Monday, December 28, 2009

PENELITIAN TENTANG MAENGKET BAHASA TONDANO

BAB I
LATAR BELAKANG

PENULISAN SASTRA BAHASA TONDANO
Perlu diakui bahwa sastra etnis Tondano sangat kurang. Dari tahun 50-an Maengket sudah berkembang di seluruh Minahasa. Hampir setiap desa yang berbahasa Tondano ada tumpukan Maengket. Tapi sastra Maengket yang digunakan kebanyakan bukan sastra etnis Tondano. Karena itu anggota/peserta Maengket tidak tahu arti dari apa yang diucapkan.

Berbicara latar belakang penulisan sastra Tondano, ada beberapa hal yang perlu diketahui. Karena penulisan kata - kata yang sama tapi pengucapan yang berbeda :

1. Vokal e pada kata 'meja' dalam bahasa Indonesia ditulis sama dengan penulisan kata 'rendah'. Untuk penulisan dalam Bahasa Tondano ditulis seperti ini: 'e'. Contoh kata "baru dalam bahasa Indonesia, untuk bahasa Tondano bukan "Weru" tapi "Weru.

2. Kata - kata bahasa Tondano yang dimulai dengan huruf "w" apabila menggunakan bunyi sengau 'em' maka pengucapannya cenderung berubah "b" tapi dalam penulisan tetap memakai kata dasar bahasa seperti "Wale" artinya rumah ditulis 'Emwale ', dibaca 'Embale '.

3. Kata dasar yang diawali oleh vokal dan menggunakan bunyi sengau “en” maka pengucapannya sengau digabung dengan kata dasar. Contoh: ditulis 'en upus' : sayang, dibaca 'enupus. '

4. Ada gabungan huruf g dan h (gh) seperti kata dalam bahasa Tondano contoh: "Ghenang"'. ingat. Cat: Untuk kata ini tidak dibaca 'Ghenang' karena bukan termasuk dialek 'asli' Tondano.

5. Penulisan kata yang mendapat awalan dan akhiran konsonan, maka konsonan tidak ditulis pada kata awal, tapi nanti ditulis pada pengulangan yang kedua, contoh : "Tobol” Topang, dalam pengulangan "Matobo-tobolan”, artinya saling menopang, bukan “matobol-tobolan”, contoh lain, " Ulit " artinya "Benar" atau "Sungguh - sungguh" dalam bahasa Tondano " Mauli – ulit ”.

6. Tanda apostrof (') ditulis untuk menandakan bunyi glotal. Bunyi glotal dipakai baik dibagian tengah atau akhir kata yang berfungsi membedakan kata yang sama penulisan tapi berbeda arti. Contoh : Wa’wa: coba dan wawa' : bawah, contoh lain : Pa 'a artinya Paha dan Paa artinya Loteng. Penggunaan tanda apostrof atau bunyi glotal seperti: le'os bukan leos.

7. Dua Vokal tanpa bunyi glotal pengucapannya diperpanjang, contoh: Kaan: (1) Padi, (2) Nasi, Wiir : Beras.

Banyak contoh tentang latar belakang penulisan sastra bahasa Tondano bagi peminat bahasa, tapi karena terbatasnya waktu kami, hanya dapat memberikan contoh-contoh seperti diatas.


BAB II
SEJARAH PENULISAN MAENGKET

Istilah Maengket terdiri dari awalan Ma dengan kata dasar Engket. Ma berarti sedang melaksanakan dan Engket artinya mengangkat tumit naik turun sesuai lagu. Karena itu Maengket adalah gabungan seni sastra dan seni tari. Sastra atau lagu yang disusun atau dibuat untuk Maengket disebut Neengketen

Tari Maengket menurut Dra. J. Rompas-Awuy dalam buku 'Profil Kebudayaan Minahasa' adalah tari tradisional kerakyatan dan tari tradisional klasik, yang berdasar adat dan kebiasaan orang Minahasa pada jaman dahulu.

Maengket dilaksanakan dalam upacara-upacara antara lain: Makamberu, Metabak, Masambo, Melaya', Meraba. Tapi yang dikenal saat ini tinggal 3 (tiga) yaitu: Makamberu, Meraba', dan Lelaya'an.

I. Maengket Makamberu.
Dizaman dahulu banyak orang sebagai petani yang mengerjakan sawah atau ladang. Untuk menunggu padi yang ditanam di sawah atau di ladang memerlukan waktu yang panjang. Karena itu disaat padi akan dipetik atau sudah dipetik ada rasa kegembiraan dan kesukacitaan dari petani yang diungkapkan dalam bentuk menyanyi sambil menari. Kegembiraan dan kesukacitaan karena panen padi baru diungkapkan dalam nyanyian syukur kepada Tuhan. Itulah yang disebut Maengket Makamberu.

