Demokrasi, Harga Diri Minahasa
Oleh: Freddy Roeroe
DUABELAS tahun lalu, tepatnya tahun 1998, Yahya Polii (54), unggul satu suara dalam pemilihan kepala desa Kakaskasen I di Kecamatan Tomohon, Kabupaten Minahasa, Sulawesi Utara, tanggal 15 Mei 1998. Yahya meraih 751 suara, rivalnya Ny Elisabeth Polii-Kaunang 750 suara. Seusai pemilihan, rakyat kedua kubu berpesta dan berdansa bersama diiringi musik bambu milik desa itu. Memang sempat ada protes kecil, tetapi akhirnya bisa diselesaikan.
Warga juga menyambut hangat saat kedua idolanya berjabat tangan, tanda menerima hasil pemilihan. Sedikit pun tidak menyisakan dendam dan amarah, juga yang kalah tidak punya rencana untuk menaikkan jumlah suara agar ganti memenangkan pemilihan, atau berencana menurunkan suara peraih suara terbanyak agar yang menang menjadi kalah. Semua sudah berakir, yang tersisa ialah bagaimana bersama-sama membangun desanya.
Penduduk kedua kubu ramai-ramai mengatakan, "Torang so punya pemimpin baru. Torang mo dukung pa dia sampe klaar (sampai selesai masa jabatan). Kematangan orang desa untuk mengakui dan menerima hasil akhir pemilihan pemimpinnya bisa jadi contoh tegaknya sebuah demokrasi.
Kita sering terpukau dan memuja teori-teori demokrasi barat, tetapi kita lupa model seperti itu sebetulnya sudah berakar kuat di beberapa daerah di Indonesia. Persoalannya, sanggupkah kita menyelenggarakan pemilu yang jujur dan adil serta transparan seperti yang terjadi di pedesaan.
***
SOSIOLOG dan Teolog Dr Richard AD Siwu, Rektor dan Dosen Universitas Kristen Tomohon mengatakan, tradisi demokrasi di Minahasa sudah seusia tanah Minahasa. "Tepat jika para pengamat menyimpulkan demokrasi adalah kebudayaan di Minahasa," ujar Siwu.
Banyak contoh tentang proses demokrasi di Minahasa, salah satu yang paling aktual ketika berlangsung pemilihan Bupati/Kepala Daerah Minahasa awal 1998 lalu. Ketika itu tampil tiga calon yang berposisi dan berpeluang sama. Mereka itu, Drs KL Senduk (Bupati periode 1993-1998), Drs AJ Sondakh (Anggota MPR/Dosen Unsrat, kini almarhum) dan Drs Dolfie Tanor, yang akhirnya menjadi Bupati Minahasa terpilih (juga telah almarhum. Hasil pemilihan di Dewan Januari 1998, Dolfi Tanor (21 suara), AJ Sondakh (20) dan KL Senduk (4).
Theo L Sambuaga yang ketika itu Ketua F-KP di DPR RI saat dimintai bantuan kelompok yang memenangkan 20 suara hasil pemilihan Bupati Minahasa agar melobi Depdagri mengatakan, puas atau tidak, rakyat sudah menentukan pilihannya (people had vote). "Satu suara cukup bagi Tanor untuk memimpin Minahasa," ujar Theo ketika itu.
***
KENTALNYA orang berdemokrasi di Tanah Minahasa juga bisa dilihat pada hasil pengambilan suara di DPR Minahasa awal 1960-an dalam menentukan kota mana, Tomohon atau Tondano yang layak menjadi ibu kota kabupaten setelah Manado menjadi kota otonom yang berdiri sendiri. Tomohon memperoleh 12 suara dan Tondano 13 suara yang akhirnya menjadi ibu kota Minahasa.
Minahasa juga tercatat pertama kali menyelenggarakan pemilihan umum, jauh sebelum pemilu pertama di Indonesia pada tahun 1955, Rakyat Minahasa sudah melaksanakan pemilu pada tahun 1920-an untuk memilih wakil-wakil rakyat yang duduk di Dewan Minahasa (Minahasa Raad). Ketika itu, tampil sebagai Ketua Dewan Minahasa Dr GSSJ Ratulangi.
***
MINAHASA memang tidak pernah mengenal sistem kerajaan. Oleh karena itu, sejak era para leluhurnya, orang Minahasa tidak pernah mengenal pemimpin yang didrop atau ditetapkan dari atas. Orang Minahasa selalu memilih sendiri pemimpinnya lewat proses demokrasi.
