ADA APA DENGAN TONDANO (II)
(Catatan Pasca Bencana di Sulawesi Utara)
Oleh:
Audy WMR Wuisang
“… Oh Minahasa tempat lahirku…
Sungguh bangga rasa hatiku, memandang keindahanmu.
Namamu mashyur di Nusantara
Karena cengkeh pala dan kopra, harumkan pasaran dunia.
Danau Tondano dan sawah ladangmu …”
Tondano terancam tenggelam? Benar. Tapi apakah ini disadari oleh masyarakat sekitar Ibu Kota Kabupaten Minahasa (dulu) ini? Sebagian kecil ya, dan sebagian terbesar pastilah tidak. Rangkaian bencana yang terjadi sejak akhir tahun 1990-an dan semakin dahsyat pada akhir-akhir ini menunjukkan trend yang mengerikan, dan bukan tidak mungkin Tondano tenggelam. Setelah peran histories dan cultural serta politis Tondano “tenggelam”, maka kini secara fisikpun Tondano terancam tenggelam. Artikel ini, mengajak semua, bukan hanya orang atau Tou Tondano untuk memikirkan posisi kota sejarah bagi Minahasa ini pada masa-masa mendatang. Tulisan inipun bisa menjadi lanjutan dari artikel dengan judul yang sama yang pernah dipublikasikan salah satu media di propinsi ini beberapa tahun lalu.
Bagi beberapa orang, tulisan Tondano terancam “tenggelam” mungkin terasa dramatisasi. Tetapi, bila dibandingkan antara posisi dan letak “Minawanua” atau Tondano tua yang terletak di Desa Toulour, dimana sebagian terbesarnya sudah terendam air, maka ancaman tersebut baru terasa. Selain itu, bagi mereka yang menghabiskan waktu dan masa kecil di Tondano, tahu belaka, betapa permukaan sungai Tondano sudah meningkat beberapa meter dibanding 20-25 tahun silam. Tentu, naiknya permukaan sungai Tondano bukan terjadi tiba-tiba, alias sim salabim, jadi dan naiklah permukaan sungai tersebut. Sama halnya dengan terendamnya sebagian daerah di desa Toulour dewasa ini. Semua proses tersebut tidak terjadi dengan sendirinya, melainkan akumulasi dan proses panjang dari perusakan lingkungan yang terjadi diseputar Danau Tondano.
Jika ditelusuri lebih jauh, proses-proses pembabatan hutan, baik di daerah perkebunan Koya, Tounsaru, Peleloan dan Urongo yang telah berubah menjadi areal pendidikan; Kemudian ditambah dengan penggundulan hutan yang dirubah menjadi perkebunan di daerah utara Tataaran dan Koya, serta juga terutama pembabatan hutan di Pegunungan Lembean, menyebabkan ancaman tersebut menjadi semakin riil. Dengan semakin jarangnya pepohonan yang dulunya rindang dan lebat, maka daya resap air menjadi berkurang, pada gilirannya kerusakan hutan menyebabkan bukan hanya air yang dialirkan ke Danau Tondano, tetapi juga lumpur. Akumulasi lumpur inilah yang menyebabkan pendangkalan danau, sehingga pada gilirannya memaksa permukaan danau dan sungai Tondano naik.
Memang, untuk tahun-tahun ini, mendengar kata “Tondano Tenggelam” pastilah dianggap sekedar olok-olok, atau cari sensasi. Tapi, sebagaimana dunia diramalkan menghadapi naiknya permukaan air laut akibat pemanasan global, demikian juga sebetulnya ancaman tenggelamnya Tondano. Artinya, areal-areal yang lebih rendah, semisal desa-desa di Kota Tondano yang dipinggiran Sungai Tondano, bukan tidak mungkin terendam, meskipun dalam hitungan puluhan tahun. Artinya, selain arena perjuangan Perang Tondano ikutan tenggelam, juga sejumlah desa lain semisal Koya dan Tataaran serta puluhan desa lain seputaran Danau, harus menyingkir ke real yang lebih tinggi. Tapi … memang, bukan dalam hitungan hari, minggu dan bulan, tapi tahunan, bahkan puluhan tahun.
Kompleksitas Persoalan
Bilapun pemerintah memiliki good will (kemauan baik) atau juga political will dalam menanggulangi persoalan ini, tidaklah berarti masalah dengan mudah diatasi. Mengapa? Karena mengatasi persoalan pendangkalan danau Tondano, bukanlah persoalan Lingkungan semata. Persoalan perusakan Lingkungan di Minahasa, terutama seputar Danau Tondano, bukan persoalan Lingkungan semata. Apabila teropong persoalannya dilihat semata masalah lingkungan, maka solusi yang dihadirkan pastilah partial, tidak menyeluruh. Proses perusakan dan pembabatan hutan dan pohon di Pegunungan Lembean dan di areal Perkebunan sebelah barat Danau Tondano, serta di Selatan, daerah Kakas dan Langowan, tidak masalah tunggal. Bukan semata “ketidaktahuan” penduduk yang merambah hutan. Bukan juga semata iseng-iseng menebangi hutan buat dijadikan “bahan baker tradisional”. Lebih dari itu, sebuah permasalahan social yang melibatkan masalah kemiskinan.
