Tuesday, July 6, 2010

Renungan Kultural Tou Minahasa

Oleh : Veldy Umbas
Maret 2003


Mendesak dan segera! Kiranya tidak ada lagi kata lain yang lebih tetap untuk menjawab tantangan mutakhir kehidupan sosial di era transisional ini. Perubahan cepat sedang terjadi di mana-mana. Abad di mana Tofler menyebut gelombang ketiga, sementara Fukuyama meyakini sebagai kemenangan kapitalisme atas semua pertarungan isme-isme, adalah abad di mana generasi kita menentukan masa depan.

Bagaimana dan seperti apa kita dua atau tiga dasawarsa kedepan, sangat dan akan bergantung pada apa yang kita bahas, kaji, analisa, dan perbuat hari ini. Realitas ini didasari pada fakta empiris perubahan cepat yang tak terprediksikan sebelumnya. Semuanya ini memiliki dampak influatif yang begitu dasyat, hingga terkadang kita salah dalam mengidentifikasi sekaligus menempatkan diri dalam gelombang transisional yang begitu cepat ini. Gejala global tak dapat dihindari lagi. Hingga kita sebetulnya sedang mengikuti irama permainan dan pertarungan global, “dalam perebutan pasar”, sehingga sejumlah isu yang menjadi ikon kulturalisasi sengaja diciptakan untuk menjadi “kiblat” loyalitas global.

Semua pertalian ini tentu akan tetap mengikat semua perspektif dan konsep lokal setiap umat manusia. Hingga, tak berlebihan kalau Ohmae mengkuatirkan tentang terjadinya penghancuran tembok-tembok “nasionalism” yang berbuntut pada “kehancuran negara-bangsa.”

Gejala ini sudah tampak dan memang sudah sedang terjadi, hilangnya semangat nasionalisme bangsa ini, karena tiga hal pokok. Pertama, sukses kampanye global untuk penciptakan loyalisme global. Kedua, hancurnya semangat kebersamaan “Sumpah Pemuda” yang diporak-porandakan oleh bangkitnya radikalisme suku, agama dan ideologi. Ketiga, kaburnya visi negara kesatuan yang disemen dengan semangat UUD 45 sebagai common platform bangsa Indonesia.

Dalam kondisi yang seperti ini, sangatlah jelas kita sedang dalam generasi yang mengerikan—apa jaminannya kita masih percaya kepada Republik Indonesia yang sedang acak-acakan sekarang.

Dalam konteks; menguatnya radikalisme suku bangsa—Aceh Merdeka, Papua Merdeka, dominasi kesukuan. Radikalisme agama—semakin membulatnya tekad menjadikan Indonesia negara sektarian. Belum lagi persoalan kedaerahan yang semakin salah dan bingung menginterpretasikan otonomi daerah. Semuanya ini adalah kegelisahan-kegelisahan kita yang seharusnya kita bahas, kaji, dan sosialisasikan demi tegaknya civil society yang memiliki common platform yang ideal dalam konteks Indonesia.

Lebih-lebih lagi, rumitnya struktur sosial bangsa ini, dengan multi etnik dan agama, jelas membutuhkan keterlibatan sumbangan pemikiran dari semua keterwakilan itu. Sulut misalnya; Untuk sekian dekade terakhir, komunitas ini menjadi kurang jelas sumbangan ide dan konsep dalam konteks keindonesian. Atau paling tidak sekedar untuk ekslusive immune Tapi oleh siapa? Atau barangkali pertanyaan ini justru menjadi autokritik bagi kita atas kenyataan sakit sosial akut yang kini mewabah di Sulut.

