MINAHASALOGI
Menggali Akar Identitas Orang Minahasa: Sebuah Jelajah Bibliografis
oleh: David H. Tulaar
A. Minahasalogi sebagai Studi ke-Minahasa-an
Minahasalogi memang adalah istilah rekaan. Saya menggunakannya luntuk menamakan keseluruhan proses studi dan penelitian menggali identitas orang Minahasa. Secara sederhana Minahasalogi bisa didefinisikan sebagai studi tentang ke-Minahasa-an, yaitu tentang apa, siapa dan bagaimana orang Minahasa itu;
pendeknya, tentang identitas orang Minahasa, tanpa mengabaikan historisitas dan kontemporaritas identitas termaksud. Artinya, yang disebut identitas orang Minahasa bukanlah tunggal dan statis, tidak bergerak, melainkan majemuk dan dinamis, bergerak di dalam ruang dan waktu, di dalam konteks dan di dalam sejarah. Konteks di sini merujuk pada seluruh faktor dalam ruang yang mempengaruhi perumusan identitas. Sedangkan sejarah merujuk pada dialektika di dalam waktu antara kontinuitas dan diskontinuitas, antara tradisi dan perubahan, antara apa yang tetap terpelihara dan apa yang mengalami pembaruan.
Sebenarnya di sini Minahasalogi hanya bermaksud meneruskan jejak langkah banyak pemerhati dan peneliti mengenai Minahasa sebelumnya. Kita patut berterima kasih kepada banyak orang di dalam sejarah yang telah memberi perhatian bahkan hidupnya bagi studi ke-Minahasa-an ini. Sebagaimana tertera pada judulnya, tulisan ini hanyalah merupakan sebuah jelajah bibliografis tentang Minahasalogi. Maksudnya tidak lain untuk sekedar memberikan gambaran mengenai jejak langkah yang telah dilakukan oleh banyak orang, dari generasi ke generasi, dari berbagai bangsa pula, bahkan sampai dua abad ke belakang, mempelajari, mendata, mendokumentasi, menganalisis dan mempresentasikan pengalaman, pengamatan dan penelitian mereka mengenai Minahasa. Selain itu tulisan ini juga hendak menantang orang Minahasa kontemporer untuk melanjutkan jejak langkah itu, sekaligus terus memungkinkan banyak orang bisa mengikuti jejak langkah tersebut.
Sebagai salah satu rujukan penting untuk Minahasalogi, patut disebut buku dari Mieke Schouten berjudul Minahasa and Bolaangmongondow: an annotated bibliography 1800-1942 (The Hague: Martinus Nijhoff, 1981). Sesuai judulnya, buku ini memuat daftar tulisan-tulisan dan buku-buku mengenai Minahasa dan Bolaang Mongondow yang terbit dalam kurun waktu 142 tahun sejak 1800. Di bawah setiap item judul dan pengarangnya Mieke Schouten memberi sedikit komentar dan ringkasan isi masing-masing tulisan.
Untuk kurun waktu tersebut Mieke Schouten berhasil menemukan 788 entri tulisan mengenai Minahasa yang masih terdokumentasi dan naskahnya tersimpan di berbagai perpustakaan dan pusat arsip di Negeri Belanda hingga kini. Topik-topik naskah-naskah tersebut sangatlah beraneka, begitu juga dengan para penulisnya. Kebanyakan tulisan memang berasal dari para missionaris dan pendeta/pastor yang pernah bekerja maupun berkunjung ke Minahasa di abad ke-19. Banyak juga tulisan yang berasal dari para pegawai pemerintah kolonial masa itu, serta ada juga naskah yang ditulis dan dikerjakan oleh para peneliti. Selain itu, ada juga cukup banyak tulisan yang dikerjakan oleh tokoh-tokoh pribumi Minahasa. Nama-nama G.S.S.J. Ratulangi dan A.L. Waworoentoe termasuk pada kelompok penulis yang produktif.
