Makna Minawanua
Oleh: Albert Kusen
Istilah Minawanua sebelumnya tidak dikenal sama sekali. Diinformasikan oleh Supit (1991), bahwa dahulu tempat itu hanya dikenal sebagai ‘pusat pemukiman Walak Tondano’. Oleh Kompeni Belanda sering disebut Groot Tondano atau Tondano Boven. Nanti setelah usai Perang Tondano terakhir (Agustus 1809) disebut Minawanua sebagai nama dari pemukiman Walak Tondano yang musnah atau dibumi hanguskan pada perang terakhir melawan pasukan Kompeni Belanda tersebut. Meskipun demikian, apabila ditinjau dari sudut bahasa (secara etimologi=asal usul kata/istilah), Minawanua pada hakekatnya berarti ‘tempat tinggal’ (wanua) yang telah tiada’ (Mina= telah tiada; Wanua= tempat tinggal).
Seperti diketahui bahwa cikal bakal sub-etnik Toulour-Toudano adalah Pakasaan Tontewoh yang secara geografis mencakup Tonsea, Toulour, Pasan, Ponosakan dan Tombatu (Manopo 1986) dalam Wenas (2007). Berdasarkan hasil penelitian lapangan (hasil wawancara dengan sejumlah informan maupun penelitian kepustakaan), bahwa salah satu kelompok yang tergabung dalam Pakasa’an Tontewoh adalah kelompok Toutumaratas ini dipimpin oleh Tona’as Singal sehingga pada waktu itu disebut Tousingal.
Seperti dikisahkan, bahwa pada mulanya kelompok Tou-singal ini bermukim di kawasan pesisir pantai timur Minahasa, tepatnya di Atep. Di tempat tersebut, mereka hidup sebagai nelayan, dan mencari hewan buruan di pedalaman, seperti babi rusa/celeng (babiutang), dan anoa. Oleh karena kehidupan di kawasan tersebut merupakan ruang terbuka (lautan), maka konsekuensinya selalu mendapat gangguan (musuh) orang-orang dari seberang (Ternate dan Morotai). Keadaan ini tentunya mempengaruhi sikap atas ketidaknyamanan untuk tetap tinggal di kawasan pesisir tersebut. Maka akhirnya mendorong mereka (terutama yang tua-tua) untuk berpindah (migrasi) ke daerah pedalaman dekat danau Tondano mendirikan Wanua Kakas (kemudian menjadi Walak Kakas). Khususnya bagi yang muda-muda, sebagian besar tetap bertahan untuk bermukim di kawasan pesisir Atep tersebut. Dan resikonya, demi untuk mempertahankan hidup mereka sering melawan bahkan dengan tidak mengenal rasa takut, sempat mengejar para pengganggu tersebut sampai ke tengah laut. Sepulangnya dari tengah laut (mungkin karena tidak dituntun oleh teknologi navigasi), bukannya mereka kembali ke tempat asal, melainkan mereka terdampar di Tanjung Pulisan.
Selanjutnya dari tanjung ini mereka menelusuri pedalaman menuju kawasan pegunungan Tamporok (Klabat). Dan sebagaimana pola hidup nomaden (berpindah-pindah tempat), akhirnya mereka menemukan suatu tempat yang bernama Wawantamporok. Di tempat ini terdapat gua yang disebut Lumiang; dan lembah yang memanjang mereka disebut Lumambo yang dijadikan sebagai tempat pemukiman. Di pilihnya gua tersebut sebagai tempat pemukiman, karena dianggap lebih aman.
Dalam memunuhi kebutuhan protein hewani, dengan mengandalkan modal keberanian dan kemahiran berburu, maka ada sebagian kelompok muda-muda mencari hewan buruannya menelusuri aliran sungai sampai ke kawasan danau Tondano sebelah barat Tonsea Lama, yang mereka namakan reghor, artinya tempat bermata air. Di tempat ini pula akhirnya dijadikan sebagai tempat pemukiman yang baru.
Sebagai konsekuensi atas terbentuknya struktur sosial, ada tiga Tona’as yang menjadi pemimpin kelompok ini, yaitu Tawaluyan, Muntuuntu, dan Makalonsouw. Kelompok lainnya yang terus menelusuri kawasan danau Tondano dipimpin oleh Tona’as Tumengkol dan Lompoliu. Rupanya dalam perburuan itu kelompok ini telah berjumpa dengan orang-orang dari Wanua Kakas. Akhirnya, kelompok-kelompok Tousingal dan Kakas ini pada mulanya mendirikan dua tempat pemukiman di sebelah utara danau Tondano (lihat Peta), yaitu Tiwoho dan Wengkol, dan Toundano.
Pemukiman Tiwoho. Kelompok yang bermukim di tempat ini, dipimpin oleh Tumengkol, letaknya di kelurahan Tuutu sekarang, memanjang ke utara, Pada dataran pemukiman terdapat banyak tumbuhan rawa yang disebut rewo dan tiwoho. Daun dan batang tumbuhan ini dijadikan atap dan dinding rumah. Suatu ketika pada musim panas, pemukiman ini terbakar. Hal ini terjadi karena hanya kaum wanitanya dan anak-anak tetap tinggap di pemukiman (orang-orang laki-laki berada di kebun ladang (jauh dari pemukiman), sehingga mereka tidak mampu memadamkan api. Dikisahkan hampir semua rumah musnah dilalap api. Menghadapi kenyataan ini, dengan penuh kesedihan yang dalam akhirnya ditinggalkan pemukiman tersebut mencari tempat yang lain.
