Thursday, September 15, 2011

Provokasi Damai Ambon dan Pelajaran untuk Minahasa

Tabea, 
Penanganan masalah dari bawah oleh saudara-saudara Kristen dan Muslim di Ambon dapat menjadi pelajaran yang sangat berharga dalam menjaga kerukunan hidup di tanah Minahasa. Berikut ini adalah up-date dari Jacky Manuputty mengenai situasi di Ambon dan sekitarnya. 



Dear temans, 
berikut ini saya meng-update perkembangan situasi Ambon selama dua hari terakhir. Tulisan di bawah ini hanyalah sebuah potret kecil dari berbagai upaya damai yang dilakukan banyak pihak pada berbagai level. Terima kasih untuk semua dukungan bagi berkembangnya perdamaian di Ambon, dan Maluku secara menyeluruh.
Salam,
Jacky Manuputty
MERETAS JALAN DAMAI
     Sejak kemarin, 13 September 2011 sampai hari ini situasi keamanan di Ambon boleh dikatakan semakin baik. Kemarin subuh saya bersama beberapa teman mencoba berjalan kaki pada beberapa ruas jalan utama untuk memantau aktifitas masyarakat, serta mengukur tingkat interaksi masyarakat di ruang publik. Di depan PHB, kami melihat beberapa anak sekolah SLTA berseragam menyeberangi jalan menuju sekolah mereka di daerah Tanah Tinggi (wilayah dominan Kristen). Mereka adalah anak-anak prajurit TNI yang tinggal di komplek PHB. Perginya anak-anak tentara ke sekolah bagi kami merupakan salah satu indikator berkembangnya situasi aman di Kota Ambon. Dalam perjalanan itu kami gembira menjumpai beberapa penjual koran eceran mulai menjajakan korannya di jalan. Begitu pula pengayuh-pengayuh becak, secara terbatas mulai melewati jalan-jalan yang sehari sebelumnya terlihat sangat sepi dan lenggang. Di beberapa pojok jalan berpapasan dengan pemuda-pemuda tukang ojek dengan wajah gembira menawarkan jasa ojek kepada orang yang lalu lalang disekitar situ. Sekalipun beberapa ruas jalan masih dipersempit, namun kami menemukan banyak pengguna jalan sudah memberanikan diri melewati wilayah-wilayah perbatasan, seperti Galunggung (Muslim) dan Galala (Kristen).
     Dengan hati gembira kami memutuskan untuk mengunjungi wilayah Mardika Bawah/Halong Mardika yang terbakar sehari sebelumnya. Kegembiraan kami berangsur sirna ketika tiba di wilayah itu dan melihat sebuah rumah mulai terbakar di hadapan pemiliknya, sementara disekitarnya terlihat puluhan aparat Raiders 733 Kodam Pattimura berseliweran tanpa melakukan apapun. Anak-anak yang “dianggap” (oleh warga Mardika) membakar rumah itu terlihat memasuki rumah untuk (sekedar) memadamkannya dengan menggunakan air pada gayung-gayung kecil. Warga Mardika serta pemilik rumah hanya menonton sambil memaki-maki mereka, karena aparat tak memberi kesempatan bagi mereka untuk mengamankan rumah itu, atau melakukan pemadaman sendiri. Api terlanjur membesar dan tak ada tindakan apapun dari puluhan aparat yang menonton. Barulah 1,5 jam kemudian, datang sebuah mobil pemadam kebakaran dan menyiram sisa-sisa bara api yang masih menyala. Di jalan raya, kami temukan banyak barang peralatan rumah tangga yang diletakan oleh keluarga-keluarga disekitar wilayah situ, dalam persiapan mereka untuk mengungsi ke lain tempat. Menurut kami, sikap aparat yang demikian akan berakibat pada pelanggengan emosi yang sewaktu-waktu dapat menyulut konflik. Syukurlah bahwa disaat kejadian itu berlangsung, banyak pengendara kendaraan tetap tenang melewati daerah itu, tanpa diganggu oleh masyarakat korban yang sedang menonton rumahnya terbakar. Kesadaran masyarakat untuk tidak memperbesar konflik patut diacungkan jempol.  
