Dari Mana Muncul Pakasaan Toudano?
Apakah Pakasaan Toudano mengambil bagian dalam apa yang disebut dengan Pinawetengan u nuwu atau Pinawetengan um posan di Watu Pinawetengan? Hal ini merupakan salah satu titik perbedaan antara penulis-penulis sejarah Minahasa.
Untuk menyelidiki hal tersebut di atas, saya mengajak kita melihat beberapa tradisi tentang asal mula sub-etnis Toudano, kemudian menyelidiki syair lagu kultik Minahasa tentang keturunan Toar Lumimuut, dan juga menganalisa bahasa suku-suku utama Minahasa.
Tradisi
F. S. Watuseke menyebut tiga suku dalam Musyawarah Pinawéténgan, demikian juga dengan R. E. H. Kotambunan (mengutip Graafland).1 Menurut mereka Tombulu, Tonsea, dan Tontemboan merupakan suku-suku yang mulanya menempati tanah Malesung. Toudano, atau yang disebut juga Tounsingal menurut nama Tona’as Singal yang memimpin mereka, nanti datang ketika mereka mendarat di Tanjung Pulisan, dan kemudian oleh karena gangguan yang mereka alami di tempat itu, masuk ke pedalaman dan tinggal di dekat danau yang besar sehingga dinamai Toudano.2 Dalam tradisi ini tidak ada keterangan tentang siapa Singal dan dari mana asal usulnya; apakah ia mempunyai keterkaitan dengan tanah Malesung sebelum sampai ke Tanjung Pulisan atau tidak sama sekali.
Jessy Wenas3 juga menyebut bahwa ada tiga suku yang berpartisipasi dalam musyawarah adat pembagian di Watu Pinawéténgan itu. Ia menulis bahwa pada zaman Malesung, orang Minahasa dibagi atas tiga sub-etnik yang besar, yaitu:
• Tontewoh
• Tombulu
• Tongkimbut
Perbedaannya dengan Watuseke dan Kotambunan adalah ia mengganggap bahwa Tontewoh merupakan suku yang kemudian terbagi menjadi Tonsea dan Tondanouw, dan dari Tondanouw muncullah Toudano dan Tombatu. Tonsea dikatakan meninggalkan tepi utara Danau Tondano menuju Tanggari, dan mendirikan wanua Niaranan di sana.4 Toundanouw disebut sebagai “sub-etnik yang mendiami tepi Danau Tondano dan Danau Wulilin, Kawelaan, dan Sosong di wilayah selatan yang sekarang bernama Tonsawang.”5 Ada dua hal yang perlu ditelusuri dalam hal ini, yakni kemungkinan keterkaitan Toudano dengan Toundanouw (Hipotesa Toundanouw) dan keterkaitan Toudano dengan Tonsea (Hipotesa Tontewoh).
Menurut Wenas, baik Toudano maupun Tonsawang-Tombatu (Tondanouw) merupakan penduduk Malesung dari suku Tontewoh yang setelah berlayar ke pulau yang lain datang kembali ke tanah Malesung.6 Istilah “Tondanouw” dan “Toudano” memang mempunyai pengertian yang sama: orang air atau orang yang tinggal di tempat yang berair atau dekat air. Hal yang menarik ketika melihat tulisan Watuseke yang mengatakan bahwa Tonsawang datang dari Pulau Mayu dan Tidore dan mendarat di Atep (yang merupakan wanua Toudano)7 dan dari sana mereka kemudian berangkat ke Kakas dan kemudian di sekitar danau Tombatu.8 Kotambunan juga menyebut tentang Tonsawang yang “mendarat di [d]aerah Tonsea, kemudian bermukim di dekat Kakas dan Tompaso, dan akhirnya mereka menetap pada kaki selatan Gunung Soputan.”9
Kedua tradisi tersebut hampir paralel dengan tradisi mengenai suku Toudano. Atep merupakan salah satu negeri Toudano di pantai timur Minahasa dan Walak Tondano juga mendarat di Tanjung Pulisan (wilayah Tonsea) kemudian masuk ke pedalaman Malesung dan menempati bagian utara Danau Tondano.