Kita ketahui bahwa bahasa - bahasa etnis di Minahasa antara lain Tondano, Tombulu, Tonsea dan Tontemboan mempunyai hubungan yang erat. Karena itu sering kali syair Maengket yang mengisahkan panen padi baru untuk etnis bahasa Tondano diucapkan Makamberu yang seharusnya diucapkan Makamberu. Karena Makamberu adalah cara pengucapan etnis Tombulu. Kata “baru” seperti diuraikan pada bagian sebelumnya untuk etnis Tondano adalah Weru bukan Weru, padi bukan Wene' tapi Kaan.

II. Maengket Rumamba'
Rumah orang Minahasa di zaman dahulu terbuat dari kayu. Sebagai ungkapan kegembiraan disaat rumah sudah selesai dibangun dan akan mulai dipergunakan ditandai dengan memasang lampu, yang dalam bahasa Tondano disebut soloan atau sumolo. Karena itu diadakan pesta sekaligus untuk menguji apakah rumah yang dibuat itu kuat. Untuk menguji apakah rumah itu kuat maka orang yang hadir sambil menyanyi menghentak - hentakkan kaki di lantai yang dalam bahasa Tondano disebut Meraba'. Kalau bahasa Tombulu Maramba.

III. Maengket Lelaya'an
Tidak berlebihan kalau orang Minahasa dikatakan mudah bergaul dengan siapa saja. Baik orang tua maupun orang muda. Termasuk muda-mudi, mereka bebas memilih siapa yang menjadi jodohnya. Orang Minahasa tidak mengenal jodoh diatur atau ditentukan oleh orang tua. Kesempatan seorang pemuda atau pemudi dapat berkenalan atau mengungkapkan perasaan atau pengalaman kepada orang lain yang dibawakan dalam bentuk nyanyian pada saat - saat tertentu. Kalau ada orang lain yang mendengar ada orang menyanyi maka mereka berkumpul dan menyanyi bersama - sama dengan suasana gembira atau melaya'. Karena itu lelaya'an dikenal juga sebagai tarian muda-mudi.

Dalam kegiatan Maengket apakah Makamberu, Meraba' atau Lelaya'an selalu diawali oleh seorang penyanyi kemudian diikuti atau diulangi oleh orang lain. Selain itu untuk membawakan seluruh jenis Maengket selalu berpasangan laki-laki dan perempuan.

Dari uraian diatas maka pada dasarnya Maengket dengan membawakan Maengket Makamberu, Maengket Meraba, Maengket Lelayaan tidak ada hubungan satu dengan yang lain. Karena itu perlu diingatkan kepada setiap orang Minahasa yang mau menggiatkan atau melestarikan Maengket, janganlah tarian Makamberu dikatakan babak I, Meraba' babak II dan Lelaya'an dikatakan babak III, sebab hal itu telah disepakati dalam Sarasehan Maengket tahun 1968 yang dilaksanakan bidang Kesenian Departemen Pendidikan Sulawesi Utara.


BAB III
KENDALA YANG DIHADAPI DAN USAHA PENANGGULANGAN

I. Kendala.
Perlu diakui bahwa hubungan bahasa- bahasa etnis di Minahasa sangat erat dan hanya dikenal dalam pengucapan. Karena itu sering terjadi kesulitan untuk menentukan apakah kata yang diucapkan itu betul bahwa Tondano atau tidak.

Masih sangat kurang kita menjumpai buku yang ditulis dalam bahasa etnis. Sedangkan banyak nasehat atau ungkapan - ungkapan atau cerita - cerita yang terdapat di Minahasa tetapi semua itu hanya disampaikan secara lisan. Karena itu sering terjadi bahwa bahasa etnis Tombulu dianggap juga bahasa Tondano, Tontemboan atau Tonsea. Memang diakui banyak kata yang sama antara etnis Tondano dengan bahasa etnis lain di Minahasa. Tetapi ada beberapa kata-kata boleh sama penulisan dan pengucapannya namun memiliki arti yang berbeda, dan ada kata yang tabu di etnis Tondano tetapi di etnis lain merupakan bahasa sehari-hari. Untuk etnis Tondano berbeda pengucapan dengan etnis Tombulu, sebagai contoh: Tondano ditulis dan dibaca 'Nikei' artinya kami, sedangkan Tombulu ditulis 'Nikei' dan dibaca 'Nikai' artinya kami.

Tetapi kendala yang paling utama dalam pengembangan bahasa Tondano adalah:

1. Sekitar tahun 60-an, orang tua yang tahu bahasa Tondano tidak lagi menggunakan/mengajarkan bahasa Tondano kepada anak - anak mereka sebab dianggap 'kampungan' kalau melanjutkan sekolah ke jenjang yang lebih tinggi.

2. Banyak keluarga - keluarga di Tondano tidak berasal dari etnis Tondano dengan demikian bahasa yang digunakan dalam pergaulan sehari-hari ditengah-tengah keluarga dan masyarakat adalah bahasa 'Melayu Manado'.