Sambil dipenuhi kemarahan karena melihat ulah aparat, kami meninggalkan daerah itu menuju perbatasan Batu Merah-Mardika. Disana kami memperhatikan kendaraan-kendaraan yang mulai melewati perbatasan, dan juga mengamati ekspresi penumpang kendaraan serta masyarakat sekitarnya. Merebak harapan bagi berkembangnya damai, ketika kami melihat bahwa dengan senyum tersungging banyak pengguna jalan melewati daerah itu, sekalipun kami tahu bahwa tentunya mereka menyimpan ketegangan di dalam hati. Dari pertigaan Batu Merah-Mardika kami menyusuri wilayah Belakang Soya, dan mampir sebentar untuk menjenguk para pengungsi yang menempati kantor SKB serta kantor DPR Kota Ambon yg terletak di wilayah itu. Hujan semakin deras ketika kami kembali ke kantor pada jam 12.00am. Di dalam hati kami berharap hujan turun deras hari ini, supaya kemungkinan-kemungkinan gerakan masa konflik bisa diredam.   
Sekembalinya kami ke kantor, catatan berbagai issue liar sudah menunggu untuk diklarifikasi. Tentunya ini hal yang menyenangkan, karena membuktikan bahwa teman-teman aktivis perdamaian bekerja semakin intens untuk melakukan klarifikasi issue-issue liar dan provokatif lintas wilayah. Teman-teman telah bersepakat untuk mengimbangi kecepatan penyebaran issue-issue provokatif, dengan cara memperluas “provokasi perdamaian” melalui jaringan pertemanan lintas agama. Melakukan klarifikasi issue-issue merupakan salah satu agenda yang secara intens dilakukan.   
Sekitar jam 2pm kami menerima telpon menggembirakan, yang menginformasikan adanya perjumpaan teman-teman KNPI Daerah Maluku di salah satu warung kopi. Pertemuan ini berujung pada kesepakatan untuk mengembangkan intensitas perjumpaan-perjumpaan di ruang publik. Sayangnya kami tak bisa menghadiri pertemuan ini, karena kami telah bersepakat melakukan pertemuan “provokasi perdamaian” lintas iman dengan teman-teman lainnya. Pada sore harinya sebuah berita gembira lainnya diterima, bahwa pada hari itu/Selasa, 13/09/2011, di Pulau Saparua, tepatnya di Negeri Siri Sori Salam/Islam, telah dilakukan Rapat Saniri Latupati/”Raja-raja adat” bersama muspika dan tokoh-tokoh agama untuk menyikapi konflik di Ambon, dan memperkuat koordinasi pengamanan Pulau Saparua. Selain perjumpaan pemuka adat & agama di Pulau Saparua, intensitas perjumpaan warga masyarakat lintas agama nampak semakin berkembang di kota Ambon. Di salah satu pusat perbelanjaan yang terletak di wilayah Urimesing, terlihat beberapa warga pemeluk agama lainnya berbelanja dengan tenang sambil, diantaranya, menggendong anak balitanya. Pemandangan serupa terlihat di restaurant cepat saji, KFC, yang berlokasi di wilayah yang sama. Beberapa pemuda lintas agama dengan santainya makan bersama sambil bercanda.   
