ORANG MINAHASA MASIH MENGGUNAKAN WARUGA SAMPAI TAHUN 1908
Oleh : Jessy Wenas
Pemakaman jenazah kedalam batu WARUGA adalah pemakaman di atas permukaan tanah, batu WARUGA terdiri dari dua bahagian yakni batu segi empat berbentuk peti batu karena berongga di dalamnya dan batu segi tiga berbentuk atap rumah, yang berfungsi sebagai penutup . Pada batu segi empat yang berongga itulah jenazah yang meninggal di masukkan, kemudian di tutup dengan batu segi tiga, agar jenazah tidak berbau maka pada celah-celah antara batu segi empat dan batu penutup diberi tanah liat putih.
Beberapa penulis seperti F.S.Watuseke menganalisa bahwa orang Minahasa meninggalkan kebiasaan memakam-kan jenazah kedalam batu WARUGA disebabkan oleh bencana alam dan penyakit hingga banyak orang meninggal seperti wabah cacar thn 1819 yang menelan korban 1/6 penduduk Minahasa meninggal, kemudian wabah penyakit campak thn.1853 yang menelan korban 12.821 orang meninggal. Kalau kita membaca tulisan-tulisan mengenai WARUGA Minahasa dewasa ini, memang banyak yang memberi kesan bahwa orang Minahasa telah meninggalkan kebiasaan memakamkan jenazah kedalam waruga sejak memasuki tahun 1800-an , hingga upacara memakamkan jenazah serta arti relief gambar ukir pada batu waruga, tidak lagi di ketahui orang Minahasa sekarang ini. Arti gambar-gambar ukir pada batu WARUGA tidak pernah di analisa para penulis barat seperti penulis Bertling dalam bukunya Hoker Bestatung seorang peneliti yang paling ahli mengenai WARUGA Minahasa. Untuk dapat mengetahui arti gambar pada batu WARUGA adalah dengan cara membaca kembali jalan pikiran orang Minahasa mengenai arti hidup dan mati pada satu abad yang lalu.
Pada kesempatan saya pulang kampung ke Minahasa, pada bulan januari tahun 2001 ini saya menemukan WARUGA-WARUGA keluarga terhormat di kampung Matani dan Kolongan Tomohon. WARUGA itu sudah berantakan karena bekas di bongkar maling untuk mengambil benda berharga yang ikut di masukkan bersama jenazah kedalam batu waruga , lokasinya di pemakaman lama dekat rumah sakit " Gunung Maria" Kolongan Tomohon.
Hubungan batu WARUGA dengan keluarga terhormat, adalah bahwa hanya orang-orang terkemuka di masyarakat yang jenazahnya dimakamkan dalam batu WARUGA, seperti Kepala walak, hukum besar,hukum kadua,hukum tua, dan tokoh masyarakat yang tergolong punya kekayaan. Karena pemakaman dengan menggunakan WARUGA memerlukan biaya besar hingga harus juga dibantu oleh keluarga besar si yang meninggal, misalnya biaya untuk para tukang untuk membuat WARUGA ada upacara adatnya yang harus disertai makan -minum. Biasanya batu WARUGA dibuat atas pesanan sebelum si pemesan itu meninggal, bila telah maninggal baru kemudian memesan WARUGA maka biayanya menjadi sangat tinggi. Dari ketentuan ini dapat di ambil kesimpulan bahwa walaupun ada wabah penyakit yang menyebabkan banyak penduduk sebuah kapung,desa atau negeri meninggal dunia termasuk beberapa tokoh masyarakatnya. Maka hanya beberapa orang tokoh masyarakat itu yang di makamkan kedalam WARUGA, arti WARUGA adalah gabungan dari dua kata WALE artinya rumah karena WARUGA berbentuk rumah batu, dan RUGA atau ROGA artinya terbongkar hancur, WALE-RUGA atau WARUGA punya arti rumah tempat menghancurkan jasad tubuh manusia menjadi tulang-belulang sebagai proses pemakaman pertama, pemakaman kwedua adalah mengambil tulang-belulang itu untuk dimasukkan kedalam peti kayu "Walongsong" untuk upacara pemakaman kedua. Oleh karena itu ada beberapa WARUGA yang digunakan lebih dari satu kali, ada WARUGA yang tidak dapat lagi kita temukan tulang-belulang manusia di dalamnya. Orang Minahasa meninggalkan adat kebiasaan memakamkan jenazah kedalam batu waruga berlangsung tahap demi tahap dari generasi kegenerasi sejalan dengan perobahan masyarakat Minahasa.