Pemukiman Wengkol. Kelompok yang bermukim di tempat ini dipimpin oleh Lompoliu. Disebut daerah Wengkol karena letaknya berada di belokkan sungai yang disebut ‘engkol’. Di sekitar sungai, kelompok ini mendirikan rumah tempat tinggal/pemukiman sebagai wanua yang baru. Pada mulanya di tempat pemukiman ini mereka hidup aman dan tentram. Dengan mengandalkan mata pencaharian sebagai nelayan, berburu dan bercocok tanam di ladang kelompok ini hidup berkecukupan. Namun suatu ketika mereka mendapat serangan atau gangguan musuh dari Mindanao dan Babontehu, dan serangan dari orang-orang Bolaang-Mongondouw. Tentunya menghadapi serangan atau gangguan dari perompak-perompak tersebut, penduduk setempat tidak tinggal diam, maka dilawanlah para perompak tersebut bahkan membunuhnya.
Singkatnya, dengan adanya gangguan dari serangan musuh tersebut, menimbulkan ketidaktenangan bagi kaum laki-laki untuk berburu atau ke kebun meninggalkan keluarganya yang kebanyakan kaum wanita dan anak. Maka akhirnya diputuskanlah untuk mencari tempat pemukiman yang baru yang dianggap lebih strategis-terlindung dari gangguan perompak/musuh. Tempat pemukiman baru itu terletak di atas air di daerah hulu danau Tondano yang diapit oleh dua aliran sungai Teberan, di mana kemudian tempat pemukiman ini disebut Minawanua.
Pemukiman Minawanua. Seperti apa yang telah disinggung di atas, bahwa fenomena migrasi yang dialami oleh kelompok-kelompok yang bermukim di Tiwoho maupun di Wengkol, pada umumnya dipengaruhi oleh kondisi kehidupan yang tidak menyenangkan di tempat pemukiman tersebut (merasa tidak aman dari gangguan musuh), akhirnya mendorong mereka untuk mencari tempat lain sebagai pemukiman yang baru (pushl-factors). Sebagaimana dikisahkan bahwa, baik kelompok Tiwoho maupun kelompok Wengkol yang merasa tidak aman di tempat pemukiman yang baru, karena selalu masih mengalami gangguan, maka melalui Tona’as mereka masing-masing (Tumengkol dan Lompoliu) untuk membahas dan memutuskan mencari lagi tempat pemukiman lain yang dianggap lebih aman daripada tempat pemukiman sebelumnya (pull-factors).
Dikisahkan oleh sejumlah informan setempat (lihat Umboh 1985), bahwa pada mulanya baik kelompok Wengkol maupun kelompok Tiwoho menolak untuk berpindah ke Minawanua. Namun demikian, oleh karena pengaruh faktor pendorong tersebut di atas, maka akhirnya kedua pemimpin kelompok tersebut berinisiatif untuk mengadakan pertemuan membicarakan masalah mencari pemukiman yang baru. Melalui mekanisme musyawarah adat akhirnya kedua pihak bersepakat untuk pindah mencari tempat pemukiman yang baru, kemudian diajak kelompoknya masing-masing untuk tinggal di kawasan Minawanua tersebut.
Menyadari di tempat pemukiman yang baru Minawanua kondisi lingkungan alamnya yang dikelilingi air, maka secara mapalus dibangunlah rumah-rumah di atas air dengan menggunakan tiang-tiang bergaris tengah, tingginya kurang lebih 60 cm sampai 80 cm. Sebagai bukti historis, tiang-tiang rumah tersebut sekarang ini masih terdapat sisa-sisanya yang terbenam dalam lumpur-rawa di kawasan Minawanua.
Seperti apa yang sudah disinggung di atas, kondisi lingkungan alam kawasan pemukiman Minawanua, berada pada tempat yang sebagian besar wilayahnya digenangi air (rano) dan rawa yang berbentuk delta, diapit oleh dua cabang hulu sungai Tiberen. Maka, dengan bermukim di tempat yang baru ini, dianggap benar-benar merupakan kawasan yang aman dari serangan musuh. Hal ini dimungkinkan karena letaknya yang strategies itu menyulitkan bagi musuh untuk melakukan penyerangan (intervensi) dari segala penjuru. Sebab, untuk masuk ke tempat pemukiman harus melalui jembatan yang dibuat dari bambu yang dianyam seperti rakit. Posisi jembatan di letakkan kurang lebih 10 cm di kedalam air, di mana pada ujung-ujung jembatan diikat dan ditambatkan pada tiang-tiang kayu yang mudah untuk dilepas. Jembatan yang dirancang sedemikian rupa ini, apabila dilalui oleh penduduk setempat, dari kejauhan kelihatan mereka seberti berjalan atau lari di atas air. Dan biasanya, demi keamanan pada malam hari jembatan penyeberangan tersebut dilepas-ditarik ke atas rumah.
Pola rancangan jembatan tersebut, implikasinya tentu akan membawa kesulitan bagi pihak musuh yang akan menyusup menyerang pada malam hari. Tidak jarang banyak yang tenggelam atau hanyut akibat jebakan jembatan tersebut. Di samping itu, secara alamiah di kawasan tersebut juga terdapat tumbuhan rumput duri yang tajam (serawet), di mana apabila melewatinya sering menimbulkan kesakitan (luka). Dengan demikian, kondisi pemukiman yang demikian itu dirasakan sebagai pemukiman yang sangat strategis, terutama sebagai pertahanan dalam mengantisipasi manakala ada serangan musuh baik dari arah daratan (Koya) maupun dari arah danau. Untuk melindungi pertahanan dari arah danau didirikan suatu Benteng yang disebut Benteng Paapal, sedangkan dari arah daratan didirikan Benteng Moraya yang legendaris ketika menghadapi kekuatan pasukan kompeni Belanda.
http://bs-ba.facebook.com/topic.php?uid=158946219532&topic=14109
0 comments:
Post a Comment