Pada jam 8pm, kembali kami memperoleh kiriman sms untuk menganalisa dan mengklarifikasi beberapa issue yang memicu ketegangan masyarakat di beberapa wilayah. Diantaranya, issue bahwa rombongan FPI telah tiba di Ambon dan merencanakan serangan fajar ke wilayah Waringin, gereja Silo, Ahuru dan Aster. Memperoleh informasi itu, teman-teman Muslim segera menyebar untuk mengklarifikasinya. Ternyata semua issue itu tak benar, dan karenanya diinformasikan kembali kepada komunitas Kristen di wilayah-wilayah tersebut. Tidak saja menyampaikan informasi, teman-teman bahkan berupaya menghubungkan Ibu pendeta jemaat GPM di wilayah Ahuru dengan teman Muslim di wilayah yang sama. Dengan begitu, mereka diharapkan dapat saling mengklarifikasi berkembangnya issue secara langsung melalui hubungan telpon. Selain issue Ahuru, diperoleh kabar juga bahwa Negeri Galala akan diserang oleh komunitas Muslim dari wilayah Aster. Banyak warga Galala segera berkemas untuk mengungsi. Ternyata issue ini tak benar, setelah diteliti oleh teman-teman Muslim. Lucunya, issue itu berkembang setelah terjadinya insiden bentrokan suami-isteri satu keluarga Kristen di wilayah Aster, diakibatkan sang suami mabuk berat. Suami yang mabuk itu kemudian mengacau dan menimbulkan kepanikan warga sekitar. Di dalam kepanikan itu, beberapa orang lalu memukul tiang listrik, yang sekaligus mendistribusikan kepanikan itu kepada warga Galala. Masih pada malam yang sama beredar issue bahwa pasukan batalion Siliwangi telah tiba di Ambon pada hari itu. Informasi yang nyatanya keliru,setelah dilakukan uji ulang. Masih banyak sekali issue yang berkembang pada malam itu, dan sebagian besar diantaranya berhasil diklarifikasi melalui jejaring persahabatan lintas batas, yang berjuang keras memprovokasi perdamaian.   
Bersama dingin subuh kami tiba di rumah, setelah melewati jalanan-jalanan lenggang yang dipenuhi aparat keamanan, sepanjang ruas jalan raya Pattimura menuju daerah Batu Gantung. Beberapa mobil panser TNI berdiri angkuh memalang jalan, sementara para prajurit TNI bersenjata lengkap berjaga-jaga disekitarnya. Sisa malam itu kami lewati dengan pulas untuk menghimpun tenaga bagi pekerjaan lanjutan keesokan harinya.  
Jam menunjukan pukul 10am, Rabu 14/09/11, ketika kami terbangun dan mendapati arus kendaraan telah ramai di daerah Batu Gantung. Meskipun jalanan raya memasuki daerah Waihaong masih diblokir aparat TNI, namun kami memberanikan diri untuk melewatinya dalam perjalanan menuju ke jalan raya Pattimura. Sepanjang jalan di wilayah Waihaong, kami menyaksikan warga masyarakat Muslim telah beraktifitas dengan ramai. Jalur dua arah yang baru dibuka sebagai akibat dari konflik, cukup disesaki oleh aktifitas masyarakat pagi itu. Beberapa teman Muslim yang kami jumpai dalam perjalanan itu menyapa kami dengan ramah. Sesekali kami berhenti untuk bercakap-cakap sebentar dengan mereka. Tidak terasa adanya ketegangan berlebihan disitu, bila mengingat wilayah itu merupakan tempat tinggal pengemudi ojek yang meninggal, dimana kematiannya kemudian memicu terjadinya konflik antar masyarakat. Di depan Masjid Jami’e kami menyaksikan banyak pengungsi menempati beranda masjid. Suatu fakta yang dengan jelas menginformasikan bahwa konflik “antar pemeluk agama” telah mengakibatkan kesusahan yang amat sangat bagi kedua komunitas. Tentu tak ada yang akan pernah memenangkan konflik ini, karenanya hanya tersedia satu opsi untuk diambil masyarakat, DAMAI! Syukurlah bahwa, dalam pantauan kami, mayoritas warga masyarakat menginginkannya. Konflik sebelumnya pada tahun 1999-2004 menyisakan trauma dan kengerian yang cukup panjang, bagi siapapun yang mengalaminya. Karena itu hampir seluruh warga masyarakat secara antusias mendukung, dan bahkan terlibat dalam upaya-upaya damai, sekalipun dengan kapasitas dan bentuk yang berbeda-beda. Kecuali tentunya kelompok-kelompok kecil yang berupaya mengambil keuntungan dari merebaknya konflik baru.