PEROBAHAN MASYARAKAT MINAHASA
Karena WARUGA-WARUGA di Kolongan Tomohon itu ber-angka tahun sekitar memasuki tahun 1900 nampak jelas bahwa cara-cara tradisional membuat WARUGA telah berubah dari generasi sebelumnya . WARUGA lama tidak mengukirkan nama, tanggal,bulan dan tahun si yang meninggal, tapi hanya ukiran motif hias seperti gambar manusia, tanaman,binatang, dan simbol-simbol lainnya. Hingga apabila pihak keluarga dari generasi lalu melupakan WARUGA itu, maka generasi sekarang tidak lagi mengetahui dotu siapa pemilik atau yang di makamkan kedalam WARUGA tersebut, hingga banyak sekali WARUGA Minahasa tidak di ketahui lagi milik keluarga siapa , apalagi WARUGA yang berasal dari ratusan tahun lampau.
WARUGA di kolongan Tomohon dekat rumah sakit "Gunung Maria" tidak lagi diberi ukiran hiasan motif manusia, binatang atau tumbuhan, tetapi mengukirkan keterangan orang yang dimakamkan kedalam WARUGA tersebut antara lain , Th.T.MANGUNDAP meninggal 5-7-1899, ELI AROR meninggal 8-5-1899, KATARINA ANES meninggal oktober 1895, M.A.MANGUNDAP meninggal 22-7-1900, N.PALAR ( Rusak tidak terbaca),J.SAKUL meninggal 24-4-1900, A.RAPAR.meninggal th.1901, A.POLII mati 24-5-1905 , E.WALUJAN mati 21-6-1906, KSALAKI mati. 11-2-1907 , E.AROR. mati 28-4-1907, dan WARUGA terbesar dengan batu segi tiga penutup berukuran panjang 1.25 Cm adalah kubur batu dari DANIJEL WALALANGI umur 73 tahun mati 24-11-1908.
Kalau kita lihat nama-nama pemilik WARUGA itu sudah punya nama kristen dan barangkali proses kristenisasi yang menyebabkan orang Minahasa meninggalkan kebiasaan memakamkan jenazah kedalam WARUGA.Kita lihat masuknya agama kristen di Minahasa sudah dari abad 16 ketika bangsa barat Portugis dan Spanyol membawa agama Katolik ke Minahasa. Tapi agama kristen Protestan masuk Minahasa melalui misi Zending Belanda baru mulai tahun 1831 mengirimkan pendeta-pendeta bangsa Jerman seperti J.F.Riwedel beroperasi di Tondano, J.G.Schwarz beroperasi di Langouwan dan Tonsea, N.Ph.Wilken di Tomohon. Kuranga Tomohon mulai ada sekolah tahun 1852 dan kemudian thn.1866 di dirikan sekolah penulong injil ( guru agama merangkap guru sekolah). Dan tahun 1868 setelah 37 tahun proses protestanisasi maka misi Katolik kemudian mulai bergiat lagi, ditahun itu juga terbitlah koran " Cahaya Siang" yang di cetak di Tanah wangko. Menunjukkan bahwa orang Minahasa mulai tahun 1868 sudah memasuki masyarakat moderen sudah menulis di koran dan sudah membaca koran berarti sebahagian besar orang Minahasa tidak lagi buta huruf.
