ADA APA DENGAN TONDANO ?
Oleh : Audy W.M.R. Wuisang
Ada apa dengan Tondano? Tulisan singkat yang pernah dimuat di Sulutlink ini sebenarnya berasal dari sebuah “curah pendapat” yang dilaksanakan bulan April, 2002, di jantung kota Tondano. Penulis yang sempat menjadi pembicara dadakan di forum tersebut, lebih memilih “curah pendapat” ketimbang "seminar, workshop atau dialog." Mengapa? Pertanyaan menggelitik di atas sebetulnya memiliki sejuta makna bagi mereka yang berdarah atau lahir di kota dekat danau Tondano tersebut. Bahkan bagi banyak orang Tondano, pertanyaan tersebut lebih sebagai ungkapan--kegerahan, kegelisahan dan penyesalan, ketimbang mendapat jawaban pasti. “Ada apa dengan Tondano?” adalah kalimat tanya yang tidak butuh jawaban; sebaliknya malah menjadi ungkapan kebingungan karena Tondano adalah Ibukota yang sepertinya terlupakan.
Tondano, secara fisik dibandingkan dengan fakta bahwa dia adalah Ibukota Kabupaten dan menyandang sejarah yang hebat yang tercatat dalam perang puputan di Tondano, nyaris tidak punya apa-apa. Meskipun menurut mantan Rektor IKIP yang juga putra Tondano, Kota Tondano secara fisik jauh lebih modern penataannya dibanding semua kota di Sulawesi Utara, tetapi secara ekonomis memang enggan menunjukkan geliat berarti. Tondano dibangun dengan system blok, system penataan kota modern sebagaimana yang nampak di banyak kota modern di Eropa. Tondano, juga adalah pusat pemerintahan Kabupaten Minahasa dan melahirkan seorang tokoh nasional bernama Sam Ratulangi. Tapi Tondano cuma berhenti sampai disitu.
Indikator fisik yang selalu dijadikan acuan kemajuan kota, meski bukan ukuran absolut, nyaris atau malah memang kalah dibandingkan dengan capaian Tomohon yang statusnya bakal meningkat menjadi Kota Administratif atau malah Kotamadya. Bahkan dengan kota pantai Amurangpun masih terlihat lunglai, apalagi dibandingkan dengan Kotamobagu dan Bitung. Perkembangan Tondano sungguh membuat warganya layak untuk bertanya-tanya atau mungkin juga sah untuk kebingungan dengan fakta sejarah yang besar dan realitas fisik kini yang tidak sebanding.
Sejumlah keluhan kemudian disampaikan disamping juga tentu sejumlah analisis yang didasarkan atas pertanyaan diatas. Karena tentu, warga Tondano tidak ingin membiarkan terus-menerus para penerus dan sejumlah anak Tondano untuk sekedar kebingungan dan bertanya-tanya “mengapa ?”. Keluhan-keluhan disamping juga sejumlah analisis yang diajukan bukannya tidak sistematis, tetapi teramat melebar dan nyaris sulit untuk menentukan apa sebenarnya biang keladi ketertinggalan kota tersebut. Apakah karena Tondano tidak berada di jalur utama perekonomian Sulawesi Utara dan bahkan Sulawesi ? rasanya sulit diterima akal, karena toch, kota Tomohon mampu menggeliat perekonomian dan siap meningkatkan statusnya, kenapa Tondano tidak ? apakah karena system pemerintahan yang teramat sentralistis ? pertanyaan ini juga sulit diterima, karena seharusnya semua kota mengalamianya, bukan Cuma Tondano.