Pada jam 12am sampai jam 3pm, bersama beberapa sahabat lintas iman, kami menjumpai beberapa teman yang baru tiba dari Jakarta untuk kepentingan investigasi. Rupanya konflik Ambon masih menjadi magnet kuat bagi banyak teman dari luar, untuk datang dan mengamatinya dari dekat, seraya berupaya memberikan kontribusi pemikiran terkait langkah-langkah penghentian kekerasan dan upaya-upaya membangun perdamaian. Dalam percakapan bersama di dua hotel terpisah, kami melakukan pemetaan aktor lokal dan jaringannya, yang diduga kuat turut memperkeruh situasi konflik. Tanpa rasa sungkan, baik teman Muslim maupun Kristen, mengemukakan aktor-aktor lokal yang ada di komunitas masing-masing secara terbuka. Begitu pula dianalisa peran-peran mereka, yang dianggap memprovokasi peningkatan eskalasi konflik. Percakapan kami kemudian berkembang lebih luas untuk mengkaji fenomena radikalisasi, serta sebaran kelompok-kelompok radikal pada komunitas-komunitas agama di Ambon.   
Sementara berlangsungnya percakapan, saya harus meninggalkan teman-teman untuk mengantarkan dua teman warga negara asing, yang akan berangkat ke Masohi dengan menumpangi kapal cepat dari pelabuhan Mamokeng di Negeri Tulehu. Bergegas saya menyewa taksi di pangkalan taksi sekitar Ambon Plaza untuk menjemput kedua teman ini di hotel yang terletak di “pemukiman Kristen.” Pengemudi taksi berasal dari negeri Tulehu, dan karenanya percakapan diantara kami menjadi menarik, terkait pandangannya dan pandangan masyarakat Tulehu terhadap berkembangnya konflik baru ini. Masyarakat Tulehu merupakan salah satu komunitas Muslim besar di Jazirah Salahutu, Pulau Ambon. Di negeri ini terletak pelabuhan besar antar pulau, yang melayani penyeberangan antar pulau dari Ambon ke pulau Seram, Nusalaut, Saparua dan Haruku. Sebagian besar komunitas dari pulau-pulau ini dihuni oleh warga beragama Kristen. Mereka sangat bergantung pada pelabuhan Tulehu sebagai tempat transit dalam perjalanan ke Kota Ambon. Selama konflik lalu, pelabuhan ini tertutup dalam jangka waktu lama, karena Jazirah Salahutu termasuk area sebaran konflik. Belajar dari pengalaman itu, maka sejak hari pertama konflik, pertemuan negeri-negeri di Salahutu telah dilakukan. Salah satu keputusannya adalah memberikan jaminan keamanan sepenuhnya bagi semua pengguna jasa pelabuhan, apapun perbedaan agamanya. Karenanya tak heran bahwa sepanjang perjalanan ke Tulehu, bung pengemudi taksi dengan bangga bercerita panjang lebar tentang ketahanan masyarakat negeri Tulehu, untuk tidak terpancing provokasi-provokasi liar yang bisa memicu konflik disana. Halmana terbukti setibanya kami disana. Para buruh pikul, serta penjaja makanan kecil, dengan ramah menawarkan jasanya bagi kami. Mereka bahkan menemani kami membeli ticket kapal untuk kedua teman saya. Setelah kedua teman ini memperoleh tempatnya di kapal, segera saya bergegas kembali ke Ambon dengan menumpangi mobil yang sama, sambil menikmati celotehan ramah pengemudi taksi ini tentang kekecewaan-kekecewaannya terhadap merebaknya konflik baru, serta harapannya pada penyelesaian konflik ini secepatnya.   
