Toudano Dalam Syair Lagu Kultik Minahasa
Jessy Wenas mengutip syair nyanyian leluhur dari Tombulu yang ditulis oleh J. F. G. Riedel sebagai berikut:1
Nianamo sera woan lume’os u lawih telu, witu lawih telu iti’i line’osan um peposanan sanagigio witun esa wo unesa.
Kamu sanawekah sendangan, kumihit un peposanan un Tontewoh [Tonsea], tanu un wina[n]gun witun lawih Sendangan[-]Amian.
Kamu sanawekah amian, kumihit un peposanan Tou un Wuluh [Tombulu], tanu un winangun witun lawih Amian-Talikuran.
Kamu sanawekah Timuh, kumihit un peposanan Tou un Kimbut [Tontemboan], tanu un winangun lawih Timuh-Talikuran, tanu mo ni’itu um bineteng ne opo’ Lumimu’ut woh ni To’ar.
Terjemahannya yang diberikan Wenas adalah: (huruf tebal dari saya)
Oleh karena itu kemudian mereka [Toar dan Lumimuut] mendirikan tiga pondok upacara yang sama besar dan sama bentuknya.
Kamu dari bagian Timur, ikut upacara adat Tontewoh, seperti pondok upacara yang dibangun di sebelah timur-laut.
Kamu dari bagian Utara, ikut upacara adat Tombulu, seperti pondok upacara yang dibangun di sebelah barat-laut.
Kamu dari bagian Selatan, ikut upacara ada Tongkimbut, seperti pondok upacara yang dibangun di sebelah barat-daya. Seperti itulah yang dibagi oleh leluhur Lumimuut dan Toar.
Syair lagu di atas ini berbeda dengan apa yang ditulis Dotulong (lih. bagian Dari Mana Muncul Pakasaan Toudano?)yang menyebutkan ada lagi pondok keempat, yaitu arah tenggara untuk Tountumaratas. Manakah yang benar dari kedua sumber ini; apakah ada tiga atau yang empat pondok dalam ritual pembagian di Watu Pinawéténgan?
Perlu kita perhatikan bahwa ada hal yang ganjil dari kutipan syair di atas ini, yaitu tidak sempurnanya jumlah arah angin yang disebutkan. Arah Sedangan-Timu (tenggara) tidak disebutkan dalam syair ini. Apakah hal ini disebabkan karena memang hanya tiga suku yang diwakili oleh tiga arah mata angin? Ataukah ada perubahan yang telah terjadi dalam syair nyanyian tersebut? Dan apakah ada informasi mengenai adanya pondok keempat yang tidak dicantumkan? Bagaimanakah sudut pandang kosmologi Minahasa tentang hal ini? Pertanyaan-pertanyaan ini akan saya diskusikan berikut ini.
Dari syair lagu Mangorai yang juga dikutip oleh Wenas dari J. F. G. Riedel, yakni “Zazanian ni Karema” dalam Bahasa Tombulu, disebutkan demikian:2
Bagian Pertama Syair Ketiga [Karema]
Wo aku sumaru Sendangan-Timu [atau Timu-Sedangan]
Yah sinumpak umberen-ku un Akel Matutung
Yah tumaraktak an Taliwatu maha ragos
Wo ni’ilek-ku tawi ni’itu, sumo’so’ane mengasin
Lalu aku menghadap arah tenggaraWo ma-wiling aku, sumaru Sendangan-Amian
dan mataku tertumbuk pada pohon enau sedang menyala
dan berdetakanlah buah ponoh itu jatuh ke tanah
dan terlihatlah olehku di dekat situ, sungai mengalir ke laut
Yah kinapatesan-ku un Assa retik
Yah mahtou karete ni’itu, un Tu’is Rarawir
Wo rimuru’ mawire-wirei, u lahit imbene’
lalu aku memutar badanku menghadap timurlautTumundong aku mapasaru Amian-Talikuran
Terlihat olehku pohon jelaga/kano-kano
dan bertumbuh dekatnya pohon tu’is
dan di sudut situ nampak daunnya bergoyang, pohon laikit
Yah kina-werenan-ku witu un Wangelei ne Kotulus
Yah karuru’-karete ni’itu, un wawali-kundamah
Yah minahlung ni’itu, un Tewasen ne Rumopa
Lalu aku menghadap ke baratlautKamurian aku mapasaru Timu-Talikuran
Dan aku melihat di situ ada tanaman Tumulawak untuk ahli obat
dan di sudut dekat situ tumbuh pohon daun sirih
dan dinaungi oleh pohon Tewasen untuk para pengambil sagu
Yah kapatesanku ma witu, un ayamen-ka’ukur
Yah sana-remong witu un Tambelang tumitikak
Ta’an un antang witunate si rahara, menoro me niaku
Terakhir aku menghadap ke baratdaya
dan terlihatlah padaku tanaman ayamen3
Dan ada serumpun pohon bambu di situ
tapi dengan teguh hati, si gadis datang menuju kepadaku
Nyanyian kultik Mangorai ini tidak hanya sekedar nyanyian, melainkan menggambarkan sistem pengetahuan lewat simbol-simbol tentang keturunan Toar Lumimuut. Keempat simbol mata angin di atas bukan hanya menunjuk pada arah mata angin, melainkan melambangkan keempat suku turunan Toar Lumimuut, yakni Tontemboan, Toudano, Tombulu, dan Tontewoh dengan ciri khasnya masing-masing.