Seorang pengamat social politik dari Universitas Negeri Manado (UNIMA) mengatakan, demokrasi sudah menyatu dan menjadi bayangan hidup dari setiap insan Minahasa. Itu bisa dilihat dalam praktik hidup setiap keluarga Minahasa yang menghormati asas egaliter - tidak ada perbedaan hak warisan si sulung dan bungsu, anak laki-laki dan perempuan sama saja.
Menurut Richard AD Siwu, Minahasa egaliter karena daerah ini tidak banyak dipengaruhi sistem Kerajaan Hindu atau kesultanan. Sifat egaliter - demokratis rakyat bertumpu pada budaya graris.
***
DALAM keseharian petani Minahasa sering memunculkan ungkapan masuat peleng (semua kita sama) dan itu tercermin dalam pemilihan kepala desa atau para tonaas (pemimpin masyarakat). Biasanya yang terpilih mereka yang rajin, fisik dan kesehatannya tidak diragukan, bermoral tinggi,
keluarga dan anak-anaknya bisa dicontoh. Sampai sekarang sistem ini masih hidup dan berlaku di desa-desa Minahasa.
Max Willar, tokoh Angkatan 66, salah satu mantan pemimpin Kesatuan Aksi Pemuda Pelajar (KAPPI) Minahasa berpendapat, demokratisasi seyogianya diacukan pada proses kognitif yang mengartikulasikan hati nurani secara bebas tanpa tekanan. Melalui proses itulah dibangun kecerdasan mental untuk saling menerima dan mengakui terhadap kepatutan politik yang tercermin lewat akumulasi hasil akhir suatu proses politik.
Paham demokratisasi laksana hendak mengenal suatu piramida politik yang disebut prinsip winner takes all maupun sistem pembagian kekuasaan secara proporsional. Contohnya dalam kultrul Minahasa -warga saling menerima dan mengakui hasil akhir dalam praktik pemilihan kepala desa.
Kini, setiap orang Minahasa dan Sulawesi Utara tengah menunggu apa hasil akhir pemilihan Gubernur Sulawesi Utara yang sementara berproses dalam tahapan penghitungan formal di Komisi Pemilihan Umum (KPU) secara berjenjang, mulai dari TPS – PPK – KPUD Kabupten/Kota dan KPU Sulut yang pemilihannya sudah berlangsung tanggal 3 gustus 2010 lalu.
Dalam mata telanjang dan hasil perolehan yang terungkap dalam berbagai laporan media massa, serta prediksi-prediksi hasil survey dari sejumlah lembaga survey kredibel, pasangan SHS – DK diunggulkan menang satu putaran. Jika kondisi seperti ini terjadi di Negara Negara yang menganut paham demokrasi modern dan juga apabila kondisi ini terjadi di masa para leluhur Minahasa, pengakuan dari pihak yang kalah sudah diberikan secara langsung lewat ucapan selamat dan pemberian dukungan. Tetapi, di Sulut tampaknya semua masih harus bersabar menunggu perhitungan final dan pengumuman resmi KPU.
Hingga kini hasil demokrasi Pilgub 3 Agusatus 2010 itu masih berproses, meskipun hasil analisis quick qount dari dua lembaga survey ternama telah memenangkan pasangan SHS – DK dengan jumlah suara terbanyak, hampir 32 persen dari total pemilih yang menggunakan hak suaranya. Namun ada baiknya semua pihak yang terlibat dalam proses Pilgub mau belajar dari cara orang Minahasa berdemokrasi. Budaya demokrasi seperti itu, hendaknya terus dipelihara, jangan sebaliknya dirusak dengan politik uang ataupun praktek curang.
Mantan Hukum Tua Kakaskasen III Yahya Polii (sekarang usia 66 tahun)menyatakan prihatin dengan perkembangan demokrasi di daerah ini yang mulai melenceng. "Kekayaan dan nilai luhur yaitu demokrasi dari para leluhur ini hendaknya kita jaga," tutur Yahya Polii yang berbincang dengan penulis kemarin malam di rumahnya.
Semestinya generasi baru sekarang mau bahkan wajib memelihara warisan cara berdemokrasi para leluhur sebagai warisan yang bernilai tinggi. Semoga. (Tulisan ini pernah dimuat di Harian Kompas, Agustus 1998. Setelah melalui proses penyesuaian oleh penulisnya, tulisan ini dimuat kembali di harian Manado Post)
Sumber: Manado Post
http://www.manadopost.co.id/index.php?mib=berita.detail&id=72660
0 comments:
Post a Comment