Perubahan orang Minahasa dari masyarakat alifuru ke-masyarakat modern dapat kita baca dari tulisan laporan perjalanan ilmuwan Inggris Alfred Russell Wallace yang tiba di Tomohon-Minahasa thn.1859. Dia di jamu oleh kepala walak atau hukum besar Tomohon (A.R.Wallace) menuliskan istilah " majoor", bernama ROLAND NGANTUNG PALAR berbusana serba hitam ( jas hitam,celana hitam,sepatu hitam) mereka berceritera dalam bahasa melayu-Manado, makan di meja gaya barat ada waskom tempat cuci tangan dan serbet. Tapi di sebelah rumah dari majoor R.NGANTUNG PALAR ada rumah tinggi kecil yang berhiaskan tengkorak-tengkorak manusia, rumah itu adalah rumah dari ayah majoor Tomohon R.NGANTUNG PALAR yang sebelumnya adalah kepala walak Tomohon yang pernah ikut perang Jawa tahun 1829-1830. Disini terlihat bahwa ayah ( PALAR) dan anaknya ( R.NGANTUNG PALAR) sudah hidup terpisah oleh jaman peralihan dimana mulai tahun 1850-an masalah kejantanan kepemimpinan tidak perlu lagi di tunjukkan dengan menggantungkan tengkorak lawan di depan rumah tinggal.
Setelah tahun 1900 modernisasi masyarakat Minahasa makin mengalami kemajuan, kita lihat tulisan dari seorang penulis Inggris Walter.B.Harris dalam bukunya " An excursion in Minahassa", thn.1929 halaman 209 ........Christianity, education, and civilization have turned these once wild people into an orderly, highly respectable community. The result is interesting, for while they have adopted European religion, dress and customs they have not completely discarded their past habits, their houses are still native. ....... Kristenisasi, pendidikan dan modernisasi masyarakat telah merobah kehidupan orang Minahasa yang tadinya masih buas, mereka telah mengambil agama orang Eropah ( agama kristen), adat kebiasaan dan cara berbusana, tapi belum meninggalkan kebiasaan lamanya termasuk rumah adatnya. Tulisan dari Walter.B.Harris ini menyadarkan kita kembali sebagai orang Minahasa, bagaimana tanpa disadari kita orang Minahasa sekarang ini sudah berpikiran barat. Dan awalnya adalah dari proses yang lama jaman Portugis-Spanyol abad 16, jaman VOC mulai thn 1679 dan jaman Belanda mulai thn 1830-an.
WARUGA-WARUGA orang kristen di Tomohon belum pernah di teliti para ahli luar negeri, apalagi peneliti dalam negeri yang serba kekurangan dana. WARUGA-WARUGA itu menunjukkan bahwa orang Minahasa di Tomohon thn.1895-1908 walaupun sudah mengenyam pendidikan dan dapat membaca menulis, sudah memakai nama Kristen berarti sudah beberapa generasi masuk kristen, tapi masih di makamkan kedalam batu waruga . Dari keadaan batu kubur WARUGA mereka yang berantakan , batu segi empatnya dilobangi untuk diambil benda "bekal kubur", dan batu penutup segi tiga terguling jatuh. Menunjukkan bahwa pada pemakaman di Batu WARUGA thn.1895-1908 itu, masih melakukan upacara adat lama dengan memasukkan "bekal kubur" barang-barang berharga seperti piring porselein antik, perhiasan emas, kalung,gelang,anting,medalion, yang dalam bahasa Minahasa (Tombulu) ; " Ringkitan" - " Kokulu" ( gelang emas ), " Pinepel"- " Tinataokok" - " Kamagi " ( kalung-kalung emas), " ginontalon" ( medalion emas). Benda-benda berharga ini telah di masukkan kedalam peti batu WARUGA bersama jenazah pada pemakaman tahun 1895-1908 dan kemudian setelah orang Minahasa tidak takut lagi membongkar WARUGA mungkin setelah tahun 1930-an, maka batu kubur WARUGA orang-orang kristen di Tomohon itu di bongkar maling.
Dari data WARUGA kristen Tomohon dapat diambil kesimpulan bahwa orang Minahasa baru satu abad menjadi kristen ( 1900 - 2000) dan bukannya periode dua abad lalu ( 1800-200), artinya unsur-unsur Alifuru yang liar dalam diri orang Minahasa belum sama sekali hilang walaupun telah beragama Kristen dan telah berbudaya moderen.
theoelin.multiply.com
0 comments:
Post a Comment