Karena itu, penghijauan kembali atau reboisasi tidak menunjukkan manfaat yang optimal. Karena memang mengatasi masalah pendangkalan, hanya dengan menangani persoalan-persoalan yang terkait Lingkungan, tidak menyelesaikan salah satu akar persoalan. Bagaimana mungkin masyarakat tidak tergoda melakukan ekstensifikasi areal pertanian dan menebangi hutan apabila hidupnya morat-marit? Bagaimana mungkin masyarakat tertarik melanggengkan bibit pohon dalam rangka penghijauan sementara kebutuhan keseharian mereka masih ragu didapat dimana? Ironisnya, kadang tudingan penyebab pendangkalan secara semena-mena dibebankan kepada para penduduk yang dianggap “kanibal” terhadap pohon-pohon penting itu. Tanpa pernah peduli bahwa memang hanya pohon dan lahan itu yang mungkin mereka kais untuk menyambung hidupnya.
Bila sudah terkait dengan masalah kemiskinan, maka kebijakan dan proses penyembuhan, pasti akan menjadi lebih rumit. Dalam konteks prilaku dan kecenderungan elite politik yang lebih kapitalis, mementingkan modal, mementingkan dunia usaha, maka problematika kemiskinan tetap belum akan tersentuh komprehensif. Konsentrasi dana, sayangnya tidaklah ke Usaha Kecil Menengah. Buktinya, bukannya diupayakan mencari market alternative bagi “Cap Tikus” misalnya, justru larangan yang dituai. Artinya, terserah mau diapakan hasil Pohon Seo, dan terserah mau digimanakan Cap Tikus itu, yang penting dilarang. Padahal, justru Cap Tikus ini menjadi salah satu sumber penghasilan utama banyak petani. Apa alternative yang disiapkan bagi petani Cap Tikus? Tidak ada, yang penting dilarang dulu.
Atau, kemanakah target penguatan kelompok ekonomi lemah dan usaha kecil lainnya apabila tidak menyentuh kelompok miskin? Kita tentu layak bertanya. Karena memang, kekisruhan persoalan penanganan kemiskinan bermuara ke banyak masalah social lainnya, bukan hanya persoalan pendangkalan Sungai dan Danau Tondano. Artinya, memang persoalan dan ancaman pendangkalan bermuara pada core persoalan pilihan pembangunan kita. Kita, termasuk Minahasa (dulu), tidaklah memberi perhatian dan mengapresiasi upaya mengangkat kehidupan petani. Selalu yang diutamakan adalah “mencari investor”, meski mayoritas penduduk Minahasa adalah petani. Karena sejak dulu favorit adalah “investor” dan sering dengan kategori yang diimpikan “kakap”, akhirnya sentuhan pembangunan jadi tidak relevan dan tidak bersignifikansi (bermakna) positif bagi mayoritas penduduk Minahasa.
Akhirnya … justru bukan pemerintah dan program pemerintah terutama yang berupaya melestarikan sungai dan danau Tondano. Justru lembaga-lembaga asing, Non Government Organization (atau LSM) yang giat melakukan program penyadaran masyarakat, advocacy masyarakat miskin, dalam melestarikan aliran sungai dan danau. Tetapi … sejauh manakah kelompok masyarakat semacam ini melakukan tugasnya sementara pemerintah tidak cukup siuman memperhatikan persoalan itu? Pemegang otoritas adalah pemerintah. Tanpa support penuh dan kepedulian yang mendalam pemerintah, maka sangat sulit diharapkan pencegahan yang komprehensif. Hanya melalui kerjasama yang komplementer antara semua pihak, maka persoalan yang kusut masai dan kompleks antara persoalan lingkungan dan masalah social ini bisa ditangani secara baik.
Tondano terancam tenggelam. Memang bukan sekarang. Tapi nanti. Artinya, kita sedang mewariskan Kota Tondano yang penuh sejarah kepada anak cucu kita dengan membentuknya menjadi “sesuatu yang lain”. Atau sedang memerosokkan kota sejarah di Minahasa ini kebentuk yang ahistoris, alias kehilangan sejarahnya. Kita semua. Bukan hanya pemerintah, tetapi juga kita yang berdiam diseputar Danau Tondano, sedang berupaya “menenggelamkan” kota itu, akibat frustasi mendalam terhadap tuntutan kehidupan dan tuntutan keseharian.
Tondano: Kehilangan Segalanya?