Dari antara buku-buku yang didaftarkan oleh Mieke Schouten ini ada beberapa yang sudah menjadi sangat terkenal dan sering dipakai sebagai referensi utama dalam studi mengenai Minahasa. Salah satunya adalah buku dua jilid dari N. Graafland, De Minahasa. Haar verleden en tegenwoordige toestand (Rotterdam: M. Wijt & Zonen, 1867), sebuah laporan perjalanan pribadi ke berbagai pelosok tanah Minahasa yang menyentuh berbagai aspek kehidupan pada masa Graafland sendiri sedang bekerja sebagai tenaga misionaris (zendeling) NZG (Nederlandsche Zendelinggenootschap) di sana. Buku ini kini sudah ada terjemahannya dalam bahasa Indonesia. Entah mengapa buku ini bahkan sampai dua kali diterjemahkan dan diterbitkan oleh penerjemah dan penerbit yang berbeda. Terjemahan yang pertama dikerjakan oleh Yoost Kullit. Buku terjemahannya terbit dengan judul Minahasa: Masa Lalu dan Masa Kini (Jakarta: Lembaga Perpustakaan Dokumentasi & Informasi, 1987). Sedangkan terjemahan keduanya dilakukan oleh Lucy R. Montolalu dan terbit dengan judul Minahasa: Negeri, Rakyat dan Budayanya (Jakarta: Pustaka Utama Grafiti, 1991). Menarik dicatat maksud dari Yoost Kullit menerjemahkan bukunya Graafland ini, sebagaimana yang dituangkannya dalam prakata penerjemah buku terjemahannya, yaitu "agar kaum muda Minahasa khususnya, rakyat Indonesia yang berasal dari Minahasa umumnya dapat mengetahui sedikit tentang perkembangan dan kebudayaan orang Minahasa, yang ketika itu masih terkungkung oleh kebiasaan Alifuru kebiasaan menyembah berhala, pohon, batu, burung, ular dan segala sesuatu yang bersifat animisme". Mengenai perspektif yang disebutnya terakhir ini tentu masih bisa didebat lebih lanjut. Tetapi bahwa ada usaha untuk menerjemahkan buku setebal 1349 halaman dari tahun 1867 dengan motivasi memperkenalkan rekaman kebudayaan Minahasa di masa lalu kepada generasi muda di tahun 1980-an, ini adalah hal yang sangat luar biasa dan patut dihargai setinggi-tingginya.
Selain buku ini, Nicolaas Graafland juga menulis banyak monografi yang diterbitkan dalam Mededeelingen vanwege het Nederlandsche Zendelinggenootschap (lazim disingkat MNZG). Salah satu yang penting untuk memahami kerohanian dan keberagamaan orang Minahasa zaman dulu adalah tulisannya yang berjudul “De geestesarbeid der Alifoeren in de Minahassa gederunde de heidensche periode” (MNZG 25, 1887). Di sini Graafland antara lain menggali kedalaman arti dan makna kerohanian tua di Minahasa (khususnya di wilayah berbahasa Tombulu), dari masa sebelum ada pengaruh Kekristenan. Selain mendalami doa-doa tua, ia juga menggali mitos tentang asal-usul manusia dan beberapa legenda.
Graafland adalah pendiri sekolah guru di Minahasa, yang mula-mula didirikan di Sonder pada tahun 1851 dan yang tiga tahun kemudian dipindahkan ke Tanawangko. Dokumentasi dan analisis mengenai sekolah guru yang didirikan dan dikelola oleh Graafland ini bisa ditemukan panjang lebar dalam bukunya H. Kroeskamp, Early Schoolmasters in Developing Country: A history of experiments in school education in 19th century Indonesia (Assen: Van Gorcum & Comp. B.V., 1973). Empat bab disediakan Kroeskamp dalam bukunya untuk membahas tema pendidikan di Minahasa dan keberadaan sekolah guru ini serta pengaruhnya terhadap masyarakat Minahasa. Di Tanawangko Graafland juga mulai menerbitkan surat kabar pertama Minahasa (berbahasa Melayu), “Tjahaja Siang”. Analisis mengenai bahasa Melayu surat kabar ini sudah dilakukan oleh Geraldine Y.J. Manoppo-Watupongoh dalam disertasinya berjudul Bahasa Melayu surat kabar di Minahasa pada abad ke-19 (Disertasi, Universitas Indonesia, Jakarta, 1983).
Acuan penting lain untuk menggali makna cerita-cerita rakyat di Minahasa adalah buku tiga jilid dari J.A.T. Schwarz, Tontemboansche Teksten (Leiden: Brill, 1907). Jilid pertama adalah kumpulan cerita-cerita rakyat yang dikumpulkan Schwarz dan semuanya dalam bahasa Tontemboan. Seluruhnya ada 141 cerita. Temanya bermacam-macam, mulai dari fabel, mitos kelahiran desa, kisah asal-usul nama, sampai pada legenda dan mitos tentang dewa-dewi serta doa-doa. Jilid kedua merupakan terjemahan bahasa Belanda dari jilid pertama ditambah dengan interpretasi pribadi oleh Schwarz sendiri. Jilid ketiga berisi catatan-catatan linguistik dan ethnografik terhadap naskah-naskah cerita itu. Schwarz yang sama pula yang menulis Tontemboansch-Nederlandsch woordenboek met Nederlandsch-Tontemboansch register (Leiden: Brill, 1908). Selain itu masih banyak karya lain yang ditulis oleh J.A.T. Schwarz yang terbit dalam MNZG. J.A.T. Schwarz adalah salah satu misionaris NZG yang pernah bertugas di Sonder. Ayahnya, J.G. Schwarz, adalah misionaris pelopor yang lama bekerja di Langowan, yang tiba di Minahasa pada tahun 1831 bersama dengan J.F. Riedel, juga misionaris pelopor yang mengabdikan lebih dari 30 tahun hidupnya, bahkan hingga wafat, di Tondano.