Wenas, mengutip Graafland, dalam membandingkan antara Tombatu dan Tonsawang mencatat bahwa “[w]alaupun Tonsawang dan Tombatu berdekatan, nampaknya cerita masa lalu mereka sedikit berbeda, dimana Tombatu lebih dekat dengan masyarakat Tombasian, dan Tonsawang lebih dekat dengan masyarakat Mongondouw.”10 Hal ini dapat dipahami karena Tonsawang pada awalnya merupakan wilayah kerajaan Bolaang-Mongondouw.11 Itu sebabnya, saya meragukan kalau Toundanouw merupakan cabang suku yang kemudian menghasilkan Tonsawang dan Toudano. Namun demikian, tidak dapat dipungkiri bahwa kedua subetnis ini telah saling mempengaruhi dalam jangka waktu yang lama. Hal ini dapat dilihat dari kesamaan-kesamaan bahasa, yang walaupun dapat dikatakan minoritas saja. Salah satu kemungkinan adalah wilayah Tonsawang berada di bagian selatan Danau Tondano merupakan daerah perluasan masyarakat Toudano. laskar-laskar Toudano yang berperang melawan Bolaang-Mongondouw juga banyak yang kemudian menetap di lokasi pertempuran seperti Ranomea, Poigar, Poopo dan Tonsawang, demikian juga ketika terjadi perang Tondano 1808-1809 banyak penduduk Toudano yang mengungsi sampai ke Tonsawang.12 Saya mengambil kesimpulan bahwa tradisi-tradisi yang hampir paralel antara Toudano dan Tonsawang adalah hasil dari percampuran penduduk tersebut, yang mana tradisi penduduk Toudano tentang Atep masuk pula dalam tradisi Tonsawang.
Wenas menjelaskan bahwa Toudano, atau yang disebut juga Tounsingal, kemungkinan adalah keturunan dari leluhur jaman purba Kumambong yang berasal dari golongan Makarua Siouw (2x9) yang menjadikan Atep13 di pantai timur Minahasa sebagai pangkalan perahu. Menurut pendapatnya keturunan Kumambong yang disebut Tou Singal datang dari Tanjung Pulisan ke tepi Danau Tondano sebenarnya merupakan perjalanan kembali untuk menempati hulu sungai Teberan.14 Pendapat Wenas ini mengusulkan bahwa suku Toudano sejak awalnya telah memiliki identitas khusus menurut nama dotunya, dan itu sebabnya mereka dapat membedakan diri dari kelompok lainnya.
Joutje Sendoh menyebut cerita mantan Hukum Besar Tonsea, Emor Sumampouw, yang mengatakan bahwa di Pulisan15 dahulu kala merupakan tempat di mana Tonsea dan Toudano bertempur melawan bajak laut Mangindanao, sebelum Toudano migrasi ke wilayah danau. Tempat itu kemudian di anggap keramat oleh karena banyaknya orang Mangindanao yang mati di situ, mayat-mayat mereka menjadi makanan ular dan burung-burung bangkai.16 Dari sudut tradisi terlihat bahwa kedua suku telah menetapkan identitas masing-masing secara unik dan tidak bercampur baur. Perlu juga diingat bahwa Tontewoh merupakan istilah yang banyak kali secara eksklusif disamakan dengan Tonsea, sedangkan Toudano disebut dengan Tountumaratas.
Perihal bahwa Toudano disebut juga sebagai Tountumaratas masih perlu mendapat penjelasan. Apakah Tumaratas yang dimaksud merupakan nama rujukan untuk suku Toudano pada musyawarah Pinawetengan mempunyai kaitan dengan Dataran Tumaratas sebagai tempat tinggal pertama Malesung purba atau dengan wanua induk yang didirikan oleh Tontemboan?
Jika kita andaikan bahwa Tumaratas merupakan wanua induk Tontemboan maka kesulitannya adalah bahwa kenaramen (adat-istiadat) menyiaratkan wanua dibentuk menurut hubungan kekerabatan yang dekat. Hal lain yang juga menentukan adalah penggunaan bahasa, tampaklah bahwa Bahasa Toudano memiliki perbedaan yang cukup signifikan dengan Bahasa Tontemboan, sehingga asumsi kekerabatan yang dekat menjadi sukar. Hal ini meninggalkan kita dengan satu pilihan alternatif bahwa Dataran Tumaratas zaman Malesung purba berbeda dari wanua induk Tontemboan (yang barangkali dinamakan menurut tempat tinggal itu). Mungkin juga bisa dikatakan rujukan tempat bisa sama, tetapi referensi waktu kemungkinan besar berbeda.
Tumaratas sebagai tempat tinggal awal keturunan Toar dan Lumimuut dan Tumaratas sebagai nama wanua induk Tontemboan menggambarkan kurun waktu yang panjang di mana identitas suku kemudian terbentuk dan mengkristal. Tountumaratas yang menjadi nama referensi bagi kelompok yang kemudian lebih dikenal sebagai Toudano menunjuk pada tahap yang lebih awal dalam proses pembentukan itu, sehingga kisah tentang pembagian wilayah yang melibatkan Tountumaratas merupakan tradisi yang lebih tua.
