Monday, October 11, 2010

BAKU BEKING PANDE SEBAGAI PROYEK METABUDAYA

Pembandingan Konvergen dengan Demokrasi Deliberatif Habermas dan Filsafat Politik Rorty *

Benni E. Matindas**

Pertama-tama kita harus bersyukur pada Tuhan karena untuk kita bisa berkumpul di sini dan melakukan hal yang sepenting ini jelas hanya dimungkinkan oleh berkatNya. Kemudian terimakasih dan salut harus kita berikan pada ForMinSel yang sudah secara sangat tepat memilih topik kajian — baik sebagai diagnosis maupun hipotesis solusi — dan pada saat yang sangat tepat. Yang dimaksud “saat yang tepat” dalam hal ini bukan saja karena masalah budaya politik sedang aktual di Minahasa Selatan tetapi terutama karena dari segi waktu harus dinyatakan bahwa sekarang adalah masa krisis bagi masyarakat Minahasa dimana kita dapat tergilas untuk selamanya di tengah arena persaingan regional terlebih global, jika terlambat.


I. Spiral Politik Kebudayaan Subhumanisasi

* Sistem Politik yang hanya berwujud hedonisme politik. Segala korupsi, nephewisme, kolusi, perselingkuhan tatanegara, monopoli tanpa pengawasan parlemen, anomali kekuasaan pemerintahan, pengkhianatan DPR pada fitrahnya sendiri (DPR melegislasi disfungsionalisasi DPR), dll., dst., semua itu menjadi lumrah, wajar, biasa, akibat proses yang disebut (oleh Hanna Arendt:) banalisasi kejahatan.

* Penyelengaraan negara atau pelaksanaan dari sistem politik hedonisme itu berwujud administrasi manipulatif. Dasarnya tidak berakar etika dan tujuannya tidak berarah etika yang jelas maka cara pelaksanaannya pun tak mungkin bisa etis. Bayangkan, dan bandingkan, kita dulu sudah menilai buruk terhadap apa yang kita sebut dengan sinis “machiavelisme”: tujuan menghalalkan cara — tujuan benar tapi cara salah — sekarang kita sudah sangat jarang mendengar sinisme tersebut; lantaran kita bahkan sehari-hari sudah menyaksikan dasar dan tujuan dan sekaligus cara tak etis semua.

Dalam filsafat manajemen dikenal apa yang disebut garis batas implementasi; garis pemisah antara periode pemenangan politik dan dimulainya pelaksanaan/administrasi [dlm tradisi tatanegara AS sistem yang benar ini masih dipelihara: setelah Barack Obama menang pemilu maka selanjutnya segala aktivitas pemerintahannya disebut Obama Administration]. Tapi di negeri kita terjungkir balik, proses pemenangan politik hanya berwujud tak lebih dari administrasi pembagian sembako dan BLT, sedangkan sebaliknya setelah terpilih maka sepanjang 5 tahun periode kekuasaan tidak diisi penuh dengan proses administrasi membangun melainkan sibuk dengan politik memenangkan pemilihan berikutnya, melanggengkan kekuasaan dinastinya karena takut dihakimi oleh sejarah masa depan. Kekayaan harus cepat-cepat ditimbun sebanyaknya agar tetap mampu membeli legitimasi kekuasaan. Kalau perlu merubah legislasi sistem politik agar periode kekuasaan ditambah. [Seperti yg akhir-akhir ini hendak diupayakan kelompok tertentu dalam Partai Demokrat buat masa kepresidenan SBY.]

[Dalam sambutannya pada acara peresmian Patung Flying Jesus di Citraland, Winangun, Manado, Desember 2007, Gubernur Sulut Sinyo Sarundajang — yang memang mendalami studi adminstrasi negara sampai ke Prancis dan mungkin karena ditambah keterharuan etis oleh sentuhan ketakjuban akan karya seni berdimensi religiositas itu — sampai mengeluh: bahwa sudah separoh masa baktinya sebagai Gubernur masih disibukkan oleh kesibukan politicking.]

* Politik hedonis demikian langsung dengan cepatnya mewarnai budaya masyarakat. Buah-buahnya sangat banyak; tetapi yang penting untuk ditunjuk dalam konteks pembahasan ini ialah 2: makin suburnya budaya hedonisme dan tumbuh suburnya budaya politik pasar.

