Thursday, January 14, 2010

SAM RATULANGIE DI MATA WARTAWAN

Oleh : Harry Kawilarang

De kracht van de Indonesische (pers) ligt in de bewustheid, dat men het op den duur moet winnen, zooals men nu reed voet voor voet terrein heeft gewonnen. De ontwikkelingslijn van de Indonesische pers toont een voortdurende opgaande tendenz. Er kan eens een blaadje over den kop gaan, maar de Indonesische pers in zijn geheel neemt in omvang steeds toe. De qualiteit toont een voortdurende perfectie, en wat belangrijkste is, de zelfstandige meening-vorming accentueert zich met den dag. - GSSJ Ratulangie

Istilah publisis pada buku kamus, Random House Unabridged Dictionary mengandung tiga pengertian. Yang pertama, konsultan penerbit media pers atau hubungan masyarakat ; yang kedua, ahli pengamat kemasyarakatan atau politik ; dan yang ketiga ahli memahami masalah masyarakat ataupun masalah internasional.

Istilah ini memang tidak pernah terdengar, apalagi sebagai gelar. Tetapi menjadi obrolan kami dengan Profesor S. I. Puradisastera di bulan Juni 1985 ketika membahas isi buku Dr. GSSJ Ratulangie, "Indonesia in den Pasific", yang diterjemahkannya dari bahasa Belanda ke bahasa Indonesia. "Saya kagum pada Ratulangie. Sebenarnya ia patut memperoleh gelar publisis ulung yang pernah dimiliki bangsa Indonesia", ujar ilmuwan sejarah ini.

Puradisastra mendefinisikan publisi sebagai jurnalis yang sudah memperoleh tingkat kesempurnaan dalam dunia jurnalistik yang tersimpul pada buku karya Oom Sam Ratulangie.

Penyajian analistis faktual dan kontekstual yang dilakukannya biasanya dilengkapi referensi nara sumber untuk memahami latar belakang permasalahan. Pembaca digiringnya menatap ke arah masa depan (futurologi). Penyajian cukup singkat. Namun bila diuraikan lebih mendalam, maka tulisannya akan menjadi buku tebal hingga terungkap posisi letak geo-strategis Indonesia dalam percaturan politik, ekonomi dan keamanan dunia.

Seorang penulis tak terlepas dari proses gemar menulis dan membaca mengikuti setiap situasi perkembangan menjadi syarat mutlah seorang wartawan untuk meningkat menjadi analis. Proses ini dikembangkan Oom Sam ketika mendirikan dan mengelola mingguan politik, Nationale Commentaren. Oom Sam Ratulangie mengikuti, mempelajari dan menganlisa setiap perkembangan dan peristiwa dari Samudra Atlantik hingga Pasifik yang berdampak terhadap Indonesi. Sebagai hasilnya, muncul karya buku tulisannya, Indonesia in den Pacific.

Pemikiran Oom Sam Ratulangie di tahun 1930-an mengenai Pasifik baru menjadi trend sekitar 50 tahun kemudian oleh praktisi - praktisi negeri - negeri lainnya. Misalnya saja, buku Megatrends Asia tulisan John Naisbitt. The Rise and Fall of the Great Powers atau Preparing for the Twentieth Century karya Paul Kennedy, Peace and War : A Theory of international Relations karya Raymond Aaron, Complexity, Global Politics, and National Security tulisan Thomas J. Czerwinski dll. Mereka semua menyadari prospek dan peranann Pasifik di dunia internasional pada abad mendatang.

Dilihat dari riwayat perjalanan hidup Oom Sam Ratulangie, tidak ada bayangan bahwa ia memiliki kekuatan "pena" dengan kapasitas sebagai publisis, dan prestasi mengelola mingguan politik, Nationale Commentaren. Praktek sebagai sarjana matematika yang diraih di Zurich juga tidak menonjol. Oom Sam terkesan penuh percaya diri dalam melakukan kegiatan disesuaikan dengan tuntutan zaman, yakni memperjuangkan nasionalisme kemerdekaan berbangsa.

Trend dunia di awal abad ke-20 diwarnai oleh demam kebangkitan Nasionalisme sebagai dampak dari kolonialisme memperluas wilayah di Asia dan Afrika bagi kepentingan roda industri akibat Revolusi Industri di Eropa dan Amerika Utara di pertengahan Abad ke 19. Nasionalisme diawali dengan penyatuan Jerman dengan Kanselir Otto von Bismarck tahun 1871 mengubah wajah dunia terbagi oleh petak - petak politik wilayah kedaulatan negara - bangsa.