Kemungkinan lainnya adalah Tountumaratas merupakan istilah identifikasi kelompok, dan bukan lagi lokasi tempat tinggal. Hal ini dapat dijelaskan sebagai berikut: taranak-taranak yang berangkat dari Dataran Tumaratas untuk mendirikan wanua baru, termasuk di antara mereka leluhur Kumambong yang pergi ke sebelah pantai timur Minahasa (bagian tenggara). Ia adalah seorang yang gemar berlayar, sehingga kemungkinan dari situlah leluhur Tombulu dan Tontewoh menyebut kelompoknya sebagai Toulour (orang danau/laut).17
Ketika Pasiouwan Telu menegakkan kembali demokrasi di Malesung, maka diundanglah tona’as-tona’as dari wanua-wanua untuk bertemu di Bukit Tonderukan untuk menentukan wilayah perkebunan, perburuan dan pendirian wanua masing-masing taranak. Pembagian itu dibagi menurut bahasa dan simbol pemujaan. Sebagai yang menempati wilayah tenggara Minahasa, datanglah Tona’as Singal dari Atep. Taranak-taranak lainnya mengidentifikasi kelompok Singal sebagai Tounsingal, Toulour, Tousedangan, dll. Akan tetapi, kelompok Singal rupanya masih memegang identitasnya sebagai taranak yang datang dari Dataran Tumaratas, yaitu bahwa mereka sama seperti leluhur mereka adalah orang Tumaratas, yaitu tempat di mana leluhur pertama Minahasa bermukim. Itulah sebabnya dalam musyawarah itu mereka disebut Tountumaratas.18
Pembagian di Pinawetengan antara keempat suku menurut Taulu adalah:19
• Suku Tontewoh (Tonsea) berangkat ke arah Timurlaut (Sedangan-Amian) dipimpin oleh Tona'as Walalangi dan Rogi, ke Niaranan, di sebelah Timur Tanggari.
• Suku Tombulu berangkat ke Utara (dari bagan di atas, maka yang dimaksud adalah Utara-Barat atau Amian-Talikuran (Baratlaut), dipimpin oleh Tona'as Walian Mapumpun, Belung dan Kekeman ke Maiesu.
• Suku [Toudano]/Tountumaratas berangkat ke Timur (dari bagan di atas, maka yang dimaksud adalah Timur-Selatan atau Sedangan-Timu (Tenggara) ke negeri Atep dipimpin oleh Tonaas Singal.
• Dan Suku Tompakewa (Tontemboan) berangkat ke Baratdaya20 menempati Kaiwasian, sebelah Timur Tombasian21 sekarang.
Taulu menjelaskan bahwa dari Watu Pinawetengan, keluarga mereka dibawa ke Atep oleh Tona’as Singal.22 (Dari penelusuran di atas lebih tepat dikatakan bahwa Tona’as Singal kembali ke Atep.) Pada satu waktu mereka diserbu oleh perompak Tidore dan Tobelo, hal mana menyebabkan golongan tua mengungsi ke wilayah Kakas dan sekitarnya, maka golongan muda memutuskan untuk mengejar kaum perompak tersebut. Lama mereka baru kembali dan kemudian mendarat di Tanjung Pulisan. Setelah beberapa lama di sana, oleh karena gangguan yang mereka hadapi, maka mereka memutuskan untuk mencari tempat untuk mendirikan wanua baru. Dari sana mereka kemudian naik ke Danau Tondano, dan tinggal dekat dengan kerabat dekat mereka, Kakas yang telah menempati wilayah barat daya Danau Tondano.23
Versi yang dekat dengan penuturan Taulu di atas adalah dari Boeng Dotulong yang mengatakan bahwa pada musyawarah pembagian itu didirikan empat buah pondok,24 yaitu:
• Arah Baratdaya untuk suku Tontemboan;
• Arah Baratlaut untuk suku Tombulu;
• Arah Timurlaut untuk suku Tontewoh;
• Arah Tenggara untuk suku Tountumaratas, yakni suku Toudano, yang diberi tanda pengenal (posan) berupa tiga potong bamboo (dua dipotong rata, yang satu miring).25