3. Orang Tondano yang berusia 30 - 40 tahun khususnya yang berada di kecamatan Tondano Barat, sebagian kecamatan Tondano Timur dan Tondano Utara meskipun mengetahui dan tahu mengucapkan bahasa Tondano hanya mempergunakan bahasa Melayu Manado. Kecuali untuk desa-desa/kelurahan seperti: di kecamatan Tondano Selatan, kecamatan Eris, kecamatan Kombi, kecamatan Lembean Timur.

4. Departemen Pendidikan dan Kebudayaan sudah pernah mengeluarkan/ menerbitkan bahasa daerah untuk diajarkan disekolah tetapi tidak berlanjut karena tidak ada pelatihan bagi guru - guru.

5. Tahun 1975 dalam daftar laporan hasil pendidikan/rapor baik di sekolah dasar maupun sekolah lanjutan ada bahasa daerah tetapi tidak dilaksanakan karena materi yang disediakan tidak dilanjutkan dengan melatih guru dalam bahasa daerah mengakibatkan dalam rapor tidak diisi hasil laporan pendidikan.

6. Sekarang ini sudah ada tulisan-tulisan dalam bahasa etnis Tondano, seperti: Pedoman Membaca dan Menulis, buku Panduan Guru, buku Muatan Lokal untuk para siswa yang diterbitkan oleh Pusat Penerjemahan Bahasa UKIT Tomohon tahun 2004. Tetapi untuk penerbitan dan pendistribusian masih terhambat karena terbentur pada masalah dana.


B. USAHA PENANGGULANGAN
Pada tahun 1989 telah diterbitkan Kamus bahasa Tondano - Indonesia, yang disusun oleh J. Wantalangi. Tulisan dalam bahasa Tondano juga sudah mulai diusahakan meskipun baru terbatas pada uraian tentang awalan sisipan dan akhiran yang ditulis dalam buku Profil kebudayaan tahun 1997 yang disusun oleh Prof. Dr. J. Turang dengan judul Bahasa Daerah di Minahasa dengan penulis Prof. Drs. A. B. G. Rattu. Juga pada tahun 2004 telah diterbitkan kamus bahasa daerah Manado - Minahasa oleh Jerry Waroka. Saat ini ada usaha konkrit yang dilaksanakan oleh Pusat Penerjemahan Bahasa UKIT Tomohon, yakni :

1. Dengan melalui penelitian telah menyusun pedoman membaca dan menulis bahasa Tondano, dengan harapan siapa saja dapat mengetahui dan mempelajari cara menulis dan mengucapkan bahasa Tondano. Terutama untuk para guru sebagai buku pedoman.

2. Menyiapkan buku panduan Guru untuk mengajarkan Bahasa Tondano supaya, para Guru benar - benar ada panduan secara bertahap untuk mengajarkan bahasa Tondano.

3. Menyiapkan buku/materi untuk murid dalam bahasa Tondano, bahasa Indonesia dan bahasa Inggris supaya siswa bukan saja mendengar dari guru tapi mereka dilatih membaca dan menulis dan dapat mempelajarinya di rumah.

4. Sudah menerjemahkan beberapa bagian Alkitab, seperti cerita Yusuf, dan kitab Yunus dari Perjanjian Lama (sudah diterbitkan) dan Injil Markus dari Perjanjian Baru (akan dicetak Oktober 2006).


BAB IV
KESIMPULAN DAN SARAN

A. KESIMPULAN
Dari uraian diatas maka dapat disimpulkan bahwa :

1. Sastra bahasa Tondano perlu dilestarikan antara lain melalui teks Maengket bahasa Tondano dan perlu diajarkan materi bahasa daerah di sekolah –sekolah

2. Bahasa Tondano harus diformulasikan secara baku dan terstruktur dari bahasa lisan menjadi bahasa tulisan. Baik dalam bentuk cerita, sejarah, bahkan lagu dalam bahasa Tondano.

B. SASARAN
Untuk melestarikan bahasa Tondano diharapkan :

1. Pemerintah daerah Minahasa melalui Dinas Pendidikan untuk mengadakan Pelatihan Guru untuk bahasa Tondano

2. Setiap pelaksanaan kegiatan lomba dalam rangka peringatan seremonial tertentu supaya selalu ada paket lomba dalam bahasa Tondano.

3. Orang tua yang tahu bahasa daerah, diharapkan tetap menggunakan bahasa daerah dalam berkomunikasi dengan anak - anaknya, juga dalam pergaulan sehari - hari.

4. Bagi orang Minahasa yang merasa dan menikmati karunia Tuhan dalam bentuk materi dapat membantu melestarikan bahasa Tondano

www. maengket.com
path: http://www.maengket.com/sejarah.asp?id=6&jd=Sastra Maengket Bahasa Tondano&kat=1

0 comments:



Lindungi Danau Kita dengan Menjaga Hutan Kita. Jangan biarkan ini terjadi!

http://www.wepa-db.net/pdf/0712forum/presentation26.pdf

Popular Posts