Kebangkitan nasionalisme di Eropa menjalar ke Asia terutama dikalangan pelajar pribumi yang mengikuti pendidikan di berbagai perguruan tinggi di Eropa di awal abad ke-XX. Dengan pengetahuan yang diperoleh, mereka mengembangkan nasionalisme sebagai ............ Kolonialisme .................. solidaritas kebersamaan dikalangan pelajar pribumi dan keyakinan, disatukan oleh nasionalisme sekuler yang saling berbagi rasa dan menyatu memperjuangkan kemerdekaan bagi penghuni nusantara. Dari solidaritas kebangkitan nasionalisme terbentuk identitas nama sebagai legitimasi bangsa, yakni Indonesia.

J. Ingleson dalam tulisannya pada majalah Perhimpunan Indonesia, edisi keenam mengemukakan bahwa ide dari nama ini dikaitkan dengan sebutan indologi, fakultas ilmu - ilmu sosial jurusan Hindia - Belanda di Universitas Leiden, oleh pelajar pribumi yang belajar di negeri Belanda. Sebutan itu berawal dari kelompok studi peminat masalah Hindia - Belanda. Kemudian berkembang menjadi organisasi pelajar dengan nama Perhimpunan Pelajar Indonesia (waktu itu Indonesich Verbond van Studeerenden).

Istilah Indonesia sebagai nama bangsa dicetuskan pada Kongres PPI bulan April 1918 di Belanda. Sam Ratulangie turut memperkenalkan dan mengkampanyekan sebutan ini ketika mendirikan perusahaan Asuransi Indonesia pada tahun 1925 di Bandung. Sejak itupun nama Indonesia sebagai negeri kepulauan terbesar di dunia dikenal sebagai nama bangsa di dunia internasional.

Peranan Nationale Commentaren Memperjuangkan Kemerdekaan

Mingguan Nationale Commentarenn yang dikelola dan dipimpin oleh Oom Sam Ratulangie cukup populer dan menjadi bacaan utama bagi masyarakat cendikiawan pribumi di tahun 1930-an. Terbitan perdana Nationale Commentaren muncul pada Desember 1937 saat rezim kolonial Hindia - Belanda (waktu itu) giat melakukan aksi represif terhadap barisan nasionalis kemerdekaan. Mingguan politik ini diterbitkan di Bandung dan beredar luas di Batavia (kini Jakarta) didukung pemuka intelektual, politisi dan praktisi nasionalis pribumi, seperti Muhammad Husni Thamrin, Wiwoho Poerbohadidjojo, Dr. Philip Laoh, Dr. Soeratmo, Soetardjo Kartohadikoesoemo dll., dan beredar diberbagai kota di nusantara. Sasaran utama dari Nationale Commentaren untuk melepaskan pribumi dari rasa "minder" dari tekanan supremasi "Pax Neerlandica" kolonialisme rezim Hindia Belanda di Indonesia.

Penyajian analisis dalam persepsi politik "pribumi" yang diekspresikan pada Nationale Commentaren berbahasa Belanda, disajikan dengan pola jurnalistik modern. Bentuk format dnegan rancangan design selera gaya majalah dengan rancangan design selera gaya majalah serius Eropa berpenampilan prestisius berhasil mengimbangi bahkan berkompetisi dengan media - media bahasa Belanda Java Bode, Locomotief, Niewsgier, dll.

Daya tarik dari isi Nationale Commentaren adalah pembahasannya terhadap berbagai peristiwa internasional dalam persepsi pribumi. Tulisan - tulisan dalam media ini berhasil meraih readership tidak hanya dari kalangan pejabat pemerintah (kolonial), tetapi juga politisi di negeri Belanda. Bahkan isyu yang dilontarkan media ini ditanggapi serius oleh kalangan pengulas dan praktisi Eropa dan menghiasi Nationale Commentaren. Hal ini terungkap pada buku H. J. van Mook and Indonesian Independence tulisan Yong Mun Cheong, ilmuwan Singapura.