Apabila kita cocokan gambaran-gambaran di setiap syair itu dengan masing-masing suku, maka kita bisa mengetahui rujukan dari syair-syair itu. Memang banyak dari simbol-simbol dalam nyanyian ini sulit diketahui artinya (kecuali oleh mereka yang mempunyai pengetahuan khusus), namun beberapa hal masih bisa dilihat dengan jelas:
Timu-Sedangan/Tenggara (yaitu Tontumaratas) disimbolkan dengan Akel Matutung (Enau yang sedang menyala) dengan buah-buahnya yang berjatuhan. Mereka memiliki sungai yang mengalir ke laut (Toudano).
Sedangan-Amian/Timurlaut (yaitu Tontewoh) disimbolkan dengan jelagah. Menurut Wenas, Tontewoh yang dipakai sebagai sebutan lain untuk Tonsea, berasal dari kata Tiwoho,4 yakni jenis tumbuhan kano-kano atau jelagah yang banyak terdapat di bagian utara Danau Tondano. Hal yang menunjukkan bahwa Tonsea kemungkinan besar pernah mendiami ujung utara Danau Tondano, kemudian mereka melanjutkan perjalanan dengan berbelok ke arah utara, dan dengan demikian memperoleh namanya yaitu “sea” (belok).5
Amian-Talikuran/Baratlaut (yaitu Tombulu) disimbolkan dengan Kotulus, dari kata “tulus” yang berarti menyembuhkan luka yang teriris/terpotong, berarti seorang tabib.6 Sepertinya tabib penyembuh luka berasal dari Tombulu (bandingkan dengan marga Tulus yang biasanya terdapat di Tombulu).
Timu-Talikuran/Baratdaya (yaitu Tontemboan) disimbolkan dengan ayamen dan rumpun bambu. Apa makna dan keterkaitannya dengan Tontemboan masih harus saya pelajari. Ada kemungkinan mereka tinggal di tempat yang banyak ditumbuhi ayamen dan rumpun bambu.
Dari nyanyian Mangorai yang tulis J. G. F. Riedel dalam bukunya Aasaren Tuah Puhuna ne Mahasa (1870) di atas ini, kita melihat bahwa kosmologi Minahasa menekankan empat arah mata angin dengan korelasi masing-masing pada suku-suku Minahasa. Apa yang menyebabkan syair lagu Tombulu tentang pembagian peposanan yang ditulisnya dalam bukunya Aasaren wo Raranian ne Tombulu’ (1869) hanya menyebutkan tiga pondok, tiga arah mata angin, dan tiga suku?
Ray Maleke
Berikutnya: Analisa Bahasa Minahasa
-----
1 Wenas, Opcit., 110-111 mengutip J. F. G. Riedel, Aasaren wo Raranian ne Tombulu’, Laadsdrukkerij, Batavia1869 ( halaman tidak disebutkan). Huruf tebal dari saya.
2 Huruf tebal dari saya. Terjemahan dari Wenas telah saya sederhanakan untuk memudahkan pembaca. Nyanyian ini dikutip dari tulisan J. G. F. Riedel, Aasaren Tuah Puhuna ne Mahasa, Landsdrukkerij, Batavia, 1870, h. 14.
3 Tanaman untuk membuat tikar.
4 Albert Kusen, Sejarah Minawanua, Facebook. Ada juga cerita yang menyebutkan bahwa seorang tona’as Toudano, Tumengkol, membuat pemukiman Tiwoho (Tuutu sekarang) di tempat yang banyak ditumbuhi rewo’ dan tiwoho (tumbuhan rawa/jelaga). Memang kebiasaan orang Minahasa menamai tempat diantaranya adalah dengan apa yang mereka temukan di tempat itu. Tidak diketahui secara pasti apakah kedua tradisi ini menyebut tempat yang sama, cerita yang sama, atau dua cerita yang berbeda dan tidak berhubungan satu dengan yang lainnya. Namun perlu diberikan catatan bahwa Kusen mengikuti pendapat Umboh dan J. Wenas bahwa Toudano dan Tonsea berasal dari Tontewoh.
5 J. Wenas, Opcit., 13; R. E. H. Kotambunan, Opcit., 8.
6 H. M. Taulu, Etymology Malesung / Minahasa – Indonesia, Kotolus.
0 comments:
Post a Comment