Enceng Gondok Sebagai Bahan Utama Kerajinan Politik Daerah
Sekitar tahun 2000-an enceng gondok tiba-tiba menjadi salah satu kata yang mengisi percakapan sehari-hari masyarakat Kawanua, tidak hanya yang tinggal di sekeliling Danau Tondano , tetapi juga yang duduk-duduk di warung kopi sejauh San Francisco. Tahun-tahun sebelumnya tidak ada enceng di Danau Tondano. Entah dari mana datangnya. Hanya dalam kurun waktu yang sangat singkat, gulma air ini sudah mengubah wajah Danau Tondano, dan memaksa para nelayan dan Kawanua pecinta Danau untuk mengakui keberadaan mereka. Tak hanya mengancam kelestarian Danau, enceng juga mengancam kehidupan masyarakat nelayan. Secara literal, ini tak hanya dimaksudkan jika 30 tahun dari sekarang Danau Tondano hilang menjadi tanah bencah, tetapi sekarang juga enceng sudah menyulitkan para nelayan untuk “melour” (menangkap ikan di danau).
Namun tak semua orang tentu saja menganggap enceng gondok sebagai musuh. Ada juga masyarakat yang telah menemukan segi redemptif dari enceng, yaitu dengan mengubahnya menjadi bahan baku produksi kerajinan tangan. Para nelayan yang tidak bisa mencari nafkah beramai-ramai masuk “proyek” untuk mengangkat enceng, tidak ketinggalan masyarakat Danau yang membutuhkan cash-flow untuk mengurangi tekanan ekonomi yang mereka alami akibat ladang-ladangnya telah puluhan tahun terendam air akibat bendungan air di Tanggari. (Tak usah disebut halaman dan rumah dan sekolah mereka). Dan tentu tak lupa, komunitas politik kita yang selalu jeli melihat “pasar.” Yang disebut terakhir ini juga melihat enceng sebagai “bahan baku,” atau “proyek.” Enceng gondok bisa berarti kampanye politik atas nama menyelamatkan Danau Tondano.
Siapa juga yang tidak ingin “menyelamatkan Danau Tondano”? Setiap Kawanua selalu mempunyai kecintaannya sendiri terhadap Danau yang satu ini, dan itu sebabnya di dalam hati tentu saja selalu ada rasa keprihatinan terhadap masa depannya. Oleh karena itu, setiap Kawanua juga perlu memahami bahwa yang mengancam Danau Tondano tidak hanya enceng gondok saja.
Tahun 1970 kedalaman air di Danau Tondano adalah 50 meter. Tahun 2002, kedalaman air telah menyusut sampai 20 meter, dan diperkirakan setiap tahun kedalaman danau berkurang 20cm oleh karena endapan yang masuk ke dalam danau. Hal ini hendaknya membuka mata kita bahwa mengatasi enceng gondok belum mengatasi masalah hilangnya Danau Tondano. Memang masalah enceng perlu penanganan yang cepat dan tepat, namun masih ada masalah lain yang perlu juga diperhatikan: penataan irigasi, penghijauan daerah serapan air, serta penyediaan fasilitas kontrol ketinggian air.
Hal tersebut di atas menunjukkan bahwa masyarakat Kawanua perlu mendorong komunitas politik dan Pemerintah supaya tidak hanya menjadikan enceng gondok dan pelestarian Danau Tondano sebagai komoditas politik, melainkan benar-benar mencari solusi yang komprehensif untuk menjaga kelestarian Danau kebanggaan rakyat Sulawesi Utara ini. Berkampanye sah-sah saja, yang penting harus ditepati.
Enceng gondok dapat membahayakan kelestarian danau (foto: Jane M. Mamuaja) |
Namun tak semua orang tentu saja menganggap enceng gondok sebagai musuh. Ada juga masyarakat yang telah menemukan segi redemptif dari enceng, yaitu dengan mengubahnya menjadi bahan baku produksi kerajinan tangan. Para nelayan yang tidak bisa mencari nafkah beramai-ramai masuk “proyek” untuk mengangkat enceng, tidak ketinggalan masyarakat Danau yang membutuhkan cash-flow untuk mengurangi tekanan ekonomi yang mereka alami akibat ladang-ladangnya telah puluhan tahun terendam air akibat bendungan air di Tanggari. (Tak usah disebut halaman dan rumah dan sekolah mereka). Dan tentu tak lupa, komunitas politik kita yang selalu jeli melihat “pasar.” Yang disebut terakhir ini juga melihat enceng sebagai “bahan baku,” atau “proyek.” Enceng gondok bisa berarti kampanye politik atas nama menyelamatkan Danau Tondano.
Siapa juga yang tidak ingin “menyelamatkan Danau Tondano”? Setiap Kawanua selalu mempunyai kecintaannya sendiri terhadap Danau yang satu ini, dan itu sebabnya di dalam hati tentu saja selalu ada rasa keprihatinan terhadap masa depannya. Oleh karena itu, setiap Kawanua juga perlu memahami bahwa yang mengancam Danau Tondano tidak hanya enceng gondok saja.
Tahun 1970 kedalaman air di Danau Tondano adalah 50 meter. Tahun 2002, kedalaman air telah menyusut sampai 20 meter, dan diperkirakan setiap tahun kedalaman danau berkurang 20cm oleh karena endapan yang masuk ke dalam danau. Hal ini hendaknya membuka mata kita bahwa mengatasi enceng gondok belum mengatasi masalah hilangnya Danau Tondano. Memang masalah enceng perlu penanganan yang cepat dan tepat, namun masih ada masalah lain yang perlu juga diperhatikan: penataan irigasi, penghijauan daerah serapan air, serta penyediaan fasilitas kontrol ketinggian air.
Hal tersebut di atas menunjukkan bahwa masyarakat Kawanua perlu mendorong komunitas politik dan Pemerintah supaya tidak hanya menjadikan enceng gondok dan pelestarian Danau Tondano sebagai komoditas politik, melainkan benar-benar mencari solusi yang komprehensif untuk menjaga kelestarian Danau kebanggaan rakyat Sulawesi Utara ini. Berkampanye sah-sah saja, yang penting harus ditepati.
0 comments:
Post a Comment