DEMI MERAH PUTIH: Peran Waraney-Waraney Minahasa Dalam Mempertahankan Kemerdekaan RI
Oleh: Albert WS Kusen
Inilah Yang Sudah Kami Buat
John F Kennedy (JFK) pernah mengungkapkan ekspresinya sebagai presiden Amrik (AS) yang terkenal, “jangan tanyakan kepada negaramu apa yang sudah negara berikan kepadamu, tapi tanyakan kepada dirimu, apa yang sudah kamu buat untuk negaramu”. Suatu ungkapan yang memiliki makna yang strategis dalam kehidupan berbangsa dan bernegara; makna yang menggugah rasa cinta yang tinggi kepada tanah air. Suka atau pun tidak suka masih relevan untuk dikonstruksikan kembali sebagai wacana sejarah dan budaya politik untuk dijadikan sebagai cara hidup dalam praksis kekinian di era globalisasi.
Sebagaimana salah satu kegunaan kisah-kisah historis merupakan sumber motivasi dan inspirasi bagi siapa pun yang hidup pada masa kini, terutama kepada generasi muda bahwa ungkapan ekspresi JFK di atas bukanlah sesuatu yang tidak pernah dilakoni oleh anak-anak negeri kita, baik pada era perjuangan merebut kemerdekaan maupun pada era di mana eksistensi proklamasi kemerdekaan Republik Indonesia sebagai negara baru belum diakui di pentas politik dunia – internasional. Hal ini mendorong para pejuang kemerdekaan bersama generasi penerusnya kembali berjuang (militer dan diplomasi) dengan satu tekad mempertahankan kemerdekaan atau mati!
Bahwa berkenaan dengan legalitas kedirian Indonesia sebagai negara yang baru mengklaim kemerdekaannya secara internal mengalami keterpurukan diplomasi di pentas Perserikatan Bangsa-Bangsa (PBB), tidak dapat dipungkiri kolonial Belanda yang menganggap kawasan nusantara lainnya masih dalam genggemannya (penjajahan), dengan licik memanfaatkan pasca perang dunia II sebagai peluang; memboncengi tentara sekutu untuk kembali melanjutkan masa penjajahannya di bumi Indonesia. Para pejuang kemerdekaan yang telah dengan susah payah memperjuangkan kemerdekaan RI mengambil sikap politik untuk melanjutkan perjuangan yang secara historis ditunjukkan melalui beberapa peristiwa seperti 10 November di Surabaya, Bandung Lautan Api, Serangan Umum di Yogya, Peristiwa di Tanggerang dan tidak kalah pentingnya adalah Peristiwa Merah Putih 22 Januari di Gorontalo dan 14 Pebruari 1946 di ujung utara nusantara Manado. Bahwa melalui peristiwa-peristiwa ini, para kusumah bangsa sudah membumikan ungkapan ekspresi JFK di atas “…apa yang sudah kamu buat untuk negaramu”.
Catatan ini coba menyibak kisah perjuangan beberapa anak negeri yang pernah berbuat untuk bangsa dan negaranya, ketika mereka berkiprah mempertahankan eksistensi kemerdekaan RI dari tangan kolonial Belanda. Namun, dengan tidak berlebihan para tokoh yang akan diaktualisasikan melalui catatan ini adalah para patriot dari utara yang dahulu dikenal tanah malesung (Toar-Lumimuut) Minahasa. Urutan profile patriot yang akan disampaikan diurut berdasarkan abjad.
A. E. Kawilarang |
AEK pernah disorot pers ibukota pada tahun limapuluhan. Ketika itu secara mengejutkan Alex menangkap Menlu Roeslan Abdulgani di lapangan terbang Kemayoran dengan tuduhan korupsi. Roeslan ketika itu bersiap-siap untuk berangkat ke luar negeri. Belakangan Presiden Soekarno meminta Panglima Siliwangi ini membebaskan kembali Menlunya itu. Langkah Alex yang lain yang sulit dilupakan masyarakat politik pada era 50-an ialah ketika ia menempeleng Soeharto di Makassar. AEK marah karena selaku Panglima Wirabuana ia baru melaporkan kepada Presiden Soekarno bahwa keadaan di Makassar sudah aman.