Dalam penjelasan yang selanjutnya, Dotulong menyebut bahwa Toudano juga dikenal dengan sebutan Tourikeran,26 atau adakalanya Tou Sedangan (orang dari Timur)27 yang jauh sebelumnya datang dari Tumaratas. Dataran Tumaratas merupakan istilah Minahasa purba yang menunjuk pada tempat Tou Minahasa pertama kali menetap.28
Menurut tradisi yang ditulis oleh Dotulong, Tontumaratas membentuk dua kelompok.29 Kelompok yang tinggal di Tumaratas kemudian membentuk dua kelompok lagi, satu berangkat menuju Tenggara menurut musyawarah Pinawetengan di bawah pimpinan Tiwatu, Rumawei, Welong, Timbeler dan Tumangkar. Mereka kemudian mendirikan wanua-wanua Ro’ong-Wangko’, Ro’ong-Oki’, Samberong, Toumasem dan Pakasingen. Kelompok yang lain dikatakan dalam suatu pelayaran mengalami badai yang membuat mereka terdampar di Tidore, di mana juga telah hadir kelompok Lewu Singal. Mereka ini yang kemudian dalam usahanya untuk kembali ke negeri Malesung, mendarat di Tanjung Pulisan, di mana mereka kemudian membangun dua negeri dekat pantai, Lumian dan Lumambot. Kedua negeri ini kemudian diterjang angin topan sehingga hancur, sehingga mereka memutuskan untuk berangkat menuju pedalaman Malesung, sampai akhirnya tiba di utara Danau Tondano.30 Pada waktu itu (dari cerita H. M. Taulu), kerabat mereka Kakas Kinakas sudah menempati daerah sebelah baratlaut Danau Tondano, dan beberapa waktu kemudian, datanglah dari Maiesu Tombulu, Tonaas Boyo ke tepi Danau Tondano di tepi sebelah timur laut dan mendirikan wanua Remboken, di sana mereka bercampur baur dengan Walak Kakas dan Walak Tondano sehingga lahirlah Walak Remboken.31
Ray Maleke
Revisi:
November 18, 2010
Berikutnya: Toudano Dalam Syair Lagu Kultik Minahasa
-------
1 F. S. Watuseke, Sejarah Minahasa (Percetakan Negara Manado: 1968), 14; R. E. H. Kotambunan, Minahasa II&III: Pemerintahan Purba Sampai Kedatangan V.O.C. Dan Tiga Perang Tondano (1985),8 mengutip Graafland, De Minahasa Haar Verleden en Haar Tegenwordige Toestand eerste deel muka 80.
2 F. S. Watuseke, Ibid., 15; R. E. H. Kotambunan, Ibid., 8.
3 Jessy Wenas, Sejarah dan Kebudayaan Minahasa (Institut Seni Budaya Sulawesi Utara: 2007) 12.
4 Ibid., 13.
5 Ibid., 14.
6 Ibid., 14, 15, 20.
7 Watuseke menyebut tentang laporan Residen Manado tahun 1804 bahwa kepala walak Atep, Gerit Wuysan, memakai gelar “Oud-Hukum” dan “Majoor” (dalam: Hukum and other administrative terms in the languages of Minahasa: Bijdragen tot de Taal-, Land- en Volkenkunde 142, no: 2/3, Leiden: KITLV, 1986, 314-324). Atep ditempati oleh Walak Tondano turun-temurun. Sekarang kemungkinan telah menjadi Atep Oki’ di pantai Kora-kora.
8 F. S. Watuseke, Sejarah Minahasa, 15.
9 R. E. H. Kotambunan, Opcit., 9.
10 J. Wenas, Ibid., 20, mengutip Drs. Cornelis Manopo, kertas kerja mengenai Tondanouw-Tonsawang di Minahasa, Jakarta 1986, 23-26.
11 H. M. Taulu, Bunga Rampai: Sejarah dan Anthropology Budaya Minahasa. Cetakan IV (Manado: Tunas Harapan, 1981),6.
12 Giroth Wuntu, Perang Tondano 1661-1809 (Yogyakarta: Galang Press, 2001), 228.
13 Lih. catatan kaki nomor 7.
14 Tou Singal disebut pernah menjadi bajak laut di pantai timur Minahasa, dari Pulau Lembeh sampai Pulau Bentenan di selatan Minahasa. Mereka oleh suku-suku lain disebut orang Toulour asal Tondano (J. Wenas, Opcit., 15 mengutip J. N. Wiersma, Geschiedenissen van Ratahan en Passan, Gravenhage Nijhoff, Batavia 1871, h. 210).