Banyak dari pemikiran Oom Sam Ratulangie tentang masa depan Indonesia diikuti Hubertus "Harry" Johannes van Mook ketika menjabat Letnan Gubernur di pemerintahan Hindia Belanda pada 1930-an, mengikuti peristiwa dan perkembangan dunia yang berdampak terhadap Indonesia melalui analisa mingguan Nationale Commentaren. Sumbangan tulisan ilmuwan dan praktisi dari Eropa pada Nationale Commentaren menyemarakkan proses transformasi pengetahuan dan pendidikan bagi kemajuan kalangan intelektual dan praktisi pribumi.

Ulasan Nationale Commentaren pada waktu itu sudah menyentuh perkembangan dunia internasional dan memperingatkan ancaman Perang Dunia II akan terjadi dan melanda Pasifik. Tetapi persepsi pribumi diabaikan oleh arogansi supremasi kulit putih. Pada akhirnya arogansi itu harus dibayar mahal, Belanda harus angkat kaki di Hindia Belanda akibat dorongan kebangkitan nasionalisme Asia sejak 1940-an yang tidak mungkin dihadang.

Nationale Commentarenn berfungsi meningkatkan pendidikan politik hak kemerdekaan dan menyadarkan ambtenaar pegawai negeri pribumi melepaskan dri dari tekanan supremasi kulit putih yang lama mendominasi pemerintahan kolonial. Masyarakat pribumi digiring berpikiran modern, intelektual dan berwawasan luas memperjuangkan azasi persamaan hak. Juga menjadi medium konsolidasi membangkitkan nasionalisme dikalangan cendikiawan memperjuangkan nasionalisme itu -- khususnya "cubitan" pada kolom catatan pinggir (block notes) di halaman depan yang sangat menggigit pihak rezim (kolonial) -- membuat media ini menjadi sorotan tajam badan sensor pemerintah kolonial. Tetapi Nationale Commentaren dapat berkelit dengan menggunakan kekuatan argumentasi intelektual mengalahkan pemerintah kolonial hingga terhindar dari pembreidelan.

Nationale Commentaren turut memperkaya khazanah jurnalistik dan membangkitkan media - media pribumi yang menggunakan bahasa Indonesia dan meningkatkan mutu jurnalistik serta memasyarakatkan budaya membaca bagi penduduk pribumi. Juga membantu memotivasi media - media pribumi seperti Pemandangan, Bintang - Timur, Warta Celebes, Sin Po, Pewarta Deli dll., lebih banyak melayani penduduk desa dan daerah luar kota.

Mulanya media - media pribumi bahasa Indonesia tidak populer di kota - kota besar, dan banyak diantara kalangan cendikiawan dan "ambtenaar" pribumi di berbagai departemen ataupun cendikiawan pribumi diperguruan tinggi hanya menguasai bahasa Belanda sebagai bahasa pengantar akademis, bahasa resmi ataupun bahasa pergaulan sehari - hari. Media - media pribumi mempunyai peranan penting dalam meningkatkan proses kesadaran berpolitik bagi masyarakat luas pada tahun 1930-an.

Juga tercipta solidaritas kerja sama antara Nationale Commentaren dengan media - media bahasa Indonesia yang saling membantu untuk meningkatkan jurnalistik modern, membentuk pendapat dan opini masyarakat pribumi. Sumber - sumber berita dan perkembangan dunia yang diperoleh Nationale Commentaren ditransformasikan dan digunakan berbagai media pribumi bahasa Indonesia.

Tingkat pengetahuan jurnalistik dan mempromosi media pribumi bahasa Indonesia juga dikembangkan oleh Nationale Commentaren. Banyak diantara jurnalis yang mengelola media bahasa Indonesia seperti Parada Harahap, Mr. Sumanang, Djamaloedin (Adi Negoro), H.A.M.K. Amaroelah (HAMKA), Soeroto, M. Soetardjo, L. Datoek Toemanggoeng, M.M. Daroesman dll., menyumbangkan tulisan mereka dan dimuat oleh mingguan Nationale Commentaren, sekaligus mengangkat tingkat intelektualitas pribumi. Budaya menulis berkembang, terutama dikalangan cendikiawan pribumi dalam menyampaikan pandangan dan opini mengenai kebebasan intelektual.

