Wednesday, November 4, 2009

MINAWANUA

Lahir dan besar di Tondano, tepatnya di desa Toulour, di tepi sungai dan danau Tondano, aku ini orang Toudano. Aku ini besar bersama dengan tewasen-tewasen(1) yang menjadi tempat bermain kami di arah Minawanua. Aku seperti mengerti sekarang mengapa kami membuat semua senjata tewasen itu. Sekarang tempat itu seakan-akan takkan pernah terpijak lagi, bukan karena bédéng-bédéng tanaman yang sering kami injak bersama rekéian ni makapunya bédéng (2), “Oi, ipateroknéamokéi en tinanem!(3)” telah dipugar dengan kawat besi, namun karena tempat itu telah terbenam untuk waktu yang sudah lama. Dan orang Toulour, Kiniar, Roong, Rinegetan atau di mana saja di negeri Tondano yang mendapat budél dari sé minatu’anéa(4) di sana, mereka tinggal mengingat tanah mereka yang selalu mereka sebut dengan “Minawanua.”

Apa artinya nama itu? Ketika aku dan teman-temanku berlari-lari di atas hamparan luas tanah itu, kami tidak peduli dengan cerita yang ditawarkan oleh waruga-waruga yang tak utuh lagi di sana, sama seperti kami tidak terlalu peduli dengan jerih lelah mereka yang berpeluh siang dan malam mengusahakan tanah itu supaya ia bisa memberi taadéi(5), kamantés(6), marisa(7), belaan(8) atau kapitu(9). Yang kami peduli saat itu adalah mendapatkan poka’ – layang-layang putus.

Aku mengingat pohon gho’gho’an(10) raksasa di kuntung sebelah sana. Manis besar buahnya masih tersisa di lidahku sampai saat ini, mengingatkanku akan miris rasa buah karebang(11) yang seakan mengawal sekelilingnya. Sayangnya aku tak dapat bercerita tentang memanjat pohon raksasa itu. Aku tak seberani teman-temanku, atau aku malu menyebut bahwa aku tak seberani sepupu perempuanku yang nekat memanjat pohon itu. Aku tak ingat lagi riwayat pohon bombongan itu, akupun tak berhasil melestarikannya dengan bibit yang kukumpulkan dari bawah akarnya yang besar. Namun aku ingat tentang bentangan tanah itu, ketika ia berubah menjadi seperti sebuah lour(12) yang dangkal, tempat di mana aku pergi dengan lodéi(13) kecilku dengan sosoroka(14) di tangan atau dengan puket(15) yang kubentangkan untuk menangkap goramé, sepat, kesa’ atau mujair-mujair kecil. Saat itu aku tak begitu menyesal memandangnya, karena aku berpikir tahun depan ia akan muncul lagi, dan aku bisa pergi bersama teman-temanku untuk mengikan(16), atau dengan pentungan dan iringan suara intukan(17) anjing mengejar tikus-tikus ekor putih – terasa air liurku meleleh. Namun setelah tahun berganti tahun dan tanah itu tak pernah lagi bernafas di permukaan, aku tinggal mengenangnya sebagai Minawanua,

Minawanua, aku mengingat engkau ketika Ibuku mengingatkanku untuk tak pergi padamu sendirian karena kau bisa menelanku di duniamu yang tak nampak. Karena opaku dulu menyerah nyawa dipelukanmu, dan sekampung orang yang pergi mencarinya tanpa hasil, hanya dengan petunjuk sé meketana’(18) ia akhirnya dapat dibawa pulang untuk diratapi oleh keluarganya. Itulah pemberianmu kepada kami, karena kaulah yang menunjukkan betapa koupusen né sengewanua si tété tu’aku(19).

Namun Minawanua, mengapa dulu engkau tak bercerita padaku tentang kisah sucimu? Tentang berapa banyak sé makawanua(a) yang menyerah nyawa dipelukanmu sebagai bukti cinta yang berani?

Mengapa engkau begitu diam, pada hal aku telah berlari-lari di pundakmu dengan hentakan kaki yang terlalu sukar dibandingkan dengan ramba’an(20) tarianmu dalam gejolak semangat kesatriaanmu?

Takkah kau dengar suara tawaku yang tak sebanding dengan pekik membahana suaramu yang menggetarkan gunung Kalabat, membuat Lokon menyembul asap dari kawahnya, dan menggugurkan jiwa para musuhmu.
“Uhuuuuu! I ayat un santi!(21)”

Seerat apakah kau membuat pegangan solang(22) itu tak bernafas oleh karena genggaman tangan sé minakaredéi, “Nikéi kéi suru ni To’ar wo Lumimu’ut(23)”?

Apakah karena engkau atau karena cinta mereka akan keindahanmu yang membuat mereka maju dengan berani ke medan lumpur cintamu atau di bening air matamu yang memenuhi Danau Tondano?

Mengapa mereka sekeras kayu bési mau bertahan bersama dirimu? Mau melihat apikah? Api yang membakar rata semua rumahmu yang kau bangga-banggakan itu, membakar pupun-pumpun(24) padimu yang kau anggap harta. Itukah yang kau bayangkan dalam terebun(25) jiwamu ketika memandang mereka yang datang menginjak-injak kehormatanmu? Ataukah kau sendiri telah terbakar sebelum semunya menjadi abu? Kau terbakar oleh cintamu. En upusu lumayas niaku(26).

Oh, kau memang meninggalkan kesedihan di hati para tarétumou, sekalipun banyak di antara kami yang sudah lama lupa dan tak peduli sama sekali. Namun kami masih ada – di dalam cintamu. Dan mungkin hanya satu kali dibandingkan dengan ribuan ombak danau yang datang bersama angin Timu(27), mengaburkan danau dan sungai hatiku, namun masih ada di sana, di dalam jiwaku yang telah terlanjur menyala dengan nyalanya yang abadi, Minawanua. Nyanyianmu tak lagi terdengar di keheningan malam, bukan lagi di riak danau Tondano aku melihat wajahmu tersenyum. Di wajah anak-anakmu yang tak mengenal engkau engkau tersenyum, dan keindahanmu memancar dari senyum dan gelak tawa mereka. Sekalipun kau telah tersaput air danau yang tak kunjung pergi, air itu tak dapat memadamkan kebanggaanku akan cintamu.

(1) Pohon sagu
(2) Teriakan si empunya tanah kultivasi
(3) Oi kalian sudah merusak tanaman lagi
(4) Orang-orang tua mereka
(5) Jagung(6) Tomat
(7) Cabe rawit
(8) Ketimun
(9) Labu
(10) Sejenis buah berry (bombongan)
(11) Sejenis buah
(12) Danau
(13) Perahu
(14) Sejenis tombak untuk menangkap ikan
(15) Pukat
(16) Menangkap ikan dengan tangan di genangan air sisa banjir
(17) Gonggongan
(18) Orang-orang yang punya pengetahuan
(19) Disayangi oleh seisi kampung kakek buyutku
(a) Yang empunya negeri
(20) Hentakan kaki
(21) Hunuskan/angkatlah pedang!
(22) Pedang panjang
(23) Kami ini keturunan To’ar dan Lumimu’ut
(24) Sejenis tempat penyimpanan padi/gudang
(25) Gelora
(26) Cintamu membakar diriku
(27) Selatan


Ray Maleke, 2009

0 comments:



Lindungi Danau Kita dengan Menjaga Hutan Kita. Jangan biarkan ini terjadi!

http://www.wepa-db.net/pdf/0712forum/presentation26.pdf

Popular Posts