N.P. Wilken adalah nama yang harus disebut jika kita hendak menggali akar kebudayaan Minahasa. Wilken adalah juga salah seorang misionaris NZG. Banyak tulisan lepas dari N.P. Wilken yang diterbitkan dalam MNZG. Salah satunya yang sering digunakan sebagai rujukan adalah tulisan berjudul “Bijdragen tot de kennis van de zeden en gewoonten der Alfoeren in de Minahassa (MNZG 7, 1863), sebuah presentasi tentang kebiasaan-kebiasaan pribumi Minahasa pada masa itu. Tulisan ini penuh dengan deskripsi etnografis sekitar berbagai pandangan dan tata-cara hidup, termasuk kehidupan keagamaan, khususnya di wilayah Tombulu, sampai pada cerita-cerita fabel dan uraian asal-usul dan arti sejumlah nama tempat (negerijen). Misalnya nama Tataaran berasal dari kata “tumaar” (beloven=berjanji) sampai menjadi “tataaran” (de plaats van belofte=tempat terjadi satu perjanjian). Alkisah pada zaman dulu orang Tondano dan orang Tombulu sepakat untuk menjadikan tempat ini (negerij) sebagai tempat transaksi atau baku-tukar barang (ruilhandel). Berdasarkan perjanjian ini maka tempat tersebut mendapat nama Tataaran.
Selain berminat pada etnologi, N.P. Wilken juga sangat tertarik dengan bahasa-bahasa setempat. Ia bahkan menulis satu buku berjudul Bijdragen tot de kennis der Alfoersche taal in de Minahasa (Rotterdam: M. Wijt & Zonen, 1866), yang secara khusus memberi perhatian pada bahasa Tombulu. Setelah mencatat sejumlah cerita rakyat dan teka-teki dalam bahasa Tombulu, Wilken menguraikan dalam buku ini tata-bahasa Tombulu, termasuk mengenai bunyi, pembentukan kata, kata kerja dan seterusnya.
B. Setelah 1942 sampai Dasawarsa 1960-an
Sayang sekali judul-judul tulisan yang dihimpun oleh Mieke Schouten dalam bukunya Minahasa and Bolaangmongondow: an annotated bibliograpy 1800-1942 hanya sampai pada yang terbit tahun 1942 (walaupun Schouten sendiri sebenarnya tidak konsisten dengan batas tahun 1942 ini, karena ternyata di dalam bukunya itu ia juga mendaftarkan satu-dua karangan yang terbit sesudah itu). Lalu, bagaimana dengan tulisan-tulisan setelah itu? Sesungguhnya, tidak mudah mendaftarkan apalagi mendokumentasi tulisan-tulisan mengenai Minahasa sejak tahun 1942 itu. Mieke Schouten berhasil menyusun bibliografi mengenai Minahasa karena tulisan-tulisan yang ditelusurinya itu terarsip dengan baik di berbagai perpustakaan dan pusat arsip di Negeri Belanda. Sementara kebanyakan tulisan setelah itu masih bersifat tulisan lepas yang tersebar dan malah banyak yang tidak dibukukan atau dipublikasikan. Nanti tahun 1950-an mulai ditemukan lagi publikasi-publikasi berbentuk buku mengenai Minahasa, khususnya yang dikerjakan oleh orang-orang pribumi Minahasa. H.M. Taulu, J.F. Malonda dan F.S. Watuseke berada di deretan nama-nama penulis pada waktu itu. Salah satu buku H.M. Taulu yang terbit di dekade 50-an berjudul Adat dan Hukum Adat Minahasa (Tomohon, 1952), sedangkan satu-satunya buku dari J.F. Malonda yang terkenal berjudul Membuka tudung dinamika filsafat-purba Minahasa (Manado: Jajasan Badan Budaja Wongker-Werun, 1952). Juga termasuk dalam deretan terbitan di dekade 1950-an adalah buku dari J.G.Ch. Sahelangi, Ringkasan Hikajat Tanah dan Bangsa Minahasa Purbakala serta dengan Hikajat Bangsa Bentenan jang menduduki bahagian tenggara tanah Minahasa (Makassar: Pertjetakan Makassar, 1950).
Pada awal tahun 1961 terbit buku Sejarah Minahasa oleh F.S. Watuseke. Buku ini secara singkat tapi padat mendaftarkan secara kronologis peristiwa-peristiwa yang terjadi di Minahasa mulai dari “zaman purba” sampai dengan tahun 1954, yaitu ketika Bitung dijadikan pelabuhan samudra. Yang sangat menarik dari buku ini – khususnya dalam edisi ke-2 yang terbit 1968 – adalah lampiran-lampirannya, yang di antaranya mendaftarkan perjalanan sejarah pembagian tanah Minahasa dalam walak-walak dan kemudian dalam distrik-distrik sejak kira-kira tahun 1679 sampai 1966. Menyinggung tahun 1960-an, tidak boleh dilupakan buku kecil dari E.V. Adam, Kesusasteraan, Kebudajaan dan Tjerita-tjerita Peninggalan Minahasa (Manado: Pertjetakan Negara, 1967). Buku kecil ini lebih merupakan kapita selecta mengenai kebiasaan-kebiasaan dan kepercayaan-kepercayaan tua serta aturan-aturan tata-krama di Minahasa tempo dulu. Ada juga pantun-pantun dan “keahlian” mendengarkan bahasa burung.