Mingguan ini memprofilkan pemuka - pemuka nasionalis pada ruang Makers der Geschiedenis van Indonesia (para pelaku Sejarah Indonesia) ataupun De leiders van Indonesia (pemimpin - pemimpin Indonesia) menjadi daya tarik tidak hanya bagi masyarakat pribumi, tetapi juga kalangan ilmuwan sosial Eropa yang ingin mendalami masalah Indonesia.

Di lain pihak, sebagian besar wartawan "kulit putih" yang mengelola media - media bahasa Belanda tidak menguasai ataupun berbicara bahasa Indonesia. Pers bahasa Belanda tidak dapat memahami pandangan masyarakat pribumi. Sebaliknya, banyak diantara pers pribumi menguasai selain bahasa Belanda, juga berbagai bahasa asing lainnya yang diperoleh dari pendidikan formal dimasa pemerintahan kolonial Hindia - Belanda.

Faktor - faktor ini telah menempatkan posisi Nationale Commentaren sebagai penghubung antara masyarakat kota dengan masyarakat daerah melalui media dan wartawan pribumi. Pada Nationale Commentaren, edisi no. 7 terbitan 19 Februari 1938 Oom Sam Ratulangie mengemukakan : "De kracht van de Indonesische (pers) light in de bewustheid, dat men het op den duur moet winnen, zooals men nu reeds voet voor voet terrein heeft gewonnen. De ontwikkelingslijn van de Indonesische pers toont een voortdurende opgaande tendenz. Er kan eens een blaadje over den kop gaan, maar de Indonesische pers in zijn geheel neemt in omvang steeds toe. De qualiteit toont een voortfurende perfectie, en wat belangrijkste is, de zelfstandige meeningvorming accentueert zich men den dag" (Kekuatan dari pers Indonesia terletak dalam kesadaran bahwa pada akhirnya pihaknya harus menang, seperti kenyataan bahwa sekarang ini, tahap demi tahap pers sudah memperoleh kemajuan. Garis perkembangan pers Indonesia menunjukkan tendensi naik terus. Memang, ada kalanya sebuah surat kabar (pribumi) gulung tikar, tetapi secara keseluruhan, pers Indonesia semakin besar. Mutunya menunjukkan kesempurnaan yang tetap, dan yang paling penting, pembentukan pendapat yang independen semakin tampak dengan jelas, dari hari demi hari)

Korban Vandalisme

Nationale Commentarenn tutup usia pada 11 Maret 1942 akibat Perang Asia - Timur Raya dan Jawa diduduki oleh invasi militer Jepang yang sekaligus mengakhiri kolonialisme Hindia-Belanda.

Peninggalan Sam Ratulangie mengembangkan pendidikan nasionalisme dan intelektualisme di masa pra kemerdekaan terkubur dan hanya berbau nostalgia. Pengabdian Oom Sam dalam dunia pers sekarang ini tidak menonjol hingga tidak banyak diketahui. Tidak banyak mengetahui peran mingguan Nationale Commentaren yang telah membangkitkan pendidikan nasionalisme kemerdekaamnn cendekiawan pribumi dan mengembangkan intelektualisme Indonesia antara 1937 - 1942.

Pengabdian Oom Sam menumbuhkan masyarakat intelektual Indonesia melalui mingguan yang dipimpinnya hanya dari cerita lisan orang - orang tua yang hidup di masa itu. Tidak terlihat adanya usaha berbagai lembaga resmi dan yang berwenang untuk menggalinya hingga terkubur begitu saja. Banyak peristiwa penting yang turut menumbuhkan proses bahgsa Indonesia tidak menghiasi sejarah terutama pers nasional hingga tidak diketahui generasi "Baby Boomer" (lahir diatas 1940-an).

Pengembangan nasionalisme berbangsa oleh kaum chauvinisme yang berlebihan dan vandalistik dengan melarang berbicara dan membaca bahasa Belanda ataupun membakar buku - buku pengetahuan mengenai Indonesia dalam berbahasa Belanda yang terjadi di awal 1950-an, berdampak buruk bagi masyarakat Indonesia sendiri. Tidak disadari bahwa pengetahuan bahasa Belanda dibayar mahal oleh masyarakat Indonesia di masa kolonial untuk meningkatkan pendidikan berpengetahuan dan memperluas masyarakat intelektual. Padahal di masa memperjuangkan nasionalisme, menghantam kolonialisme dengan menggunakan hukum dan bahasa kolonial oleh cendikiawan Indonesia di masa lalu.