Setibanya di Ambon, segera saya bergabung kembali dengan rekan-rekan yang telah menyelesaikan percakapannya dengan rekan peneliti dari Jakarta. Kami telah bersepakat untuk kembali melakukan pertemuan “provokasi damai” di wilayah lain hari itu; dan tempat yang kami pilih adalah warung ikan bakar yang berderet sepanjang daerah sekitar Ambon Plaza. Disana saya temukan beberapa teman wartawan telah bergabung untuk mewawancarai kami, maupun untuk mengklarifikasi beberapa data yang mereka miliki. Percakapan lepas diselingi wawancara berlangsung santai, diselingi joke-joke khas Maluku yang membuat suasana semakin mengasyikan. Selain melanjutkan klarifikasi issue dan data-data lain, kami secara serius membicarakan model intervensi bagi beberapa wilayah pinggiran yang tidak terimbas konflik, namun yang memiliki tingkat ketegangan tinggi diantara masyarakatnya. Wilayah-wilayah itu antara lain di sekitar Poka, Rumah Tiga, Wayame dan Kota Jawa. Dirasa perlu untuk melakukan intervensi program di wilayah-wilayah ini, dengan mempertimbangkan percampuran masyarakat lintas agama yang tinggal disitu. Akhirnya kami tiba pada kesepakatan untuk membuat design program dalam waktu beberapa hari ke depan, serta mengupayakan pembiayaannya. Lembaga Antar Iman Maluku (LAIM) diharapkan membuat design intervensinya dengan didukung oleh teman-teman lainnya.   
Selepas makan bersama, kami memutuskan untuk melanjutkan percakapan di kantor Litbang GPM, dengan mengajak lebih banyak teman lainnya. Beberapa teman telah lebih dahulu menunggu disana ketika kami tiba. Percakapan dimulai setelah kami menonton display foto-foto suasana konflik pada beberapa wilayah di Kota Ambon. Kumpulan foto-foto ini diperoleh dari teman-teman lintas agama, yang mengabadikan setiap peristiwa konflik dari sudut-sudut pengambilan gambar yang berbeda. Dengan begitu kami memperoleh gambaran yang cukup utuh, baik dari sudut pandang wilayah Muslim maupun Kristen, disaat terjadinya benturan masa sejak konflik pada hari Minggu lalu. Berdasarkan kajian foto kami melakukan analisa lanjutan dan berbagi pengalaman bersama tentang peristiwa demi peristiwa pada komunitas kami masing-masing. Tak terkesan ada informasi yang disembunyikan. Semua rekan mengemukakan versi ceritanya terhadap peristiwa yang sama dari sudut pandang yang berbeda.   
Beberapa orang diantara sahabat-sahabat Kristen kami yang hadir dalam percakapan dimaksud, adalah mereka yang juga korban pembakaran rumah, dan yang saat ini turut mengungsi bersama keluarganya. Menariknya, tak terkesan sedikitpun dendam atau kemarahan berlebihan yang mendistorsi jalannya percakapan kami; bahkan teman-teman yang menjadi korban ini turut memberikan sumbangan pemikiran, dan ide-ide konstruktif untuk mengembangkan dialog dan perdamaian. Sementara itu teman-teman Muslim dengan gamblang mengemukakan analisa-analisanya, sambil saling melengkapi detail data dengan teman-teman Kristen. Sesekali percakapan kami terpotong dengan telpon atau SMS yang meminta klarifikasi terhadap issue-issue yang berkembang. Salah satu issue yang sempat kami klarifikasi malam ini adalah beredarnya informasi di kalangan warga Kristen daerah Talake, bahwa salah seorang pengendara sepeda motor beragama Kristen yang mencoba melintasi wilayah Waihaong, kemudian terjatuh dan dibantai disana oleh komunitas Muslim Waihaong. Segera setelah menerima SMS itu, teman-teman Muslim melakukan klarifikasi ke Waihaong dan memperoleh informasi  bertentangan. Menurut teman-teman di Waihaong, adalah benar bahwa ada seorang pengendara motor yang terjatuh disitu, namun ia diselamatkan segra oleh aparat keamanan yang bertugas disitu. Selanjutnya ia diantar pulang tanpa bersentuhan dengan satupun warga Muslim Waihaong. Informasi ini kemudian diteruskan kembali kepada komunitas warga Kristen Talake, dan mereka menerimanya dengan sukacita.