F.S. Watuseke kemudian menjadi seorang penulis ahli mengenai Minahasa. Beberapa tulisannya malah diterbitkan dalam majalah Bijdragen tot de Taal-, Land- en Volkenkunde van Nederlansch-Indië (yang biasa disingkat BKI) terbitan KITLV di Negeri Belanda, baik dalam bahasa Belanda maupun bahasa Inggris. Salah satu tulisannya itu berjudul “Oude gebruiken bij zwangerschap en geboorte in Tondano” (BKI 126, 1970). Sesuai judulnya, tulisan ini berbicara tentang kebiasaan-kebiasaan tua di sekitar kehamilan dan kelahiran di Tondano, di mana dijelaskan, misalnya, apa artinya si maali-ali dan si matimea’ sampai pada nama dan jenis berbagai macam rempah-rempah yang diperlukan oleh seorang ibu untuk mandi setelah melahirkan (seperti Karimenga, Kajutumetow, Muntè pepontolen, dst.). Juga tidak ketinggalan di bagian akhir tulisannya adalah sebuah gambar tentang bagaimana tampaknya buaian bayi asli setempat.
Tahun 1968 Kurt Tauchmann, seorang peneliti Jerman, dipromosi doktor di Universitas Köln dengan disertasi berjudul Die Religion der Minahasa-Stämme (Nordost-Celebes/Sulawesi). Barangkali inilah disertasi pertama tentang Minahasa yang ditulis dalam bahasa Jerman. Melalui studinya ini Kurt Tauchmann coba merekonstruksi agama dan kepercayaan asli suku-suku di Minahasa dari masa pra-pengaruh Eropa. Buku ini terdiri dari enam bab, masing-masing membahas kosmologi, kepercayanaan dan ajaran tentang dewa-dewa, gambaran dan konsepsi mengenai jiwa, kepemimpinan agama, perilaku keagamaan, dan terakhir mengenai sistem agama Minahasa. Studi ini sangatlah komprehensif dengan tetap menjaga kepelbagaian di antara suku-suku di Minahasa itu sendiri. Yang menarik, Tauchmann menyebut Minahasa sebagai “Mythenmuseum”. Di wilayah Indonesia bagian Timur, katanya, tidak ada daerah lain di mana ditemukan aneka ragam mitos yang bersaing seperti di Minahasa.
C. Tiga Dekade Kemudian: 1970-1999
Pada pertengahan tahun 1970-an ada program kerjasama antara Lembaga Ilmu Pngetahuan Indonesia (LIPI) dengan Koninklijk Instituut voor Land-, Taal- en Volkenkunde (KITLV) untuk menerbitkan seri terjemahan karangan-karangan Belanda ke dalam bahasa Indonesia. Panitianya diketuai oleh Koentjaraningrat, seorang guru besar anthropologi dari Universitas Indonesia, Jakarta. Sayangnya, selama program ini berlangsung hanya dua karangan dari seorang penulis Belanda, yaitu L. Adam, mengenai Minahasa yang sempat diterjemahkan. Dua karangan itu masing-masing terbit dengan judul Pemerintahan di Minahasa (Jakarta: Bhratara, 1975) dengan kata pengantar oleh F.S. Watuseke dan Adat Istiadat Sukubangsa Minahasa (Jakarta: Bhratara, 1976) dengan kata pengantar oleh G.M.A. Inkiriwang. Konon, masalah dana menghentikan gerak langkah program ini. Satu hal yang patut disayangkan. Edisi asli berbahasa Belanda kedua karangan tersebut sudah terbit dalam BKI 81 pada tahun 1925 dalam seri tulisan bertema “Uit en over de Minahasa”. Dalam serial ini terdapat dua tulisan mengenai misi dan gereja di Minahasa, masing-masing oleh J.W. Gunning, “De protestantsche zending in de Minahasa” (BKI 80, 1924) dan oleh A.J. van Aernsbergen, “De Katholieke kerk en hare missie in de Minahasa” (BKI 81, 1925). Selain itu pula, masih dalam serial “Uit en over Minahasa”, ada satu tulisan mengenai bahasa-bahasa di Minahasa oleh N. Adriani berjudul “De Minahasische talen” (BKI 81, 1925).