Budaya Hedonisme = perilaku hedonis bukan lagi sebagai bentuk kemerosotan akhlak individual yang membuat orang ybs malu dan berupaya bangkit, melainkan sudah menjadi kebudayaan masyarakat menyeluruh, sudah menggeser tata nilai, sehingga para individu bukan saja tak merasa perlu bangkit tapi malah sebaliknya berlomba-lomba dalam sirkuit kejahatan. Mempercepat proses banalisasi kejahatan di semua tingkatan dan semua bidang kehidupan tanpa kecuali agama. Banalisasi kejahatan merupakan gerakan yang melawan gerak hukum progresivitas alam; akibatnya: subhumanisasi. Manusia kehilangan daya belajar, dan sekaligus kehilangan instinct of virtues. Betul-betul sudah subhuman.

Budaya Politik Pasar (mengacu pada sosiologi Marxian) = semua manusia berperilaku politik tak beda dengan di dalam mekanisme pasar, dimana politik diperlakukan sebagai komoditas langka (karena tingkat permintaan jauh lebih tinggi daripada penawaran) sehingga harus diperebutkan secara at all cost. Padahal politik yang sebenarnya dapat diperjuangkan melalui sangat banyak jalur dan yang seharusnya sama efektifnya. Akibat budaya politik pasar tersebut sangat banyak dan parah; antara lain subhumanisasi warga dan gejala negara super yang niscaya gagal. Subhumanisasi masyarakat berlangsung karena manusia utuh ialah manusia yang memiliki dimensi politik [—itulah mengapa hak-hak politik warga negara dikonstitusikan sebagai haq asasi manusia, sesuatu yang tanpa itu setiap orang tak dapat hidup selayaknya manusia]. Dalam terminologi Marx, subhumanisasi ini lebih dikenal dengan alienasi, manusia yang menjadi makhluk asing di hadapan dirinya itu sendiri lantaran hilangnya fitrah kemanusiaan sejati dalam dirinya (hilang daya belajar mandiri, hilang daya kritis, hilang visi dan hasrat pada virtues, hilang daya kepemimpinan atas diri sendiri, bahkan dalam hal iman mereka merasa hanya bisa diberkati Tuhan dan disembuhkan dari penyakit bila menghadiri KKR untuk didoakan oleh pengkhotbah terkenal).

Adapun gejala aneh “negara super yang niscaya gagal” itu penjelasan sederhananya mudah dimengerti karena kita sudah mengalaminya sendiri: rendahnya dan bahkan gagalnya budaya masyarakat à negara ekspertokrasi (istilah dari Rorty, dalam konteks ini lebih tepat daripada elitisme ataupun aristokrasi), penyelenggara negara yang menganggap diri paling tahu segala hal (para Kadis jadi Penetua lalu berkhotbah di gereja dan para pendeta harus menggut-manggut mengakui kebenaran khotbah yang kendati teologinya ngawur itu) à pemerintah menanggung beban jauh lebih besar dari yang selayaknya, sementara rakyat ditawan dalam apatisme dan apolitisme à penyelenggaraan negara pasti gagal mencapai tujuan à tapi kondisi ini harus berlangsung terus dari periode ke periode lantaran kekuatan pengubah, yakni civil society, tak bisa tumbuh. Inipun merupakan wujud dari spiral politik subhumanisasi.

* Pada giliran lanjutnya, budaya hedonisme dan budaya politik pasar itu memperkokoh sistem politik yang berlaku. Lalu, seperti sebelumnya, sistem politik hehonis tersebut menyuburkan sistem administrasi manipulatif. Begitu seterusnya, berputar-putar dalam spiral politik kebudayaan subhumanisasi.



II. Demokrasi Deliberatif Habermas dan Rorty

Kondisi politik, budaya politik, dan sistem kebudayaan, sebagaimana yang dilukiskan berupa spiral proses subhumanisasi tersebut di atas, berlangsung di semua negara dan bangsa, tetapi dengan akibat nyata yang kadar atau stadium keparahannya berbeda-beda antara negara yang satu dengan yang lain, antara masyarakat daerah yang satu dengan yang lain. Tergantung ketahanan budayanya masing-masing, tingkat keberhasilan proyek pencerdasan bangsa, dan kesadaran kaum elit politiknya untuk memberi ruang bagi tumbuhnya warga dengan dimensi politik yang memadai.

