Terbang Dengan Kebanggaan Sejati
Ia membangga-banggakan dirinya.
Seringkali tertinggal dalam kebanggaan yang seakan terbang tanpa sayap;
tanpa apa-apa.
Khayalan .
Ia pernah membiarkan dirinya dimakan rasa kuatir akan kebanggaannya,
dan karena itu ia pergi meminta bantuan kepada yang dianggapnya pelindung.
Ia hanya dilindungi satu kali.
Dan harga yang harus dibayarnya adalah setiap tetes darah dan airmata yang ia curahkan.
Ia berpikir demi kebanggaannya itu ia rela makan debu.
Ia rela minum darah dan airmatanya sendiri.
Ia bangga dengan pakaian kehormatannya sekalipun badannya busuk binasa.
Ketika ia menyadari kemalangannya dan kebanggaannya yang masih ingin ia peluk dengan sekuat tenaga, ia datang kepada yang dianggapnya pelindung.
Di situ ia makan dengan lahap dan minum dengan sepuas-puasnya.
Ia menjadi besar dan angkuh,
dan kebanggaannya seakan bersinar-sinar.
Lalu ia merasa tak bebas, tak puas, tak lepas untuk menyanyikan segenap rasa kebanggaannya, dan dirinya dan yang bukan dirinya.
Dan demi kebanggaan itu, ia rela makan debu.
Ia rela minum darah dan airmatanya sendiri.
Sayang ia belum seberani yang ia bayangkan.
Ketika ia dilucuti dari semua kebanggaannya,
ia memutuskan untuk menyelamatkan paling tidak satu di antara semuanya:
kebanggaan di dalam pikirannya.
Itulah yang ia pegang di dalam hatinya,
di setiap tempat di mana ia dibuang,
ia masih tersenyum dengan kebanggaan itu.
Dan dengan kebanggaan itu ia melihat dunia
dan masih terus bermimpi karena ia tak mampu melihat kenyataan yang olehnya ia harus menangis tersedu-sedu; menumpahkan darah dan airmata yang telah ia telan berulang-ulang kali.
Oh betapa hancur dikau jikalau tanpa kebanggaanmu lagi!
Betapa kau bukan lagi dirimu sendiri tanpa topengmu itu!
Namun berhentilah bermimpi dan bangunlah dari semua tidurmu.
Apa yang kau lihat di angan-anganmu adalah kebalikan dari apa yang di alami oleh anak-anakmu.
Bukalah matamu dan banggalah dengan dirimu sendiri,
karena kau dicintai bukan karena kebanggaanmu,
melainkan karena kami ini milikmu.
Muntahkan! muntahkan!
Jangan kau kulum dia di dalam mulutmu.
Semua kebusukan itu, muntahkanlah!
Biarkan kami melihat betapa rapuh dan sekarat dirimu dibalik segala tipuan kata-kata dan penampilanmu, oh Minahasa.
Hanya dengan demikian kau bisa lahir kembali dalam kebanggaanmu yang sejati.
Jangan kau ganti kebanggaanmu yang kosong itu dengan keputusasaan, ketidakpedulian, dan kepasrahan yang bodoh.
Tanah dan tubuh kami ini tetap adalah milikmu.
Kami masih ada di sini,
dan kami membanggakanmu karena kami ini milikmu;
Tak ada yang lain.
Kami ada di sini untuk menghadapi kenyataan, karena di dalam kenyataan itu kami hidup.
Kami tidak takut, kami menerima kekalahan itu pulang seperti anak laki-laki dari perantauan. Dan kami akan membangun rumah ini supaya kelak kau punya sayap untuk terbang dalam kebanggaan yang sejati.
Ray Maleke '10
0 comments:
Post a Comment