Dekade 1980-an merupakan dekade kebangkitan Minahasalogi. Di lingkungan universitas dan sekolah tinggi di Minahasa muncul minat yang luar biasa untuk mempelajari budaya, agama dan masyarakat Minahasa. Hal ini nyata antara lain dari banyaknya skripsi dan tesis mengenai Minahasa yang lahir di Fakultas Teologi UKIT, di Seminari Pineleng dan di Fakultas Sastra UNSRAT pada tahun 1980-an. (Saya sendiri lulus dari Fakultas Teologi UKIT pada bulan Mei 1987 dengan skripsi tentang Watu Pinawetengan berjudul “Agama Rakyat dalam Artikulasi Teologis”). Juga banyak dosen yang melanjutkan studi pada periode ini mengambil tema sekitar agama dan kebudayaan serta situasi sosial masyarakat Minahasa. Dari bidang studi teologi dan Kekristenan bisa disebutkan di sini dua dari sekian banyak contoh: Richard A.D. Siwu, “Adat, Gospel and Pancasila: A Study of the Minahasan Culture and Christianity in the Frame of Modernization in Indonesian Society” (Tesis D.Min, Lexington Theological Seminary, 1985); K.A. Kapahang-Kaunang, Perempuan: Pemahaman Teologis tentang Perempuan dalam Konteks Budaya Minahasa (Jakarta: BPK Gunung Mulia, 1993). Karangan yang disebutkan terakhir ini semulanya adalah tesis M.Th. yang diselesaikan di UKIT Tomohon pada tahun 1989. Di bidang pertanian, misalnya, ada penelitian dari A.E. Wahongan-K, “Peranan Wanita dalam Pembangunan dan Kaitannya dengan Lembaga Mapalus” (Tesis Master, Institut Pertanian Bogor, 1986).
Contoh-contoh ini sekedar menunjukkan luasnya samudra penelitian yang telah dikerjakan di berbagai bidang mengenai Minahasa selama dekade 1980-an. Masalahnya, keluasan ini tidak diikuti dengan proses dokumentasi dan pengarsipan yang memadai, sehingga tidak ada sama sekali katalog yang bisa dijadikan acuan untuk menemukan kekayaan tulisan dan penelitian ini. Barangkali dalam hal ini para pakar dan peneliti yang tengah berkecimpung di dunia akademik/universiter bisa membantu dalam upaya penyusunan katalog termaksud. Usaha ini hendaknya bisa terkoordinasi dan terorganisasi dengan baik pula.
Selain itu, patut dicatat dua peristiwa besar yang turut menandai kebangkitan Minahasalogi di era 1980-an, yaitu pelaksanaan Seminar Penentuan Hari Jadi Daerah Minahasa di Tondano, 24-27 Mei 1982 dan seminar dalam rangka perayaan Yubileum 50 tahun GMIM Bersinode di Manado, 8-10 Oktober 1984. Selain menjadi ajang temu wicara para pakar, kedua acara ini juga meninggalkan banyak monografi yang sangat bermanfaat bagi studi ke-Minahasa-an. Sayangnya, hanya materi-materi seminar di Tondano yang didokumentasikan sebagai satu kumpulan “Materi Penunjang”, sedangkan bahan-bahan seminar di Manado harus dicari pada koleksi-koleksi pribadi. Kalau di seminar di Tondano ada pemakalah seperti H.M. Taulu dan Noldy Ch. Kumaunang, dari seminar di Manado ada nama-nama seperti E.K.M. Masinambow, O.E.Ch. Wuwungan dan Jan van Paassen. Juga karya-karya lepas tokoh-tokoh ini perlu didata dan diarsipkan dengan baik, karena merupakan bagian dari kekayaan studi Minahasalogi. Sebagaimana diketahui, sebagai hasil “politis” dari seminar penentuan hari jadi daerah Minahasa itu, ditetapkanlah tanggal 5 November 1428 sebagai hari jadi Minahasa. Sehingga, tepat pada tanggal 5 November 1983, HUT Minahasa ke-555 dirayakan secara meriah. Penentuan tanggal 5 November mempunyai arti simbolis dan merujuk pada tanggal wafatnya Oom Sam Ratulangi. Tetapi mengapa tahun 1428 yang ditetapkan, sampai sekarang belum jelas benar alasannya. Mungkin para pelaku sejarah yang terlibat pada waktu itu boleh membantu dalam menjawab pertanyaan terbuka ini. Yang pasti, antara proses seminar dan hasil “politis” penentuan hari jadi itu ada kesenjangan historis dan analitis yang masih perlu dijembatani.
Masih di era 80-an, perlu juga disebut satu disertasi mengenai Minahasa yang dipertahankan di Göteborg, Swedia oleh Wil Lundström-Burghoorn berjudul Minahasa Civilization: A Tadition of Change (Göteborg: Acta Universitatis Gothoburgensis, 1981). Satu studi anthropologis mengenai kebiasaan-kebiasaan dan tradisi-tradisi yang dipraktekkan oleh masyarakat di Minahasa, termasuk kajian mengenai sistem kekerabatan dan rites de passage mulai dari kelahiran sampai kematian seseorang. Buku lain yang juga sangat penting dari dekade ini adalah yang ditulis oleh Bert Supit berjudul Minahasa: Dari Amanat Watu Pinawetengan Sampai Gelora Minawanua (Jakarta: Sinar Harapan, 1986). (Catatan: Bert Supit penulis buku ini tidak identik dengan dokter Bert A. Supit di Tomohon. Bert Supit ini adalah bekas perwira TNI-AD dan termasuk salah seorang pemrakarsa berdirinya Perguruan Tinggi Manado, yang kemudian menjadi Universitas Sam Ratulangi, dan sekarang tinggal di Jakarta). Buku karangan Bert Supit bisa dikategorikan sebagai buku kajian sejarah Minahasa. Salah satu acuan utama yang digunakan oleh Bert Supit adalah bukunya E.C. Godeè Molsbergen, Geschiedenis van de Minahassa tot 1829 (Weltevreden: Landdrukkerij, 1928). Bahkan kutipan lengkap naskah-naskah perjanjian antara orang Belanda dan orang Minahasa pada tahun 1679, 1699 dan 1790 selengkapnya diambil dari buku tersebut. Tetapi itu tidak berarti Bert Supit tidak berlaku kritis terhadap buku tersebut. Melalui bukunya ini Bert Supit malah menunjukkan gejolak-gejolak perlawanan terhadap Belanda yang pernah terjadi dalam sejarah Minahasa, terutama dengan terjadinya Perang Tondano.