Jika demikian, apa yang harus diajukan sebagai sebuah alasan yang dapat diterima semua masyarakat Tondano ? atau paling tidak rasionalisasi yang mendekati keadaan sebenarnya, namun bukan sebuah pembelaan diri atau pembenaran kesalahan. Kita mencoba mengenali beberapa argumentasi, selain yang disebutkan diatas :
Pertama, ada yang berpikir bahwa persoalan “mental” adalah persoalan mendasar dari masyarakat Tondano. Ungkapan bahwa, “setelah jam 7 malam sulit mencari toko dan warung yang masih buka” serta “praktek premanisme” coba diajukan sebagai salah satu indikasi “sakit mental” orang Tondano yang membuat kota ini seperti tertidur. Ungkapan “setelah jam 7 malam” sebenarnya mengacu ke lemahnya etos kerja dan prinsip need of achievement orang Minahasa. Meskipun sulit dicari rasionalisasi kenapa harus buka sampai setelah jam 7 malam, karena pasti terkait masalah lain seperti keamanan, atau siapa pembelinya nanti, tapi fenomena “tidak buka setelah jam 7 malam” memang jadi salah satu indikasi. Bahwa Etos kerja dan kualitas need of achievement orang Tondano bias dipermasalahkan, ini pasti memiliki kebenarannya. Namun bukankah sulit menilai need of achievement itu ? atau apalagi mengukur secara kuantitatif yang namanya “etos kerja” itu.
Masalah mental, nampaknya nyaris menyeluruh dialami oleh etnis Minahasa dengan tentu menyertakan derajat keheranan yang tinggi. Mengapa ? karena praktek mapalus seperti yang sempat dialami dan disaksikan penulis, sebenarnya memanfaatkan waktu yang sangat optimal. Dimulai dari sebelum jam 6 pagi hingga petang hari, dan ini tentu tidak ada bedanya dengan jam kerja yang diberlakukan bahkan di Ibukota Negara Indonesia sekalipun. Jika demikian, harus digagas lebih jauh, apakah benar ini berkaitan dengan Etos Kerja, atau terjadi pergeseran yang tidak kentara dari pekerjaan alami orang Tondano ke bentuk pekerjaan lain yang sebenarnya dihadapi dengan mental dan skill yang gamang. Maksudnya, generasi pendahulu hadir dan menumbuhkan Tondano dengan prinsip Mapalus,. Tetapi kemudian pada tingkat komunitas yang berganti generasi, tampil jenis pekerjaan lain yang tidak diikuti dengan adjustment mental dan penghargaan yang sama dengan pekerjaan sebelumnya. Sebagai contoh, ketika booming cengkeh, banyak petani muda yang berbondong-bondong mencari “uang berlimpah” dari emas cokelat tersebut. Tapi setelah booming cengkeh, bagaimana mencari keseimbangan kelebihan uang dari cengkeh dengan bertani semata ? selisih nilai uang yang signifikan tentu melahirkan sikap dan mental yang berbeda. Inikah yang membuat gelombang eksodus para pekerja Tondano keluar daerah ?
Kedua, masalah perpolitikan di kota bernama Tondano dan terkait juga dengan pentas politik nasional. Memang tidaklah mungkin melepaskan denyut kehidupan politik di kota Tondano tanpa menyentuh geliat politik di pentas nasional. Mengapa ? karena justru gelagat dan praktek politik di tingkat nasional memberi sumbangsih yang signifikan baik terhadap perubahan prilaku kelas menengah Tondano serta tentu juga elite birokrasi daerah. Praktek ABS yang disistematisasi juga berkembang dan bertumbuh secara top down ditularkan dari pusat dan subur di daerah-daerah. Di tingkat kota Tondano, yang menyesakkan dan perlu digagas lagi adalah perubahan prilaku dan orientasi orang mudanya terhadap pekerjaan. Kota Tondano pernah disemarakkan oleh begitu banyaknya organisasi orang muda dengan menonjolkan kreatifitasnya masing-masing. Namun penonjolan ini lebih bermakna pada need of power (kebutuhan akan popularitas) ketimbang need of ochievement (keinginan berprestasi), meski tentu tidak semua dikategorikan demikian.
