Wednesday, March 30, 2011

Arus Pinggir dari Pinawetengan

Agung Setyahadi

Tabuhan tambur mengiringi barisan petani berpakaian hitam-hitam dan bercaping menuju ladang. Ibu-ibu petani mengenakan pakaian putih berenda-renda dan bawahan kain sarung. Wajah mereka berseri-seri di bawah hangat sinar matahari. Kultur agraris melekat di masyarakat Minahasa, Sulawesi Utara, yang siang itu merunut identitasnya.

Sembilan keluarga besar Minahasa dan perwakilan etnis tetangga berkumpul di Desa Pinabetengan, Kecamatan Tompaso, Minahasa, awal Juli lalu. Mereka merayakan pesta adat watu pinawetengan dan watu tumotowa. Berbagai kesenian dimunculkan untuk membumikan warisan leluhur.

Kultur agraris yang ditonjolkan siang itu adalah kelapa dan padi. Masyarakat diingatkan kembali pada potensi di lingkungan sekitar untuk dikelola sebaik mungkin. Pesta adat ini dikemas untuk membumikan kembali nilai-nilai kehidupan yang semestinya diresapi.



Setiap keluarga subetnis Minahasa juga menampilkan kesenian maengket, tarian diiringi nyanyian. Salah satunya, maengket yang menceritakan percintaan sepasang burung pisot. Formasi penari burung pisot kemudian berubah menjadi gundukan batu pinawetengan yang melambangkan persatuan dan persaudaraan.
Anak-anak juga dilibatkan dalam tarian kabasaran cakalele dan barisan penabuh tambur. Musik klarinet bambu juga dimunculkan dari Desa Pinapalangkow, Tareran, Minahasa Selatan. Berbagai kesenian yang ada di Minahasa disuguhkan kepada para tamu siang itu.

Mengikuti upacara adat watu pinawetengan dan watu tumotowa di Minahasa, Sulawesi Utara, sebagai wisatawan dijamin puas. Seharian penuh kita disuguhi berbagai kesenian langka. Namun, getir menyentil ketika menyadari sebagian besar kesenian ditampilkan oleh ibu-ibu dan bapak-bapak berumur di atas 40 tahun. Ke mana para gadis dan bujang Minahasa yang terkenal sedap di mata itu.

Sampai kapan warisan budaya Minahasa akan bertahan jika generasi terakhir yang menguasainya berumur 40 tahun. Sepertinya ada rantai yang hilang sehingga regenerasi terputus. Seperti para penari burung pisot yang dibentuk sejak tahun 1957, tetapi yang tampil masih ibu-ibu.

”Kita kaya kesenian, tetapi miskin kantong-kantong kebudayaan. Budaya dijadikan salah satu ikon wisata, tetapi tidak pernah diurusi benar-benar akarnya,” ujar Eric MF Dajoh, seniman teater dari Minahasa.

Pencitraan
Eric menilai, perhatian pemerintah pada kesenian sebatas untuk pencitraan. Isinya kosong dan tidak mengakar. Begitu sulit mencari pegiat kesenian yang menguasai roh seni asli Minahasa. Sulawesi Utara membutuhkan kantong-kantong budaya yang akan mengubah citra daerah wisata yang sering disalahartikan. Ia prihatin dengan cap miring Sulawesi Utara yang dikenal dengan dunia prostitusinya.

Seharusnya citra kebudayaan, alam, atau kuliner yang ditonjolkan. Cap miring itu coba diimbangi dengan menghidupkan kantong-kantong budaya di masyarakat. Eric bersama beberapa teman seniman mulai menghidupkan teater yang pernah menonjol pada pertengahan tahun 1980-an.

Benih kantong-kantong kebudayaan juga dirintis oleh kelompok seniman, budayawan, dan masyarakat secara mandiri sejak tahun 2007. Mereka menelusuri akar budaya Minahasa dan mengemas dalam pesta adat pinawetengan dan tumotowa. Pesta adat ini bisa mengumpulkan semua subetnis di Minahasa. Sekali dayung dua tiga pulau terlampaui, satu kegiatan menggeliatkan kehidupan berkesenian di berbagai daerah meskipun geliat kantong-kantong kebudayaan itu masih sangat pelan.

”Beberapa kesenian yang hampir hilang mulai muncul. Namun, banyak yang hilang karena sumber informasi terakhir sudah meninggal,” ujar Benny J Mamoto, Ketua Panitia Festival Seni Budaya 2008.
Ia menambahi, kecintaan masyarakat pada kesenian lokal mulai bangkit. Maengket yang dulu sulit ditemui mulai dihidupkan di beberapa desa. Musik kulintang sudah masuk ke gereja untuk mengiringi ibadah. Warna lokal itu dulu sulit ditemui.

Eric MF Dajoh menilai, embrio kantong-kantong budaya mulai tumbuh, tetapi masih rapuh. Dibutuhkan perhatian dan pembinaan terus supaya komunitas yang terbentuk bisa bertahan. Masyarakat harus memperoleh kompensasi atas jerih payahnya. Kesenian asli Minahasa kemudian dikemas menjadi atraksi untuk menarik wisatawan.

Terobosan lain dengan membuat kain bermotif ornamen purba yang dipahat di Watu Pinawetengan. Motif itu dicetak dikain yang dinamai batik pinawetengan. Juga dibuat kain tenun bermotif ornamen watu pinawetengan.

Dwiputra Budianto, penggagas batik pinawetengan, menilai, seni budaya digali oleh masyarakat dan hasilnya juga harus dinikmati oleh masyarakat. Baju batik pinawetengan dikenalkan pertama kali saat pesta adat pinawetengan awal Juli. Nuansa etnis pada busana itu sangat kental. Kain batik pinawetengan bisa menjadi suvenir khas Minahasa, selain kain bentenan yang sudah dikenal luas.

Menumbuhkan kantong-kantong kebudayaan bukanlah perkara mudah, apalagi di tengah perhatian pemerintah yang minim. Arus hedonisme semakin kuat dan siap menelan riak-riak budaya lokal yang mulai tumbuh di Sulawesi Utara. Arus pinggir yang berhulu di Watu Pinawetengan membutuhkan dorongan untuk bisa bertumbuh.

http://cetak.kompas.com/read/2008/07/29/03121187/arus.pinggir.dari.pinawetengan 

0 comments:



Lindungi Danau Kita dengan Menjaga Hutan Kita. Jangan biarkan ini terjadi!

http://www.wepa-db.net/pdf/0712forum/presentation26.pdf

Popular Posts