Upaya untuk menemukan solusi sudah ditempuh sejumlah ahli filsafat politik, terutama dari generasi baru tradisi Marxian — yang dirintis Georg Lukacs dan memuncak pada Jürgen Habermas dan beberapa eksponen postmodernisme (yang dalam telaah ini kita hanya khusus melihat Richard Rorty). Logika-logika yang membentuk spiral politik seperti dilukiskan di atas itupun sebagian besar bersumber dari teori-teori mereka.

Politik modern, di mata Habermas, berlangsung dalam ketegangan antara ketaatan pada hukum positif dan perjuangan mengubah hukum tersebut agar semakin memenuhi etika. Ketegangan antara persepsi res-publika Rousseau yang mengutamakan ketaatan pada hukum serta pengabdian masyarakat pada negara sebagai pranata budaya yang dijelmakan dari kehendak umum (baca: kebenaran), dan persepsi demokrasi liberal John Locke yang sebaliknya memandang hukum dan negara harus sepenuhnya diabdikan pada kehendak warga.

Habermas, dalam upayanya untuk memadukan dua pendekatan tersebut, memulai dengan proposisi bahwa kita membutuhkan hukum demi etika kita sendiri. Arti sederhananya, di tengah kesibukan kita dalam pelbagai profesi dan urusan kehidupan kita masing-masing, kita tak perlu selalu tersita waktu dan tenaga oleh usaha mempertimbangkan etika bagi setiap langkah kita tiap hari, patuh saja pada hukum maka di dalamnya sudah include kepatuhan pada etika. Sekaligus dengan itu pula, dengan memelihara hukum, maka integrasi sosial terpelihara. Teori para sosiolog sebelumnya bahwa integrasi sosial dijaga oleh eksistensi uang dan kekuasaan pemerintah dibantah oleh Habermas; karena uang maupun kekuasaan negara membawa ketidaksamaan dan ketidakadilan di masyarakat, sehingga sering jadi sumber disintegrasi sosial.

Tetapi hukum bukan bebas dari masalah etika. Proses pembentukannya di parlemen sering mengalami deviasi akibat tekanan kelompok politik mayoritas, manuver kelompok kapitalis, dll., sehingga hukum yang diberlakukan justru merupakan ketidakadilan bagi warga minoritas, kelompok ekonomi lemah, dll. Untuk itu Habermas menganjurkan demokrasi deliberatif, tata politik yang mengandalkan proses komunikasi bebas antar-warga dimana proses pengambilan keputusan di parlemen hanya tinggal merupakan legislasi formal atas kebenaran yang sudah terkristal di masyarakatnya. Dalam demokrasi deliberatif, penyalahgunaan hukum maupun penyelenggaraan pemerintahan manipulatif akan sangat terminimasi.

Richard Rorty menilai usaha Habermas belum memadai. Belum mampu menembus atau memecahkan apa yang saya sebut spiral budaya politik dan politik budaya subhumanisasi. Komunikasi memang adalah proses pencerdasan, pencerahan, pembebasan manusia dari dominasi kesadaran yang dilakukan oleh pihak lain, tetapi apa yang menjamin sehingga dalam proses komunikasi itu tidak berlangsung pula pendominasian baru atas kesadaran kita?! [Matindas: 1998, hlm.112-3]

Menurut Rorty, liberalisme tetap dibutuhkan, hanya saja harus diimbangi dengan apa yang disebutnya ironisme. Liberalisme adalah proses pengambilan keputusan publik melalui mekanisme demokrasi formal, yang terbebas dari belenggu kepercayaan mitis, kekangan budaya feodalisme maupun intervensi penguasa diktator, sedangkan ironisme menambah kadar kemurnian proses pencarian kebenaran itu karena sifatnya yang individual, sangat personal, berdasar kontingensinya pada semua realitas kekinian pribadi ybs. Lebih bersifat personal daripada eksistensialisme [Verhaar: 1999, hlm.27-32].

