Refleksi 200 Tahun Minawanua
Ditulis kembali oleh Christy Manarisip
AGUSTUS 1809, Kapten Weintre menulis laporan kepada Residen Balfour di Manado: “5-7 Agustus 1809…Temanku Balfour, Tondano telah mengalami nasibnya yang naas pada tengah malam. Seluruh Tondano telah menjadi lautan api. Aku harapkan tidak ada sisa lagi dari Tondano ini. Mereka yang tidak sempat menyingkir itu terdiri dari orang tua yang sakit, wanita dan anak-anak. Mereka yang selamat dari amukan api, dihabiskan nyawanya oleh anggota-anggota pasukanku….yang penuh dengki dan haus darah, ingin membalas kematian rekan-rekannya yang tewas dalam pertempuran sebelumnya karena muntahan peluru orang-orang Tondano.
Saat menulis laporan ini, Tondano sudah menjadi tumpukan debu dan sama sekali hancur. Sehari setelah kemenangan kami, aku memerintahkan distrik-distrik (pakasaan-pakasaan) lain di Minahasa untuk membawa masing-masing 200 orang agar dapat membantu menhancurkan apa yang masih tersisa dan belum ditelan api, seperti kanon-kanon, tiang-tiang palisade yang terpancang di sekeliling kubu pertahanan mereka. Segala sesuatu, termasuk pepohonan, waruga-waruga aku suruh hancurkan agar kelak tidak akan kelihatan bekas bahwa ditempat ini pernah ada pemukiman orang-orang Tondano.
Alasanku melibatkan pakasaan-pakasaan dalam penghancuran sisa-sisa perkampungan orang Tondano ini, adalah untuk memperingatkan mereka di Minahasa akan nasin yang akan mereka alami bila berani menentang kekuasaan pemerintah Hindia Belanda. Senjata-senjata yang dapat disita masih kurang banyak. Dan aku duga orang-orang Tondano telah menengelamkannya di danau. Selanjutnya aku akan mengejar pemimpin-pemimpin mereka yang sempat mengundurkan diri kehutan-hutan di sekitar Kapataran….”. Balfour kemudian meneruskan laporan tersebut kepada atasannya Gezaghebber de Moluccas Rudolf Coop a Groen di Ternate: “ 9 Agustus 1809 … Orang-orang Tondano yang congkak dan angkuh itu akhirnya dapat kita taklukkan. Pada malam tanggal 4 menjelang 5
Agustus 1809, kira-kira tengah malam, dimulailah serangan yang telah lama disiapkan pe arah pusat pertahanan orang-orang Tondano. Penyerangan dipimpin Kapten Weintre dengan pasukannya.
Setelah pasukan penyerang berhasil memasuki perkampungan orang Tondano, mereka mulai membakar rumah-rumah, dan segala sesuatu yang mereka temukan. Api yang menyala itu dipantulkan air danau, dan dapat dilihat dari jauh dari atas tembok-tembok di Fort Amsterdam. (dikutip dari Eddy Mambu, SH, kutipan dari Bundel Ternate No. 116 Arsip Nasional dalam makalah “Pantang Mundur, Perang Tondano 1808-1809”, YKM Jakarta, 1986
Laporan Weintre, alumnus Akademi Militer Breda negeri Belanda tersebut bukan puisi, imajinasi atau ilusi. Laporan Weintre adalah laporan resmi militer dari pihak musuh Minahasa. Yakni tentang bagaimana Minawanua-pemukiman orang-orang Tondano tempo dulu yang dikelililingi benteng-benteng (moraya) di atas delta yang menyumbat air danau menuju hulu sungai Temberan-dijadikan ladang pembantaian (killing fields) rakyat Minahasa oleh Belanda. Pembantain yang menjadi klimaks sekaligus mengakhiri perang Tondano (1808-1809). Tragedi yang hanya mungkin dialami oleh suatu komunitas yang memilik tradisi pantang menyerah. Tradisi melawan dan musnah ketimbang tunduk kepada musuh. Treadisi yang oleh Belanda dianggap congkak dan angkuh, tapi bagi zaman kita adalah tradisi jiwa dan semangat kepahlawanan yang setiap 10 November diperingati sebagai hari pahlawan. Seandainya saja Minahasa saat itu tak lebih dari sekumpulan pengecut dan pecundang, niscaya tidak akan ada pengorbanan dan klimaks pembantaian sebagaimana dilaporkan Kapten Weintre. (tulisan ini dikutip dari “Mengabadikan Pahlawan Tou Minahasa di Tanah Toar Lumimuut” ditulis oleh Willy H. Rawung, ketua Pengarah Kongres Kebudayaan Minahasa 2009.
http://beritamanado.com/2009/05/18/refleksi-200-tahun-minawanua/#more-8
1 comments:
Makanya orang Tondano jang cuma jadi bingo-bingo, bangun tu Tondano!
Post a Comment