Banjir di Minawanua dan Refleksi Kawanua
Bencana alam selalu menggugah rasa prihatin di hati manusia. Seringkali rasa solidaritas kita terhadap para korban turut disertai rasa tidak berdaya, oleh sebab ketidak-mampuan kita untuk mengendalikan alam. Ternyata rasa ketidak-berdayaan untuk mengendalikan alam ini telah mendorong manusia untuk memikirkan berbagai macam strategi demi mengantisipasi, mencegah, dan mewaspadai perilaku alam. Contohnya adalah dipasangnya sistem alarm untuk bencana tsunami di pantai Manado. Kita semua berdoa supaya hal-hal semacam itu dijauhkan dari kita semua, namun sama pentingnya dengan berdoa adalah mengantisipasinya, supaya apabila terjadi maka tidak akan menimbulkan korban. Tsunami adalah bencana menakutkan yang belum bisa diprediksi secara detail kapan dan di mana akan terjadi. Berbeda misalnya dengan bencana banjir di Tondano. Paling tidak 20-an tahun terakhir ini, setiap musim penghujan, yakni September-April, areal persawahan dan beberapa perkampungan penduduk di seputar Danau Tondano akan terbenam air sampai berbulan-bulan.
Banjir di seputar Danau Tondano memang unik; tidak berarus seperti yang banyak kali terjadi di daerah lainnya. Bisa kita bandingkan dengan menampung air di dalam ember: air terus bertambah sampai ember menjadi penuh. Demikian juga di Danau Tondano. Ketika hujan datang, air dari pegunungan sekitar masuk ke Danau Tondano dan terus naik sampai menenggelamkan perkampungan, sekolah-sekolah, areal persawahan, termasuk tanah sakral kebanggaan Minahasa, Minawanua. Sepengetahuan saya sampai saat ini tidak ada korban jiwa. Hanya pernah ada seorang gadis kecil yang hampir tenggelam di bawah kolong rumahnya di kampung Toulour. Beruntung ia ditemukan oleh bapaknya tepat waktu, kalau tidak bencana ini tidak hanya akan mengingatkan kita tentang lambatnya upaya penanggulangan dari Pemerintah Minahasa dan Sulawesi Utara, tetapi juga nyawa dari seorang puteri Kawanua. Memang anak-anak dan para lansia adalah yang paling rentan dalam bencana ini.
Mungkin kita bertanya, apakah Danau Tondano tidak ada saluran keluarnya? Jawabnya, tentu saja ada. Kalau tidak, Kuala Jengki di pasar Bersehati Manado akan kering. Memang yang sering menjadi pertanyaan adalah: Apakah mungkin karena pintu air di PLTA Tonsea terlalu kecil sehingga air tertahan seperti dalam ember? Pertanyaan ini tentu saja tidak hanya untuk pihak PLN, tetapi juga Pemerintah dan para Wakil Rakyat yang kita semua banggakan. Apa yang menyebabkan ketinggian air di Danau Tondano tidak dapat dikontrol, sehingga terus menerus mengakibatkan penderitaan bagi sebagian masyarakat Tondano?
Masalah banjir di Tondano sudah menjadi masalah umum dan dibicarakan di khalayak luas, dan tentu saja selain memberi ungkapan rasa solidaritas, ada juga Kawanua yang mengatakan kenapa masih tinggal di daerah banjir, bukankah sudah ada solusi dengan dua kali di-‘transmigrasi’ ke luar daerah? Itikad baik Pemerintah itu, kalau juga itu mau disebut sebagai solusi, maka kelihatannya itu bukan solusi terbaik. Para korban banjir malah menjadi korban ‘solusi’ itu. Masyarakat seputar Danau Tondano, sekalipun sebagian mereka juga turut bertani, pada dasarnya mereka adalah masyarakat nelayan. Mengirim mereka ke tengah hutan untuk hidup dari beras ransun dan berperang melawan malaria bukan solusi terbaik. Belum lagi mengingat tidak tersedianya fasilitas pendidikan dan kesehatan yang memadai. Tidak heran sebagian besar pulang kembali ke kampung mereka, dekat dengan keluarga, tanah warisan leluhur, dan mata pencaharian mereka. Faktor-faktor tersebut yang gagal diperhitungkan oleh pengambil kebijaksanaan pada waktu itu. Jalan keluar yang ditawarkan jauh sama sekali dari win-win solution.
Danau Tondano merupakan salah satu icon Minahasa, Sulawesi Utara, yang dibanggakan, dan kita semua sebagai warga masyarakat berharap bahwa kelestariannya dapat terpelihara, menjadi sumber kehidupan bagi masyarakat di sekitarnya, dan kebanggaan Kawanua di mana saja berada. Namun masalah banjir ini sudah terlalu lama dibiarkan tanpa upaya penanggulangan yang jelas, sehingga menghasilkan rasa bangga yang tidak sepantasnya bagi masyarakat Kawanua. Tidak adanya standard ketinggian air yang diregulasi, dan tidak adanya fasilitas kontrol yang memungkinkan hal itu, hendaknya mendapat perhatian dari Pemerintah dan pihak-pihak yang terkait, demi menciptakan iklim investasi, parawisata, dan kesejahteraan masyarakat di seputar Danau Tondano.
Syukurlah bahwa para Kawanua masih mempunyai bentuk kepedulian yang konkrit terhadap masyarakat danau yang terus menjadi korban banjir. Dalam berbagai percakapan di virtual social-network, masyarakat Kawanua lokal dan Internasional terus memberi sumbangan pemikiran untuk mencari solusi bersama mengatasi banjir di Tondano, di antaranya adalah:
- Pemerintah Daerah bersama PLN membangun fasilitas control, misalnya pintu air tambahan sebagai keluaran untuk mengantisipasi curah hujan yang tinggi. Pemerintah juga perlu menetapkan standard batas air melalui Peraturan Daerah sehingga masyarakat terhindar dari banjir dan memberikan rasa aman pada petani dalam mengusahakan sawah dan ladangnya.
- Menjaga dan menghijaukan kembali hutan serapan air di sekitar Danau Tondano.
- Mengeruk Sungai dan Danau Tondano (dengan terlebih dahulu menganalisa dampak lingkungannya terhadap habitat danau dan menyusun strategi pelaksanaan yang pro-lingkungan).
- Memperbaiki sistem saluran air di Tondano dan sekitarnya.
- Mengatur sistem irigasi sawah di Tondano, Kakas, Langowan untuk memanfaatkan kelebihan air.
- Melaksanakan pelatihan dan pemberdayaan petani ladang dan sosialisasi pengolahan ladang dengan sistem terasering untuk meminimalisir erosi tanah yang berdampak pada semakin dangkalnya Danau Tondano
- Membuat tempat penampungan air yang dapat dikelola menjadi air minum komersil.
- Dll.
Berbagai usulan di atas ini tidak hanya merupakan bukti adanya rasa ketidak-berdayaan yang mendorong lahirnya upaya pencegahan dan antisipasi, melainkan juga kepedulian masyarakat Kawanua terhadap satu dengan yang lain. Torang samua tahu bahwa Pemerintah, PLN dan pihak-pihak terkait memiliki sikap demikian juga (semoga), tapi memang dorang torang samua perlu ja kase inga akang.
0 comments:
Post a Comment