Tapi Rorty punya kelemahan fatal, terlalu riskan menyerahkan kebenaran pada personal dengan segala kepentingannya. Tepatlah untuk menunjuk solusi metabudaya Francis Mulhern sebagai penyempurna jalan Habermas dan Rorty. Untuk dapat lebih menjamin obyektivitas [Mulhern: 2010, 201-225].

Jadi, metabudaya mengandung dua aspek lengkap sekaligus: formal dan material. Sebagai jalan formal ia merupakan pertobatan dari seluruh teori yang mencurigai segala bentuk social-engineering; bahwasanya program pembudayaan yang benar dapatlah ditolerir karena memang dibutuhkan. Sedang secara material ia merupakan alternatif isi pembudayaan. [Mirip Popper dan Habermas; bandingkan juga dengan ajaran Kasih dari Yesus: metodenya adalah falsafahnya.]

Semua yang diuraikan di atas sudah merupakan penjelasan paling selesai, paling radikal (mendasar, ultimate answer), bagi semua permasalahan yang tiap hari dikeluhkan masyarakat di mana-mana, di media massa dan di pelbagai forum dialog. Tentang kondisi lembaga-lembaga kekuasaan negara, pemerintah, perilaku politisi, kualitas pemimpin masyarakat, semuanya, pangkal dan sumbernya dari sini.



III. Filsafat Baku Beking Pande sebagai Solusi Metabudaya

Filsafat Baku Beking Pande, yang pertama kali diintroduksi Ventje Sumual pada 1991, berinti pada pengandalan rasio serta akal sehat. Ini semacam terapi kesadaran terhadap masyarakat modern yang dengan sadar memberi diri dibelenggu oleh irasionalitas mitis, irasionalitas nilai budaya dan irasionalitas dalam tradisi tertentu keagamaan (baca: tafsir tertentu manusia tertentu pada apa yang dipercayanya sebagai wahyu Illahi). Dengan demikian, filsafat Baku Beking Pande adalah upaya melepaskan diri dari apa yang dibilang Sidney Hook “ketakutan untuk menjadi berani”. Tidak berani untuk menjadi berani! Atau yang dibilang Erich Fromm “escape from freedom”. Membebaskan diri justru dari kebebasan! Atau seperti yang dikritik oleh logika Pencerahan Kant: merasa berkuasa dan aman justru karena tak dewasa dan tak mandiri.

[Dalam menjelaskan maksudnya tentang fenomena budaya masyarakat yang menjunjung tinggi nilai irasional, oleh Om Ventje Sumual sering ditunjuk pada peristiwa pemutusan hubungan dengan Pusat oleh Panglima KDM Sulutteng Letkol D.J. Somba pada 17 Februari 1958. Itu tindakan yang luarbiasa fatal dan konyol, seperti halnya ultimatum dari Padang tgl. 10 Februari 1958 oleh Letkol Ahmad Husein. “Pihak kita yang memutuskan hubungan, pihak kita yang memberi ultimatum, tetapi tidak menyerang lebih dulu (karena belum siap), jadi justru pihak kita yang dibom. Waktu saya tanya pada Somba, kenapa bikin putus hubungan? Dia jawab: ‘Dorang bilang kwa kita panako…!’ Jadi, bayangkan, nilai irasional didahulukan, padahal taruhannya sangat besar!”]

Pengembangan diri setiap manusia untuk mencapai daya-daya puncak bagi penghidupannya adalah terutama pada pengembangan daya pikirnya hingga mencapai segenap potensi mental. Cerdas, berpengetahuan luas, bijaksana, pandai (trampil memecahkan masalah).

Selanjutnya, dengan daya mental yang meningkat maka manusia akan tiba pada kesadaran bahwa proses pengembangan dirinya itu akan mengalami percepatan dan dengan arah yang lebih menjamin hasil sempurna bila berlangsung dalam proses mencerdaskan atau memandaikan kehidupan orang lain. Tetapi banyak faktor telah menghambat setiap pribadi untuk berlaku ideal seperti itu, sehingga butuh keputusan (desisionik). Dan justru dengan keputusan pribadi itu maka ada pengarahan secara sadar untuk melakukan komunikasi secara positif-konstruktif. Ini selaras dengan, untuk belum mengatakan lebih daripada, demokrasi deliberatif model Habermas.