Melengkapi jelajah bibliografi tentang Minahasa di tahun 1980-an, bisa ditambahkan di sini dua nama penulis beserta karangannya yang dipublikasi secara nasional maupun internasional, yaitu: N.S. Kalangi, “Kebudayaan Minahasa” dalam Koentjaraningrat, ed., Manusia dan Kebudayaan di Indonesia (Jakarta: Didjaskara, 1981); Willem H. Makaliwe, “A preliminary note on genealogy and intermarriage in the Minahasa regency, North Sulawesi” (BKI 137, 1981). Tulisan N.S. Kalangi lain yang juga terkenal berjudul “Orang Minahasa. Beberapa Aspek Kemasyarakatan dan Kebudayaan” dalam Peninjau 4, 1977.
Beralih ke dasawarsa 1990-an. Sejauh pengamatan, sepanjang dekade 90-an sedikitnya telah lahir empat disertasi (dua darinya telah dipublikasi sebagai buku) tentang Minahasa yang ditulis oleh orang Eropa. Tahun 1990 Helmut Buchholt menerbitkan buku berjudul Kirche, Kopra und Bürokraten: Gesellschaftliche Entwicklung und strategisches Handeln in Nord Sulawesi / Indonesien (Saabrücken: Verlag Breitenbach, 1990). Buchholt sendiri adalah orang Jerman. Buku ini aslinya adalah disertasi. Promosi doktornya di Universitas Bielefeld. Judulnya memang unik, karena mengkombinasikan gereja, kopra dan kaum birokrat. Mengikuti pendekatan sosiologi pembangunan dalam kerangka konsep strategische Gruppen, Buchholt meneliti peran sentral orang dan daerah Minahasa dalam membangun wilayah Sulawesi Utara, terutama sejak era politik kolonial Hindia-Belanda dengan proses transformasi ekonominya sampai pada era pemerintahan Orde Baru dengan birokratisasinya.
Tahun 1993 ada dua disertasi yang dipertahankan di Negeri Belanda. Kedua penulisnya berkebangsaan Belanda. Satu disertasi dikerjakan oleh Mieke Schouten berjudul Minahasan Metamorphoses: Leadership and social mobility in a Southeast Asian society, c. 1680-1983 (Disertasi Vrije Universiteit, Amsterdam, 1993). Mieke Schouten menfokuskan studi antropologis-historisnya pada perubahan kultural yang terjadi di Minahasa pada masa antara tahun 1680 dan 1983. Dengan menggunakan istilah “metamorfosa” pada judulnya, Schouten membuktikan bahwa di Minahasa, perubahan ekonomi, politik dan religius tetap diikuti oleh pola-pola dari masa lampau. Praktik-praktik kekristenan, misalnya, tetap tidak terlepas dari pola-pola ritual dan struktur agama primer. Selain itu, betapa pun struktur birokratis negara modern mewarnai konstelasi politik, pola kepemimpinan tradisional masih menguasai struktur desa.
Disertasi dari Mieke Schouten ini merupakan perpaduan menarik antara dokumentasi dan analisis. Buku setebal 340 halaman ini bahkan bisa menjadi dasar untuk banyak penelitian baru, misalnya mengenai konsep kekuasaan dalam budaya-budaya di Minahasa atau mengenai perempuan Minahasa. Dalam hal studi tentang Minahasa, Mieke Schouten memang bukan orang baru. Tesis MA-nya di Vrije Universiteit, Amsterdam, pada tahun 1978 sudah mengambil tema perubahan posisi kepala walak di Minahasa pada abad ke-19 (“De veranderende positie van het walak-hoofdt in de Minahasa gedurende de negentiende eeuw”). Sejak itu Mieke Schouten sebenarnya telah mulai memantapkan dirinya sebagai salah seorang nara sumber mengenai Minahasa, terutama lewat tulisan-tulisannya. Ia termasuk salah satu penulis asing yang sangat produktif menulis tentang Minahasa.