15 Pulisan berasal dari kata "pulis" yang berarti “bunuh” – mepepulisan: baku bunuh
16 Drs. Joutje Sendoh, Pelurusan Sejarah Manado dan Minahasa, Manado, 09 Februari 2006, Harian Komentar.
17 Pada masa ini, identitas kelompok dilihat dari nama pemimpinnya, tempat di mana mereka tinggal, atau kualitas khusus yang dilihat oleh kelompok lain. Pengelompokan yang lebih besar (disebut pakasaan) barangkali belum ada, namun setiap taranak memelihara daftar turun-temurun taranaknya masing-masing dan mengetahui saudara-saudara sekerabat mereka. Memang pada perkembangannya, kelompok Toudano ini sempat dikatakan menjadi perompak di laut pantai timur Minahasa (catatan kaki nomor empat belas); Mereka juga piawai dalam menghadapi perompak laut. Watuseke menceritakan bahwa orang-orang Toudanolah yang menghadang perompak Mangindanaou yang datang hendak menyerang Manado pada 1776 (Sejarah Minahasa, 31).
18 Ada cerita yang mengatakan bahwa setelah Musyawarah Pinawetengan, maka tiga suku yang mengambil bagian di dalamnya, yakni Tontemboan, Tombulu, dan Tonsea masing-masing mendirikan negeri-negeri induk, berturut-turut adalah Maiesu, Niaranan, dan Tumaratas. saya berpendapat bahwa Dataran Tumaratas zaman Malesung purba berbeda dari wanua induk Tontemboan (yang barangkali dinamakan menurut tempat tinggal itu). Dari situ saya berkesimpulan bahwa Pakasaan Toudano kemungkinan besar tidak ada keterkaitan dengan wanua induk Tontemboan, karena sesuai kenaramen (adat-istiadat) Minahasa pada umumnya, wanua atau pakasaan dibentuk menurut hubungan kekerabatan yang dekat. Hal lain yang juga menentukan adalah penggunaan bahasa, tampaklah bahwa Bahasa Toudano memiliki perbedaan yang cukup signifikan dengan Bahasa Tontemboan, sehingga asumsi kekerabatan yang dekat menjadi sukar.
19 H. M. Taulu, Opcit., 8.
20 Taulu menyebut Baratlaut, namun sepertinya merupakan kesalahan penulisan, karena dalam bagian yang digambarkannya Tontemboan berangkat ke arah Baratdaya.
21 Nama Tombasian berasal dari kata "tou" (orang) dan "wasian" (jenis kayu).
22 Ibid.
23 Ibid., 8-9.
24 Boeng Dotulong, Silsilah Keluarga Gerungan 1500-1990 (http://toudanowaya.multiply.com/journal/item/14/SEJARAH_SINGKAT_SUKU_TOUNDANO_)
25 Boeng Dotulong memberi catatan bahwa Sub-etnis Toudano pada waktu pembagian juga disebut dengan “Tounsedangan” (orang-orang dari Timur), yang jauh sebelumnya datang dari Tumaratas. Ibid.
26 Tourikeran” (dikelilingi orang-orang), atau juga “banyak rakyat,” dengan kata dasar “riker” = bentuk lingkaran) Ibid.
27 Kemungkinan besar yang dimaksud adalah Sedangan-Timu (Tenggara).
28 Bnd. Mieke Schouten, Leadership and Social Mobility in a Southeast Asian Society: Minahasa 1677-1983 (Leiden : KITLV Press, 1998), 12 (mengutip J.G.F. Riedel 1869:510; Graafland 1898, I:202; J.A.T. Schwarz 1903b:115).
29 Dotulong menyebut kelompok pertama membentuk beberapa walak di seputaran Danau Tondano, yaitu Kauner (Toulian), Temberan (Toulumambot), Kakas Kinakas, dan Rinembok (Remboken). Namun hal ini kelihatannya lebih masuk akal terjadi pada waktu yang kemudian. Terutama untuk Touliang dan Toulumambot yang nanti muncul pada tahun 1818 (bnd. H. M. Taulu, Opcit., 11).
30 Dalam versi Dotulong (Silsilah Keluarga Gerungan 1500-1990), dalam perjalanan mereka, kelompok ini tiba di perkampungan Pakasingen yang dibentuk oleh Tumangkar, jadi mereka mempunyai tanda pengenal serupa. Sayangnya mereka tidak diterima di tempat itu. Mereka pun melanjutkan perjalanan mereka sampai tiba di Gunung Tamporok, untuk kemudian melanjutkan perjalanan ke bagian utara Danau Tondano.
31 H. M. Taulu, Opcit,. 12
0 comments:
Post a Comment