Proses baku bikin pandai ini akan membentuk kesatuan masyarakat. Namun karena setiap pelaku beking pande orang lain itu berarti adalah subyek, maka semua orang akan berada dalam satu struktur maupun kultur kebersamaan tetapi tetap menjaga kemandirian setiap individu. Dengan tetap terjaganya kemandirian, personalitas, keunikan individual, maka akan tetap besarlah dinamika kelompok untuk terus maju berkembang.

Kemandirian dalam kebersamaan dan kebersamaan dalam kemandirian. Persatuan seperti ini kohesif, dan sekaligus produktif. Sedangkan persatuan tanpa kemandirian para subyek yang aktif berkomunikasi konstruktif hanya seperti gelanggang pertempuran dimana sejumlah manusia dipertemukan dalam satu galangan tetapi justru untuk saling memangsa. Dengan asas “kemandirian dalam kebersamaan dan kebersamaan dalam kemandirian” maka semua yang terbaik dari apa yang diasumsikan dalam persatuan akan tercapai dan sekaligus tercapai juga semua yang terbaik dan menyenangkan dari yang diasumsikan pada personality, termasuk yang disebut ironisme oleh Rorty.

Paradoks dinamis-konstruktif tentang hubungan kebersamaan & kemandirian ini barangkali boleh kita bandingkan dengan nuwu i tu’a : “Sa cita esa sumerar cita, sa cita sumerar esa cita!”

Amurang, 3 September 2010















Daftar Pustaka

1. Frow, J., Cultural Studies and Cultural Values. Oxford:Clarendon, 1995.

2. Habermas, Jürgen, Ilmu dan Teknologi sebagai Ideologi, terj. Hassan Basari. Jakarta: LP3ES, 1990.

3. Hardiman, F. Budi, Menuju Masyarakat Komunikatif – Ilmu, Masyarakat & Postmodernisme Menurut Jürgen Habermas. Yogyakarta: Kanisius, 1993.

4. _____________, “Menyimak Filsafat Politik Habermas. Demokrasi Deliberatif: Model untuk Indonesia Pasca-Soeharto?”, Basis, No.11-12/Thn ke-53, November-Desember 2004; hlm.14-31.

5. Kavanagh, Dennis, Kebudayaan Politik, terj. Lailahanoum Hasyim. Jakarta: Bina Aksara, 1982.

6. Matindas, Benni E., Negara Sebenarnya. Jakarta: Widyaparamitha, 2005.

7. _____________, Paradigma Baru Politik Ekonomi. Jakarta: Bina Insani, 1998.

8. Mulhern, Francis, Budaya/Metabudaya, terj. Stephanus Aswar Herwinarko. Yogyakarta: Jalasutra, 2010.

9. Rorty, Richard, Contingency, Irony, and Solidarity. Cambridge: Cambridge University Press, 1989. Beberapa karya pemikiran Rorty dibaca di internet.

10. Sumual, H.N., Baku Beking Pande – Sebuah Keputusan Falsafi. Jakarta: Bina Insani, 1995.

11. Sutrisno, Mudji, et al (editors), Cultural Studies. Tantangan Bagi Teori-Teori Besar Kebudayaan. Depok: Koekoesan, tanpa tahun.

12. Verhaar, SJ., Jo, “Apa Itu Purnamodernisme?”, dalam Jo Verhaar SJ., Filsafat yang Berkesudahan, Yogyakarta: Kanisius, 1999.









Catatan: Teks yg warna biru hanya disampaikan sbg tambahan/sisipan secara lisan pada saat presentasi.




* Makalah disampaikan dlm Diskusi Budaya Politik & Spirit Baku Beking Pande yg diselengarakan ForMinSel di Amurang, 3 September 2010.

** Pengajar Filsafat; Direktur Lembaga Pædia; Penasehat KKK.

Sumber: http://www.facebook.com/profile.php?id=614753166&v=wall&story_fbid=440284403166#!/note.php?note_id=437877082556

0 comments:



Lindungi Danau Kita dengan Menjaga Hutan Kita. Jangan biarkan ini terjadi!

http://www.wepa-db.net/pdf/0712forum/presentation26.pdf

Popular Posts