Disertasi lainnya ditulis oleh Menno Hekker berjudul Minahassers in Indonesië en Nederland: migratie en cultuurverandering (Disertasi Universiteit van Amsterdam, 1993). Dari judulnya saja sudah kelihatan arah penelitiannya adalah mengenai perubahan kultural pada kaum migran Minahasa di Negeri Belanda. Menno Hekker mengklasifikasi studinya sebagai ethnografi. Studinya sendiri merupakan studi kasus terhadap satu kaum migran tertentu. Berdasarkan pendekatan perubahan kebudayaan Menno Hekker lalu membuat perbandingan antara orang Minahasa yang telah menetap di Negeri Belanda dengan mereka yang menetap di tanah Minahasa. Perubahan kultural yang terjadi pada kaum migran Minahasa disebutnya sebagai satu proses “folklorisering”. Proses ini terjadi akibat perubahan konteks di mana kebudayaan Minahasa itu dihidupi. Artinya, konteks asli budaya Minahasa telah diganti oleh konteks kehidupan sosial masyarakat Belanda, yang berakibat pada menghilangnya sejumlah unsur budaya. Namun demikian ada sejumlah kebiasaan dan unsur kultural yang terus dipelihara seperti pengucapan syukur, kumpulan, kunci tahun baru, acara pohon terang, maengket, kabasaran dan mapalus. Mapalus umumnya hanya berlangsung sebagai prinsip resiprositas di antara warga Minahasa di Nederland.
Pada tahun 1996 KITLV di Leiden menerbitkan buku dari David E.F. Henley, Nationalism and Regionalism in a Colonial Context: Minahasa in the Dutch East Indies (Leiden: KITLV, 1996). Dalam bentuknya yang belum direvisi, isi buku ini sudah diajukan oleh penulisnya sebagai disertasi Ph.D. pada Australian National University pada tahun 1992. David Henley sendiri berkebangsaan Inggris. Buku ini pada hakekatnya meneliti perkembangan nasionalisme regional yang bertumbuh di Minahasa pada zaman Hindia-Belanda hingga tahun 1942. Ia juga melakukan analisis yang dalam tentang pengertian “bangsa Minahasa”. Baik perdebatan politik dalam Minahasarad maupun sejarah kelahiran organisasi-organisasi politik orang Minahasa turut terdokumentasi dalam karya ini.
Selain terbitnya disertasi-disertasi ini, ada dua buku kompilasi tulisan mengenai Minahasa yang terbit dalam bahasa Inggris selama era 90-an. Dua buku ini masing-masing adalah Helmut Buchholt dan Ulrich Mai, eds., Continuity, Change and Aspirations: Social and Cultural Life in Minahasa, Indonesia (Singapore: Institute of Southeast Asian Studies, 1994) dan Reimer Schefold, ed., Minahasa Past and Present: Tradition and Transition in an Outer Island Region of Indonesia (Leiden: Research School CNWS, 1995).
Buku pertama memuat sebelas tulisan dari berbagai penulis, di luar bagian introduksi, yang sebenarnya mengisi tiga bagian buku ini. Bagian pertama, mencakup tiga tulisan, menyentuh aspek-aspek sosial-historis dan kultural pembangunan di Minahasa. Bagian kedua mengangkat secara khusus aspek politik lokal dan diferensiasi sosial. Lima tulisan mengisi bagian ini. Sedangkan tiga tulisan yang mengisi bagian ketiga berkaitan dengan aspek-aspek ideologis dan ekonomis dari pembangunan wilayah. Sebagian besar isi buku ini merupakan tuangan hasil kajian oleh lima peneliti Jerman dari Universitas Bielefeld. Penting dicatat, sejak tahun 1980-an Universitas Bielefeld merupakan univeritas Jerman yang banyak memberi perhatian pada penelitian-penelitian di Minahasa. Juga hubungannya dengan pusat penelitian UNSRAT Manado sangat erat. Kemudian ada satu kontribusi dari Mieke Schouten kalangan elit lama dan baru di Sonder. Dua tulisan lainnya berasal dari para peneliti di UNSRAT. Satu tulisan mengenai peranan perempuan Minahasa di pedesaan ditulis bersama oleh Wiesje Lalamentik, Alex Ulaen dan Justus Inkiriwang. Satu tulisan lagi mengenai pola-pola pemberdayaan dan peran tenaga kerja sektor non-pertanian di pedesaan Sulawesi Utara dikerjakan oleh Lucky Sondakh.