Sistem pendidikan yang ditebali oleh chauvinisme serba radikal dan ekstrim yang menitikberatkan pada politik sentimen, telah merugikan pendidikan dan membendung perluasan wawasan dan menekan kreativitas pembangunan bangsa. Di masa lalu, sebagian besar dari masyarakat intelektual Indonesia rata - rata menguasai berbagai bahasa asing (misalnya bahasa Jerman, Prancis, Latin, Inggris dll.) yang diawali dengan bahasa Belanda sebagai dasar. Dengan menguasai banyak bahasa asing, orang dapat memperluas pengetahuan dan wawasan. Pengetahuan ini tergambar pula dalam penyajian mingguan National Commentaren.

Dengan menguasai berbagai bahasa banyak diantara pemuka - pemuka kemerdekaan mengharumkan martabat Indonesia di berbagai forum dunia karena dapat berkomunikasi dengan berbagai bahasa asing sebagai modal utama. Contohnya, perjuangan diplomasi kemerdekaan Indonesia oleh Sultan Syahril, Haji Agus Salim, Nicodemus Palar diberbagai forum internasional berhasil karena fasih berbagai bahasa asing. Mendiang Presiden Soekarno dikagumi dunia ketika berpidato tanpa teks dalam bahasa Inggris dicampur dengan berbagai istilah bahasa Prancis dan Latin dengan fasih di forum Perserikatan Bangsa - Bangsa. Namun kesemuanya ini hanya memperkaya nostalgia, dan Indonesia sekarang ini miskin berkomunikasi karena tidak banyak menguasai bahasa asing dan menjadi tertutup oleh bahasanya sendiri.

Sekarang ini ilmuwan sosial yang mendalami pengetahuan ataupun latar belakang sejarah tentang Indonesia harus melanjutkan kenegeri Belanda. Disana mereka mendapatkan "harta karun" sejarah pengetahuan tentang leluhurnya diberbagai perpustakaan yang tersimpan dan terawat rapih. Dari buku - buku berbahasa Belanda tentang Indonesia, banyak terungkap masa kebesaran dan kejayaan Indonesia di masa silam sebelum kolonialisme Eropa hasil penelitian arkeolog dan antropolog Eropa. Misalnya saja candi Borobudur yang lama terkubur oleh vandalisme ditemukan oleh arkeolog Belanda pada abad ke - 19. Kebesaran sejarah ternyata menjadi modal kebangkitann berbagai bangsa memperjuangkan jati diri dan melakukan langkah - langkah ke depan agar penjajahan yang penuh kegelapan tidak terulang.

Yang dikhawatirkan, bila pendidikan masih ditutup oleh selimut chauvinisme supremasi ketertutupan dari birokrasi berwawasan sempit yang kian memiskinkan dan mengucilkan masyarakat untuk kemudian kembali menjadi kolonoalisme. Hal ini dikhawatirkan Oom Sam Ratulangie pada tulisannya. Rijk land, armvolk ..... Men vraagt zich dan af, hoe hen mogelijk is, dat in Indonesia, door God gebenedijd met een vruchtbaren bovengrond, een rijken ondergrond men denke aan de petroleum en andere minerale schatten vand dit land - als bijkan feen ander land ter wereld, visrijke zeen en binnenwateren, en een mild tropisch klimaat, toch een arme bevolking woont .... (Negeri Kaya, penduduk miskin Siapapun akan heran, bagaimana mungkin, Indonesia yang oleh Tuhan diberikan tanah yang subur dan kekayaan di bawah tanah tambang minyak dan mineral lainnya yang tidak dimiliki negei manapun di dunia, dan kaya dengan ikan di laut dan daratan, iklim tropis sepanjang masa, tetapi dihuni oleh penduduk yang masih saja miskin .... ) (Nationale Commentaren, edisi No. 2, 15 Januari 1938).

Penghapusan kekayaan sejarah bangsa yang menjadi korban distruksi vandalisme ternyata menjadi penyebab kemiskinan. Warisan kekayaan intlektual yang ditinggalkan Oom Sam Ratulangie dan pemuka - pemuka "pribumi" untuk memerangi kemiskinan tidak dimanfaatkan karena kendala bahasa akibat vandalisme. Hasil pemikiran intelektual pribumi, justru banyak dimanfaatkan dan menjadi modal bangsa - bangsa lain yang rajin mengumpulkan dokumentasi kepustkaan yang mengandung nilai sejarah untuk mengetahui lebih banyak tentang Indonesia. Masa kepemimpinan dua rezim setelah pasca kemerdekaan mengalami pendangkalan intelektual. Itulah tantangan generasi kini menghadapi generasi mendatang yang terancam kolonialisme gaya baru bila masih saja tetap hanyut dengan supermasi ketertutupan menghadapi era globalisasi.

