatan yang diperhitungkan bangsa pendatang, itu sebabnya Spanyol mau tidak mau harus berdiplomasi dengan Walak Tondano.


Ray Maleke

Berikutnya: Perang Melawan Bolaang-Mongondow dan Lahirnya Ikrar Minaesa


-----

1 H. M. Taulu, Opcit., 11.
2 Ibid.; Menurut Boeng Dotulong kelompok terbawa badai ke langsung ke Tanjung Pulisan. Opcit.
3 B. Dotulong, Ibid.
4 Albert Kusen, Makna Minawanua, di katakan juga bahwa di tempat itu terdapat gua yang disebut Lumiang dan lembah yang memanjang yang disebut Lumambot yang dijadikan tempat pemukiman
http://bs-ba.facebook.com/topic.php?uid=158946219532&topic=14109
5 Tradisi lisan, sumber Alm. Agus Runturambi.
6 Boeng Dotulong, Opcit.; R. E. H. Kotambunan (Opcit., 40) mengutip cerita dari Alm. Geritt Sekilawang, Hukumtua desa Luaan, yang mengatakan, “tampaklah kepada mereka suatu dataran laksana permadani yang hijau terbentang dekat Danau Tondano.”
7 Harafiah: tempat di mana didengar (suara burung Manguni);
8 Tradisi lisan, sumber: Alm. Agus Runturambi (Toulour, Tondano).
9 Versi Alm. Agus Runturambi: Sesampainya di pinggiran danau, mereka menemukan tanda-tanda adanya orang-orang yang menempati tempat itu, tetapi mereka tidak menemukan siapa pun di situ. Mereka kemudian memutuskan untuk kembali, namun dengan menggunakan bahasa simbol mereka bermaksud hendak “sumodak” (bersembunyi dan mengawasi) siapa sebenarnya yang menempati bagian utara danau itu. Mereka kemudian mendapati bahwa rupanya mereka adalah orang-orang Bolaang Mongondow yang bersembunyi di bawah daun teratai (karati) yang pada waktu itu masih sebesar sosiru (alat untuk menampik beras). Berikutnya mereka mendatangi tempat itu, dan tampaklah tidak ada orang di sekitarnya. Namun dengan menggunakan bambu, maka orang-orang Mongondow yang bersembunyi di bawah teratai itu kemudian ditangkap. Mereka tidak dibunuh asalkan meninggalkan tempat itu. Dengan demikian mereka menempati tempat itu dan membangun tempat tinggal mereka di atas air.
Versi Albert Kusen: Lalu mereka tiba di sebelah barat Tonsea Lama. Mereka menamakan tempat itu Reghor (mata air) dan menjadikannya tempat bermukim yang baru. Disebutkan tiga Tonaas yang memimpin kelompok ini, yakni Tawaluyan, Muntuuntu, dan Makalonsow. Kelompok lainnya terus menelusuri kawasan danau sampai akhirnya mereka bertemu dengan kerabat dekat mereka yang telah membentuk Walak Kakas. Mereka kemudian membentuk dua wanua di sebelah utara danau, yaitu Tiwoho (letaknya di Tuutu sekarang) [lihat catatan kaki nomor 34] dan Wengkol (di belokan sungai). Oleh karena gangguan keamanan yang mereka alami, maka mereka memutuskan untuk mencari tempat tinggal yang lebih aman bagi mereka. Oleh hasil musyawarah kedua wanua tersebut, maka diputuskanlah tempat tinggal yang baru di tengah-tengah rawa.

10 B. Dotulong, Opcit. mengutip L. Mangindaan (Oud Toudano, h. 364)
11 Karena terlihat seperti dibangun di atas air, mereka juga dinamai Toumayuren (har. Orang yang sedang hanyut; orang yang mengapung) (Dotulong, Ibid.)
12 Kemajuan militer mereka dapat dilihat dari jumlah laskar mereka ketika berperang melawan Belanda tahun 1661. Konon pihak Toudano diperkuat dengan 1400 prajurit.

0 comments:



Lindungi Danau Kita dengan Menjaga Hutan Kita. Jangan biarkan ini terjadi!

http://www.wepa-db.net/pdf/0712forum/presentation26.pdf

Popular Posts