Percakapan berlangsung terus dengan penuh semangat tentang berbagai peristiwa yang terjadi. Rekan-rekan Muslim dengan gamblang bercerita bagaimana mereka berhasil mengidentifikasi dan menemukan salah seorang pemuda Muslim yang melakukan provokasi di media sosial FB. Sementara itu teman-teman Kristen mengemukakan kecurigaan mereka terhadap beberapa pemuda Kristen yang disinyalir turut memprovokasi masyarakat untuk berkonflik. Berdasarkan percakapan yang terjadi, kami menyepakati untuk merevisi struktur tabel pendataan kronologis kejadian, dimana setiap rekan diminta mengisinya dari hari ke hari. Dengan begitu kami bisa dilengkapi dengan sejumlah data yang cukup otentik, untuk melakukan analisa lanjutan secara bersama.   
Selain mendiskusikan format pendataan, kami membicarakan juga pengembangan dinamika berbagai kelompok yang teridentifikasi melakukan upaya-upaya “provokasi perdamaian.” Bila memungkinkan, kami merencankan untuk menganyam kelompok-kelompok ini melalui beberapa kegiatan; namun salah satu persoalan yang kemudian muncul adalah bagaimana kami membiayai proses-proses bersama ini, apabila kegiatan-kegiatan ini memiliki konsekwensi pembiayaan. Sejauh ini, semua kami bekerja secara sukarela berdasarkan idealisme dan keterpanggilan setiap teman untuk membangun perdamaian. Menyadari tantangan ini, teman-teman lalu menyepakati bahwa kami perlu membatasi diri dulu, dengan melakukan kegiatan-kegiatan yang tidak memiliki konsekwensi pembiayaan. Dengan begitu intensitasnya bisa terjaga tanpa harus menggantungkan diri pada pembiayaan. Diakhir percakapan malam ini, kami meminta salah satu teman peneliti, yang datang dari Salatiga, untuk melakukan sedikit pembedahan terhadap dinamika dialog lintas agama, serta pemetaan ideologi kelompok-kelompok konservatif agama. Percakapan pada sesi terakhir ini menarik karena teman peneliti (yang sedang melakukan penelitian tentang konflik Maluku bagi disertasi doktornya) ini mengemukakan beberapa hasil penelitiannya, yang diantaranya memperhadapkan kami dengan fakta, bahwa kapasitas dialog dan apresiasi lintas agama di Maluku masih berada pada level yang rendah. Banyak orang bisa dengan gamblang memperlihatkan sikap toleran, dan respek yang tinggi terhadap kemajemukan agama, bilaman ia hadir dalam ruang publik. Sebaliknya ketika ia kembali ke ruang private, ia menjadi orang-orang yang sangat konservatif dan intoleran. Suatu fakta yang tentunya menarik, dan menjadi tantangan bersama, bagi teman-teman yang sungguh-sungguh bekerja bagi perdamaian dan dialog lintas agama di Maluku saat ini. Dalam percakapan ini kami juga secara gamblang mengulas fenomena berkembangnya radikalisasi agama di Ambon dan sekitarnya diantara kelompok-kelompok anak muda. Hal yang sangat menantang tentunya untuk disikapi.   