Catatan : Makalah yang disampaikan pada Peringatan 50 Tahun Wafatnya Pahlawan Nasional Dr. GSJJ Ratulangie di Universitas Sam Ratulangie, Manado pada 27 Juni 1999.

Bibliografi :
- Jackie, J.A.C. - Indonesia : The Making of a Nation
- Masselman, G. - The Cradle of Colonialism
- Meulen, D. van der - Ik Stand er bij : Het Einde van ons Koloniale Rijk
- Mook, H. J. van - The Stakes of Democracy in South - East Asia Indonesie, Nederland en de Wereld
- Mooy, J. - Geschiedenis der Protestanche Kerk ini Nederlandsch Indie
- Naisbitt, John - Megartrends Asia : Eight Asian Megatrends that are reshaping our world
- Nationale Commentaren - Bundel Mingguan 1937 - 1942
- Niel, Robert van - The Emergence of the Modern Indonesia Elle
- Nieuwenhuys, Rob - Tussenn Twee Vaderlanden
- Oey Hong Lie - War and Diplomacy in Indonesia 1945 - 1950
- Palar, L.N. - Wawancara, bulan Juni 1980, Jakarta
- Peffre, Nathaniel - The Far East
- Pennock, Roland, J. (.ed) - Self - Government in Modernizing Nations
- Pluvier, Jan - South East Asia : from Colonialism to Independence Overzicht van de Ontwikkeling der Nationalistiche in Indonesia in de jaren 1930 tot 1942
- Poeze, Harry A. Tan Malaka : Levensloop van 1897 tot 1945
- Prangle, Gordon W. - At Dawn We Slept : The Untold Story of Pearl Harbor
- Pringgodigdo, A. K. - Sejarah Pergerakan Rakjat Indonesia
- Pye, Lucien - Asian Powers and Politics : The Cultural Dimensions of Authority
- Ratulangie, GSSJ. - Indonesia in denn Pacific : Kernproblemen van den Aziatischen Pacific
- Sarasin, P. E. - Reisen in Celebes
- Sato, Shigeru - War Nationalism and Peasant : Java Under the Japanese Occupation 1942 - 1945
- Soekarno - Mencapai Indonesia Merdeka
- Spector, Ronald H. - Eagle againts the Sun : The American war with Japan
- Stapel, F.W. - Geschiedens van Nederlandsch - Indie
- Stavrianos, L.S. - Global Riff : The Third World Comes of Age
- Steinberg, D. J. (.ed) - In Search of South - East Asia : A Modern History (Revised Edition)
- Storry, George R. - Japan and the Decline of the West in Asia, 1894 - 1942
- Swasono, Meutiah (ed.) - Memoir Muhammad Hatta
- Syahrir, Sultan - Pikiran dan Perjuangan
- Tanter, Richard & Kennetheth Young (eds.) - The politics of middle class Indonesia
- Taulu, H.M. - Bunga Rampai Sulawesi
- Taylor, Jean G. - The Social World of Batavia : European and Eurasian in Dutch Asia
- Tichelman, F. - The Social Evolution of Indonesia
- Toer, Pramudya Ananta - Panggil Aku Kartini Saja, Jilid I dan II
- Toland, John Infamy : - Pearl Harbour and its aftermath
- Vandenbosch A. - The Dutch East Indies
- Veur, Paul van der - Education and Social Change in Colonial Indonesia
- Vlekke, B.H.M. - Nusantara : A History of the East Indian Archipelago
- Wehl, David - The Birth of Indonesia
- Wertheim, W. F. - Effects of Western Civiation on Indonesian Society - Indonesie : van vorstenrijk tot neokolonie
- Wilde, de Neytzell, and Moll, J. Th. - The Netherlands Indies during the Depression
- Wilde, Collin Born in Fire : - The Indonesian Struggle For Independence
- Winchester, Simon - Pacific Rising : The Emergence of a New World Culture
- Wormser, C.W. (ed). - Wat Indie Ontving en Schonk
- Yong Mun Cheong - H.J. van Mook and Indonesian Indpendence
 Zijlmans, G.C. - Eindstrijd rn Ondergang van de Indische Bestuurdienst