Berkali-kali, saya menyebutkan Tondano sebagai kota sejarah dan kota budaya, selain juga menyebut arti pentingnya dalam konteks politik. Tondano, menjadi saksi bisu pertarungan berlarut-larut antara penjajah (spanyol dan belanda) dengan para walak Minahasa pada tahun 1600-1800an. Berkali-kali pada tahun tahun tersebut Tondano menjadi arena tumpah darah, sebagian melibatkan nyaris seluruh walak di tanah Minahasa. Yang kemudian pada akhirnya berujung pada bumi hangus perkampungan Minawanua, perkampungan Tondano pertama di tepi Danau Tondano, mengikuti alur sungai Tondano. Fakta sejarah ini, justru jauh lebih kokoh ketimbang mengenal Tondano hanya sebagai kota yang melahirkan Sam Ratulangi.
Kota Tondano ini pula, yang kemudian menjadi Ibu Kota Kabupaten Minahasa untuk sekian waktu lamanya. Sebagai “capital city” atau Ibu Kota, Tondano menjadi pusat budaya Minahasa, terlebih karena pada masa itu Minahasa selain sebagai kesatuan politik (Kabupaten) juga menjadi kesatuan Budaya (melingkupi seluruh etnis Minahasa. Di kota ini pula, diletakkan Rumah Tua Minahasa yang saat ini sudah nyaris tinggal puing, selain kuburan Pahlawan Nasional Sam Ratulangi. Di Kota ini jugalah pada masa lalu, aktifitas budaya Minahasa coba dipelihara melalui rangkaian aktifitas budaya yang melibatkan seluruh sekolah di Minahasa. Jadi, tidak salah bila Tondano menjadi satu Kota bermakna cultural bagi Minahasa, meskipun Batu Pinabetengan berada jauh di sebelah selatan.
Sayangnya, kini bagi Minahasa, Tondano sudah kehilangan predikatnya sebagai pusat politik, karena Minahasa sudah termekarkan menjadi 4 Daerah: Kota Tomohon, Kabupaten Minahasa Induk, Kabupaten Minahasa Selatan dan Kabupaten Minahasa Utara. Sudah agak sulit menerima consensus bahwa Tondano masih menjadi pusat Politik Minahasa. Bahkan menyebutnya sebagai pusat budaya, juga menjadi semakin sulit. Tinggal kenangan dan rasa hormat terhadap “bekas” Ibu Kota Kabupaten Minahasa sajalah yang melatari rasa “segan” Kabupaten lain terhadap Tondano yang semakin kehilangan geliatnya. Terlebih karena akselerasi pertumbuhan ekonominya relative tertinggal dari beberapa kota lain semisal Tomohon.
Menghadapi ancaman dari Sungai dan Danau Tondano yang semakin dangkal, sungguh dikhawatirkan, Tondano kehilangan segala-galanya. Kehilangan predikat pusat budaya, pusat politik dan kini juga terancam kehilangan sejarahnya. Karena bahkan “nama besarnya” boleh dikata sudah “tenggelam” dan hanya tinggal nama. Apakah untuk sekedar mempertahankan sejarahnyapun kita tidak bisa? Dan kalau harus bisa, apa dan bagaimana seharusnya melakukannya? Sungguh sebuah pertanyaan yang harus dijawab. Bukan cuma oleh Bupati Kabupaten Minahasa induk, tetapi juga harus dijawab oleh Universitas Manado yang seharusnya diberi nama Universitas Tondano atau Universitas Minahasa. Karena diatasmu, adalah areal yang dulu menyanggah Danau, dan anda menyumbang terhadap proses pendangkalan Danau itu. Jadi, bila dituntut namamu menjadi Universitas Tondano ataupun Universitas Minahasa, karena memang anda berhutang atas tanah itu. Berhutang atas sejarah dan eksistensi tanah itu.
Tanggungjawab juga harus dijawab oleh para petinggi dan pemuka di tanah Tondano. Baik elite politik, maupun elite agama dan tokoh informal lainnya. Sudah cukup lama Tondano terlelap, dan kini kita dibangunkan dari mimpi buruk, betapa kita menyumbang atas meningkatnya kualitas bencana di Manado. Kita membiarkan penduduk merusak hutan, kita membiarkan pemerintah tidak memperhatikan petani, kita sangat permisif dengan semua pelanggaran tersebut di atas. Jadi, kita semua bertanggungjawab atas mundurnya Kota Tondano. Meski masih belum terlambat, kita perlu menyadari betapa berat langkah itu. Tetapi, biarlah kita terlambat sebelum kita ‘KEHILANGAN SEGALANYA”.
“… Oh Tempat lahirku Minahasa ..
Aku rindu setiap masa, AMAN DAMAI DAN SENTOSA”
Penulis, Pemerhati Masalah Sosial Kemasyarakatan.
(Dipublikasikan Harian Komentar)
0 comments:
Post a Comment