        Percakapan hangat kami malam itu terputus dengan ketukan pintu yang terdengar beberapa kali. Ternyata setelah dibuka, kami menemukan Wakil Walikota/wawali Ambon dan beberapa temannya telah berdiri disitu. Mereka kami persilahkan masuk dan bergabung dalam percakapan bersama, sehingga kami bisa juga mengetahui sikap dan strategi pemerintah Kota Ambon untuk menangani konflik ini. Percakapan bersama wawali dan teman-temannya berlangsung lebih kurang 45 menit sebelum mereka meninggalkan ruang. Kami menyepakati untuk melakukan tanggung jawab kami masing-masing dan bersinergi untuk meningkatkan dinamika perdamaian di Kota Ambon. Satu hal yang digaransi wawali malam ini, bahwa ia telah mencoba “mengunci” pemain-pemain lokal lama konflik Maluku, untuk tidak melibatkan diri dalam dinamika konflik saat ini; namun yang dikhawatirkan bilamana kelompok-kelompok dari luar Maluku berdatangan ke Ambon, dan kembali meningkatkan militansi konflik. Terhadap kekhawatiran itu, pemerintah kota telah mengambil sikap untuk melaklukan razia identitas secara ketat terhadap semua pendatang yang memasuki Ambon saat ini. Tentunya kami berharap langkah ini bisa membuahkan hasil yang baik untuk mereduksi dinamika konflik, dan mengembangkan dinamika damai secara maksimal. Sebelum meninggalkan ruang, kami bersepakat untuk meningkatkan koordinasi bersama terkait  upaya-upaya damai yang dilakukan pihak pemerintah Kota Ambon.  
Seluruh percakapan diselesaikan sekitar jam 11pm, sebelum teman-teman Muslim kembali ke rumah masing-masing. Sementara teman-teman Kristen memutuskan untuk begadang semalaman dan mengisi tabel kronologis, atau juga melakukan “provokasi damai” secara online. Saat update berita ini diselesaikan pada jam 7am, 15/09/11, beberapa teman sudah tergeletak tidur beralaskan bangku, atau bahkan melonjorkan badan di lantai seadanya. Kasur mereka adalah mimpi indah tentang merebaknya perdamaian yang langgeng bagi Ambon dan Maluku.   
Apa yang kami lakukan secara strategis sesungguhnya merupakan hal sangat sederhana yang kerap dilupakan banyak orang. “Provokasi Perdamaian” dilakukan dengan memanfaatkan “jaringan pertemanan” yang digandakan, dan diperbesar lingkarannya dari hari ke hari. Pertemanan individu digandakan dengan harapan terjadinya pertemanan kelompok. Kami menyadari bahwa pertemanan yang tulus tak membutuhkan banyak duit. Begitu pula tak diikat oleh agenda-agenda politik, atau bertujuan mencari keuntungan-keuntungan tertentu dibalik setiap kegiatan bersama. Militansi pertemanan menjadi semakin kokoh, ketika disadari bersama bahwa di dalam membangun relasi pertemanan setiap orang harus saling menyelamatkan. Konflik adalah tantangan besar yang akan menghancurkan pertemanan kami, bilamana tak dikelola dengan baik. Dengan sendirinya mengelola konflik secara strategis, merupakan upaya saling menjaga diantara teman, demi keselamatan bersama ke depan. Begitulah yang kami lakukan dengan sadar, sambil berharap dengan sungguh-sungguh, bahwa upaya-upaya kecil ini bisa mentransformasikan energi negatif konflik menjadi energi positif damai. Semoga teman-teman tetap bertahan untuk mengelola hal-hal kecil ini dengan konsisten dalam suatu proses panjang, sambil memanen sukacita moral disaat jalan damai mulai teretas.
Jacky Manuputty 

0 comments:



Lindungi Danau Kita dengan Menjaga Hutan Kita. Jangan biarkan ini terjadi!

http://www.wepa-db.net/pdf/0712forum/presentation26.pdf

Popular Posts