Buku kedua berisi delapan artikel, di luar introduksi yang ditulis oleh editor buku ini, mencakup berbagai tema yang masing-masiong berdiri sendiri. Ada misalnya Mieke Schouten yang membahas soal mencari status di Minahasa, atau Reimar Schefold dengan tema pencuri heroik (tentang Tumileng), atau David Henley dengan analisis mengenai kartografi Minahasa dalam sejarah. Selain itu ada juga tiga nama Indonesia di antara para penulis, yaitu Louise Gandhi Lapian, Richard Leirissa dan Rili Djohani. Louise Gandhi-Lapian adalah dosen pada Fakultas Hukum UI yang pada tahun 1993 meraih gelar doktor dengan disertasi berjudul “Harmonisasi Hukum tentang Sahnya Perkawinan Kristen dan Hubungannya dengan Harta Benda Perkawinan: Suatu Penelitian Lapangan di ‘Rondor’ Kawangkoan Minahasa (Disertasi Ph.D. Universitas Indonesia, Jakarta, 1993). Richard Leirissa adalah dekan Fakultas Sejarah UI. Pada tahun 1990 ia menulis sebuah buku berjudul PRRI/Permesta: Strategi Membangun Indonesia Tanpa Komunis (Jakarta: Grafitipres, 1990).
Di bagian introduksi buku yang dieditnya ini, Reimar Schefold antara lain menulis: “The various contributions give voice to a new interest in the culture of Minahasa, which after a long period of considerable silence has been gradually re-emerging in recent years.” Bagaikan hembusan angin segar mendengar lahirnya minat baru terhadap budaya Minahasa ini. Sayangnya, buku kompilasi tulisan mengenai Minahasa seperti ini tidak banyak terbit di Indonesia. Pada tahun 1993, selama cuti pulang kampung di Tomohon, saya bersama Dr. R.A.D. Siwu coba mendirikan lembaga studi dan penerbit dengan nama Lembaga Telaah Agama dan Kebudayaan (LETAK) dan sejauh ini telah berhasil menerbitkan beberapa buku, di antaranya: David H. Tulaar, ed., Opoisme: Teologi Orang Minahasa (Tomohon: LETAK, 1993) dan David H. Tulaar, ed., Merunding-rundingkan Kerja Selamat: Buku Penghormatan Hari Jadi ke-60 Prof. Dr. W.A. Roeroe (Tomohon: LETAK, 1993). Buku pertama merupakan dokumentasi satu proses diskusi bertemakan “opoisme” yang berlangsung lewat korespondensi tulisan maupun lewat seminar sejak tahun 1990 sampai 1993. Buku kedua adalah Festschrift untuk Pdt. W.A. Roeroe dan mengangkat tema-tema seperti pembangunan pedesaan, perempuan, gereja dan teologi di Minahasa.
D. Merealisasi Sebuah Cita-cita
Tentu saja jelajah bibliografis ini masih jauh dari lengkap dan sempurna. Masih banyak penulis dan tulisan yang belum tercatat di sini. Apalagi banyak pula tulisan yang ditulis untuk kesempatan tertentu saja dan tidak didokumentasikan. Tidak boleh dilupakan di sini berbagai penerbitan sederhana oleh berbagai lembaga atau yayasan adat dan kebudayaan Minahasa yang sudah pernah ada. Ada misalnya buletin dari tahun 1977 berjudul “Seri Mapalus. Koleksi Warisan Nenek Moyang” oleh Vincent O.L. (Jakarta: Yayasan Mapalus), atau buku kecil stensilan dari I.W. Palit, “Sejarah Manusia Pertama di Minahasa” (tanpa tahun). Pada Sidang Raya IX Dewan Gereja-gereja di Indonesia (DGI) di Tomohon pada tahun 1980 buku stensilan ini diedarkan kepada para peserta sidang.
Masih merupakan cita-cita pribadi untuk menyusun sebuah katalog terbitan-terbitan mengenai Minahasa. Tulisan ini hanyalah salah satu langkah ke arah perwujudan cita-cita tersebut. Minahasalogi perlu terus dikembangkan. Barangkali satu waktu nanti cita-cita ini bisa bermuara pula pada pendirian satu pusat dokumentasi dan arsip bagi studi ke-Minahasa-an. Atau barangkali satu pusat studi Minahasalogi. Namun demikian terlalu muluk-muluk untuk segera berpikir tentang sebuah gedung, tentang lemari-lemari buku atau laci-laci arsip yang berderet-deret, tentang komputer yang berisi data bibliografis, tentang koleksi microfiche. Langkah pertama adalah pendataan “apa yang ada”, yaitu publikasi, naskah dan tulisan apa saja yang sudah ada. Inilah awal dari penyusunan katalog lengkap mencakup penulis, judul, bidang penelitian, jenis tulisan, dan seterusnya. Langkah kedua adalah pendataan di mana publikasi, naskah dan tulisan itu bisa ditemukan. Setidaknya diketahui kepada siapa kita bisa bertanya untuk menemukan satu naskah misalnya. Nanti pada langkah ketiga dan langkah-langkah selanjutnya kita mulai memikirkan bagaimana mengumpulkan, mendokumentasikan serta mengarsipkan semua ini sehingga accessible, baik bagi pemerhati atau peneliti, teristimewa bagi setiap orang Minahasa yang hendak menggali akar-akar identitasnya. Kata kunci utama di sini adalah accessibility. Minahasalogi harus senantiasa menjadi gerbang yang terbuka bagi proses “baku beking pande” dan realisasi “si tou timou tumou tou”.
Stuttgart, awal Agustus 2001
0 comments:
Post a Comment