Pertanyaan ini, pun seiring dengan amburadulnya Indonesia, seolah telah mengelabukan langit Sulawesi dengan awan hitam pekat Indonesia yang suram. Segala komponen terserap pada infeksi menular penyakit ingin berkuasa dan menikmati fasilitas kekuasaan. Seperti dalam fenomena demokrasi yang terjangkiti penyakit kleptomania dan money politic. Barangkali, seberkas sinar dari pertanyaan yang sangat elementer ini adalah, kesadaran kultural. Adalah suatu keadaan di mana, rakyat dan segenap bagian dari bangsa ini kembali insaf atas kelumpuhan kultur hingga pijakan untuk mengusung masyarakat sipil yang sehat menjadi sangat rapuh.

Sehingga pertanyaannya: Pertama, bukankah kita hanya dipertemukan dalam satu aras yang sama, kultur? Budaya, yang dalamnya ada satu konvensi batin atar individu-individu yang bersepakat untuk membentuk satu masyarakat yang sejahtera di bawah payung pemerintahan yang bersih.

Kedua, bukankah ketika perangkat legal formal, dengan berbagai perlengkapan penguasa mengalami benturan dasyat ketika penegakan hukum demi masyarakat sipil lantaran kaburnya konvensi sosial atas tatanan masyarakat yang beradab?

Ketiga, bukankah kita masih memiliki nurani untuk kemudian malu dihadapan tata dan etika sosial atas hasil kreasi kultur yang mengikat hingga untuk itulah kita tidak ingin kita disebut orang yang tidak beradab. Dan memang pertanyaan yang lebih mendasar yang mendahuluinya adalah yang manakah budaya kita? Seolah telah membantah dan mementahkan semua perenungan kultural yang penulis yakin seharusnya menjadi lilin kecil di tengah kegelapan pekat suatu masyarakat yang telah dibutahkan oleh kronisnya pembodohan kultural. Sehingga persoalannya kemudian adalah bagaimana kita dapat mendekonstruksi suatu konvensi sosial rakyat di daerah ini dalam suatu tata laksana sosial yang seharusnya membentengi diri dari nilai-nilai desktruktif budaya masyarakatnya sendiri. Yang pada akhirnya, penulis merasa sangat yakin atas kesadaran kultural yang gamang, telah menghilangkan jati diri rakyatnya sendiri, hingga tanpa basis kultural ini membuat masyarakat berada di gerbong-gerbong yang ditarik oleh lokomotif yang relnya menuju pada “kebodohan.” Kebodohan yang penulis maksudkan adalah ngawurnya penyikapan kita terhadap persoalan-persoalan sosial seperti makna demokrasi, dan reformasi. Kebingungan-kebingungan yang angkuh dalam pendirian terhadap pilihan hati nurani berdemokrasi (baca: berpartai) sehingga tingkat irasionalitas lebih menonjol dari pada meneliti, mencermati dan menghayati makna berdemokrasi itu sendiri.

Masyarakat kita menjadi semakin kurang kritis, bahkan cenderung apatis terhadap partisipasi politik hanya karena cara memandang politik itu saja yang mungkin keliru. Sehingga korelasi antara partisipasi politik (sebagai indikasi masih memiliki sense of crisis) dan budaya menjadi saling bertaut. Karena kemudian, sintesa sosial atas keadaan apatisme ini akan menjadi budaya baru bagi masyarakat kita, sebagai konvensi tak kentara individu per individu dalam suatu komunitas tertentu. Tentu inilah yang dilihat oleh mata telanjang penulis dalam tata sosial masyarakat Minahasa yang kian melempen, rendahnya sense of crisis, dan cenderung apatis melihat fenomena sosial. Sehingga, perenungan kultural yang mendesak adalah membongkar kembali tatanan sosial masyarakat kita dengan mereduksi seminimal mungkin pola dan etika sosial yang sudah terjangkit oleh infasi budaya luar.


Sumber: http://minahasajurnal.tripod.com/artikel3.html

0 comments:



Lindungi Danau Kita dengan Menjaga Hutan Kita. Jangan biarkan ini terjadi!

http://www.wepa-db.net/pdf/0712forum/presentation26.pdf

Popular Posts