BIO DATA
Nama : Harry Alexander Kawilarang
Jabatan : Wartawan Senior Harian Suara Pembaruan
Alamat Kantor : Jln. Dewi Sartika 136-D Jakarta 13630
Alamat Rumah : Jl. Cendana XVII/17, Jaka Permai, Bekasi, Jawa Barat. Tel & Fax (021) 8841228
Tempat & Tanggal Lahir : Tondano, Sulawesi Utara 27 September 1944
Status : Kawin (dua putera dan satu puteri)
Nama Isteri : Suzanna Kawilarang - Turangan (Lahir di Morotai Halmahera, 10 November 1948)

Pendidikan :
1964 - Sekolah Menengah ATAS IV, Jakarta
1965 - Fakultas Publistik Univ. Moestopo, Jakarta
1966 - 1967 Perguruan Jurnalistik, Amsterdam, Holland
1967 - 1968 Akademi Photography, Hamburg, Jerman
1974 - Kursus Non - Degree Jurnalistik UI - Jakarta
1982 - International Affairs Course, Tokyo Jepang
1984 - International Economic Course, Berlin Jerman
1984 - International Affairs Course, London Inggris
1985 - International Affairs Course, Canberra Australia
1986 - International Affairs Course, Washington Amerika Serikat

Karier Jurnalistik :
1966 - 1968 Wartawan Harian KAMI, Jakarta
1968 - 1969 Wartawan Foto Harian Utusan Malaysia Kuala Lumpur Malaysia
1969 - 1971 Wartawan foto Freelance Asia Tenggara berkedudukan di Kuala Lumpur Malaysia
1971 - 1972 Wartawan Indonesia Raya, Jakarta
1973 - 1980 Wartawan Sinar Harapan, Jakarta
1980 - 1986 Redaktur Luar Negeri Dwimingguan Mutiara Jakarta
1987 - 1994 Redaktur Senior majalah bulanan TSM (Teknologi Strategi & Militer) Jakarta
1991 - 1993 Koresponden Suara Pembaruan untuk Asia Timur di Hong Kong
1994 ------- Wartawan Senior Suara Pembaruan Jakarta

Kegiatan Jurnalistik :
1966 - 1985 Wartawan Foto
1966 - 1973 Reporter Umum
1973 - 1980 Wartawan Features
1976 - 1980 Desk Internasional
1980 - 1984 Redaktur Foto
1984 - 1986 Pengulas Internasional
1987 ------- Pengulas politik & militer Internasional

Kegiatan Lain :
Melakukan perjalanan jurnalistik ke berbagai pelosok nusantara dan sekitar 100 negara
Penceramah dan panelis pada berbagai seminar masalah geo politik ekonomi dan keamanan internasional di berbagai perguruan tinggi & lembaga nasional dan internasional.
Menyumbang tulisan masalah internasional pada berbagai media daerah maupun media internasional

Karya Tulis (buku & thesis) :
- Dunia Di Tengah Kemelut
Bunga Rampai Masalah Internasional 1983 - 1984 (UI - Press)
- Indonesia Di Tengah Kemelut Pasifik
Konstelasi Perkembangan Dunia Internasional 1900 - 1942
- Indonesia
Jalan Menuju Kemerdekaan 1900 - 1945

Karya Artikel lainnya :
- Dilema di Paparan Pasifik
Masalah Ekonomi, Perdagangan, Pertahanan dan politik
- Budaya Kekuasaan di Cina daratan
- Posisi Cina Perantauan Setelah Pasca Perang Dingin Peranan Taipan Cina
- Dalam Konstelasi Ekonomi dan Politik di Asia Tenggara
- Asia Tenggara
Mangsa Industrialis Militer
- Reformasi Politik di Jepang
- Dilema Balkan
- Dilema Indonesia
Penetrasi Kultural
- Pasifik
Dari Persepektif Indonesia
- dll.

0 comments:



Lindungi Danau Kita dengan Menjaga Hutan Kita. Jangan biarkan ini terjadi!

http://www.wepa-db.net/pdf/0712forum/presentation26.pdf

Popular Posts