Sementara pada sisi birokrasinya, kita juga seperti menyaksikan keengganan untuk meningkatkan status kota Tondano baik dari penguatan ekonomi masyarakat Kota maupun dari sisi pembangunan fisik Kota. Kesan yang pernah timbul di kalangan masyarakat kota Tondano adalah : setiap Bupati yang memimpin Minahasa akan merasa berhutang membangundaerah asalnya ketimbang mengurusi dan mengembangkan kota Todano sebagai Ibukota. Celakanya, pada dasawarsa terakhir, tampilnya putra Tondano memimpin Kabupaten nyaris hambar dan senyap. Praktek ini memungkinkan karena memang praktek dan system pemerintahan yang dilakonkan adalah praktek top down dan tidak perlu mempertimbangkan aspirasi rakyat banyak. Kata kasarnya, pembangunan lebih berorientasi kehendap elite atau lebih tegas lagi kehendap pemerintah yang sering terpersonalisasi dalam diri Presiden, Gubernur dan Bupati ketimbang kebutuhan rakyat. Karena itu, tidak heran apabila kemudian orientasi pembangunan Kota Tondano terabaikan dalam kurun waktu yang cukup lama.
Ketiga, harus juga kita catat apa yang dinamakan kreatifitas komunitas dalam mengupayakan kemajuan dan pembangunan. Perkembangan differensiasi mata pencaharian, perubahan mental dan realitas perpolitikan, juga berpengaruh pada status social. Akibat birokratisasi berlebihan, status social pegawai negri dianggap sebagai status social yang lebih tinggi dari petani. Hal ini memungkinkan dan dilakukan sangat lama dan sangat sistematis. Akibatnya adalah, orientasi generasi muda dan pencari kerja adalah pegawai negri atau bertarung menuju kursi dewan yang pada saat itu memang sama saja dan berkelakukan persis birokrasi. Tondano sebagai pusat Ibu Kota Kabupaten tentu mengalami proses ini secara sangat signifikan. Kreatifitas dan upaya mencari dan mengembangkan potensi lainnya menjadi terabaikan karena pembentukan bawah sadar yang salah bahwa status social yang tertinggi adalah “pegawai pemerintah”.
Terhadap fenomena seperti ini, Tondano sebenarnya sedang atau harus melakukan satu karya dan kerja penting. Kesalahan tidaklah mungkin ditimpakan pada satu kelompok. Kurang fair bila menyalahkan pemerintah atau bila menyalahkan generasi muda atau juga menyalahkan masyarakat. Yang mungkin dilakukan adalah menggagas secara mendalam apa sebetulnya persoalan mendasar yang sedang dialami Tondano dewasa ini. Kita membutuhkan kajian lintas sektoral untuk mengerti secara serentak apa implikasi perubahan mental, implikasi budaya politik dan etos kerja masyarakat Tondano. Kita tidaklah mungkin memecahkan dan menggagasnya secara partial, yang dibutuhkan adalah kajian menyeluruh secara jujur dan terbuka. Dan ini harus dilakukan semua stake holder : baik pemerintah, kalangan muda., NGO, pengusaha dan siapa saja yang peduli dengan melibatkan banyak pemikir sekaligus.
Dengan menemukan akar persoalan secara bersama, kita menjadi lebih muda menyuarakan aspirasi masyarakat Kota Tondano kepada pemerintah, karena sekarang pemerintah tidak mungkin lagi mengabaikan suara rakyatnya. Dengan menemukan kelemahan bersama, kita dimungkinkan menetapkan langkah bersama secara simultan dan dengan mudah juga menemukan para advonturir politik, para petualang dan premanisme politik. Akan lebih mudah juga menetapkan skala prioritas masyarakat dan menumbuhkan kembala situasi dan suasana kondusif berusaha. Meskipun Tondano berada di luar jalur nadi perekonomian SULUT, namun bukan berarti Tondano “tidak ada apa-apanya”. Tapi yang mampu mebuktikan Tondano “ada apa-apanya” adalah Tou Toudano sendiri.
Tondano akan tetap terpinggirkan dan merana, nama besar para putra kelahiran Tondano akan kurang bermakna, potensi system blok kota Tondano akan mubazir, ketika proses kemeranaan kota Tondano dibiarkan terus. Sebuah interupsi melalui “Curah Pendapat” April 2002 sudah sangat baik. Apa seterusnya?
Audy W.M.R. Wuisang
Pengamat Sosial, putra Tondano
0 comments:
Post a Comment