Kasus Kameya dan Pinawelaan: Mempermalukan budaya Minahasa?
Oleh: Ray Maleke
Pembongkaran sebuah pondok di Kameya dan pemandian Pinawelaan, Tomohon, oleh masyarakat, pemerintah desa, dan aparat keamanan setempat, telah menjadi pemberitaan hangat di media dan topik diskusi yang panas di berbagai komunitas online tou Minahasa.
Terkait dengan itu, beberapa hari ini sejumlah pemerhati budaya Minahasa telah mengeluarkan uneg-unegnya tentang “perusakan dua situs budaya” itu. Ada yang menyalahkan agama, aparat, dan ketidak-cintaan orang Minahasa terhadap budayanya.
Pertanyaan yang mengemuka, pantaskah Kameya dan Pinawelaan menjadi ukuran kecintaan dan penghargaan tou Minahasa terhadap nilai-nilai dan peninggalan-peninggalan budayanya?
Kameya dan Pinawelaan mempunyai kisah penting yang perlu diingat, tidak hanya bagi Tombulu, tetapi sekarang bagi Minahasa, namun ingatan itu sekarang tak dapat tidak akan juga membangkitkan memori yang disayangkan.
Bahwa kedua tempat itu disebut “situs budaya” Minahasa oleh pecinta dan pemerhati budaya, bahwa yang berperan ditempat itu pastinya disebut tona'as, bahwa yang telah sempat digembleng di sana adalah anak-anak Minahasa, memang memberi rasa budaya yang pahit.
Karena jika pun dihancur-ratakan watu Kameya dan ranopaso Pinawelaan itu, sekalian dengan semua situs budaya yang ada di Minahasa, namun jika kita masih bisa mengingat bahwa dari situ generasi muda Minahasa telah mengerti jati diri Minahasa yang sebenarnya, dan hidup menjaga kehormatan dan nama baik tanah kinatouannya, maka kita tak perlu menangis.
Namun kita perlu menangis saat ini karena bukan “situs budaya” yang diruntuhkan di Kameya dan Pinawelaan, tetapi kehormatan budaya Minahasa.
Rere'retan (ikat pinggang merah) dan lelele'an (pemandian) adalah hal yang lumrah dalam budaya Minahasa, tapi itu bukan sekedar pembangkit rasa percaya diri atau pengingat tanah kelahiran. Di dalamnya ada filosofi luhur Minahasa. Memangku tanda-tanda ke-Minahasa-an datang dengan tanggung jawab dan pantangan-pantangan, dan bukan untuk seseorang bertindak sembruno, angkuh dan dengan beringas ingin menumpahkan darah orang lain. Apa lagi melawan orang tua yang merupakan tindakan yang sangat tidak patut dalam budaya Minahasa.
Siapapun yang bertanggung jawab di Kameya dan Pinawelaan sampai telah menyebabkan anti-pati masyarakat terhadap budayanya sendiri, budaya Minahasa, ia (atau mereka) antara tidak mengerti ritual Minahasa, atau ia (mereka) sedang menggunakan ritual yang bukan Minahasa, dan itu berarti dari aliran sesat yang memakai tameng budaya Minahasa.
Prinsip Sigha'
Untuk menjaga hal ini tou Minahasa harus selalu mengutamakan prinsip sigha' (pintar, tahu, capable).
Jangan dengan mudah dibingungkan dengan ungkapan-ungkapan yang hendak memecah belah masyarakat Minahasa, terlebih lagi jangan membiarkan situs-situs budaya dikooptasi menjadi situs kultis aliran-aliran sesat yang hendak memakai budaya sebagai tameng, dan menaruh resiko penyalah-gunaan bahkan penghancuran peninggalan-peninggalan budaya Minahasa itu.
Tou Minahasa, baik Kristen atau bukan, mencintai dan menghargai budayanya, peninggalan-peninggalan budayanya, dan para leluhurnya, jadi jangan biarkan oknum-oknum tertentu mempolitisir budaya dan identitas Minahasa untuk diperhadap-hadapkan dengan agama Kristen yang sudah menjadi bagian dari identitas Minahasa itu sendiri.
Dengan kejadian ini, warga gereja dan warga masyarakat umumnya harus mewaspadai dan menjaga agar situs-situs budaya yang dihormati dan dihargai oleh bangsa Minahasa tidak disusupi oleh gerakan-gerakan kultis dan memanfaatkannya untuk menciptakan keresahan di tengah-tengah masyarakat.
Kameya dan Pinawelaan dapat menjadi ukuran kecintaan dan penghargaan tou Minahasa terhadap nilai-nilai dan peninggalan-peninggalan budayanya, jikalau kita tidak membiarkan hal serupa ini terjadi lagi di tanah Minahasa. Sighi' wangko'.
0 comments:
Post a Comment