Tetapi Soekarno menyodorkan radiogram yang baru diterimanya bahwa pasukan KNIL Belanda sudah menduduki Makassar. Ternyata pasukan yang harus mempertahankan kota Makassar yaitu Brigade Mataram telah melarikan diri ke lapangan udara Mandai. Maka tidaklah mengherankan bahwa Alex menjadi marah dan buru-buru kembali ke Makassar. Setibanya di lapangan udara ia langsung memarahi komandan Brigade Mataram Letkol Soeharto: "sirkus apa-apaan nih?" kata Kawilarang sambil menempeleng Soeharto.
Maka dapatlah dimengerti, akibat peristiwa tersebut, hingga saat Kawilarang meninggal, Soeharto tidak pernah berbicara dengan bekas atasannya itu. Penghargaan kepada A.E. Kawilarang secara resmi baru diberikan pada 1999 yang lalu, sewaktu Habibie berkuasa. Ia salah seorang perwira Angkatan 45 yang tergolong bersih dan tidak pernah mendukung rejim Soeharto. Menurut seorang tokoh pemuda 45 Des Alwi, AEK adalah seorang tentara asli yang jujur dan tidak main politik.
Kolonel (Purn.) Alex E Kawilarang, meninggal dunia di Rumah Sakit Cipto Mangunkusumo Jakarta. Selama Soeharto berkuasa berkali-kali Alex mendesak Pepabri untuk mengeritik Soeharto tetapi Pepabri yang sudah dikuasai para kaki tangan Soeharto tetap saja mendukung kebijakan "bapak pembangunan" ini. Sesepuh Kopassus ini meninggal dalam usia 80 tahun akibat komplikasi beberapa penyakit. Hingga Rabu malam, suasana di rumah duka, Jalan Situbondo No.8, Menteng, Jakarta Pusat, masih dipenuhi para pelayat. Beberapa pejabat yang tampak hadir di rumah duka antara lain: Danjen Kopassus Mayjen Syahrir MS; Mantan Gubernur DKI Ali Sadikin dan Menhub Agum Gumelar. Dari kalangan politisi nampak Ketua DPA Achmad Tirtosudiro, Arnold Baramuli, Sabam Sirait dan Des Alwi.
Yang menarik ialah kehadiran para mantan perwira pasukan Permesta yang sejak tengah malam berada di rumah duka. Sabam Sirait tokoh PDI Perjuangan menceriterakan kenangan menariknya bersama Almarhum. Sabam menuturkan bahwa waktu hari ulang tahun Kopassus, ketika Prabowo Subianto menjabat Danjen Kopassus saat itu lupa mengucapkan terima kasih kepada Alex. Padahal Prabowo sudah sempat memuji-muji perwira-perwira senior lainnya. Sabam yang mengingatkan Prabowo bahwa Kawilaranglah yang mendirikan KKAD atau RPKAD. Lalu Prabowo kembali naik mimbar dan mengucapkan terima kasih yang ditujukan kepada Alex. Tetapi, lanjut Sabam, Alex mengatakan padanya bahwa "saya tidak perlu ucapan terima kasih dari perwira-perwira rejim ini."
Desember lalu dalam suatu percakapan dengan Radio Nederland Kawilarang yang secara akrab biasanya disapa dengan Bung Lex, mengatakan: "Ketika Wiranto masih menjabat Panglima TNI saya pernah mengatakan, melihat sepak terjang TNI selama Orde Baru saya kira sebaiknya TNI dibubarkan saja. Tetapi Wiranto tidak bereaksi," kata Kawilarang. Perwira profesional ini beranggapan, yang paling tepat memimpin TNI saat ini adalah Agus Wijoyo. Ia selain professional juga tidak berpihak pada kelompok kelompok politik saat ini.
AEK sendiri pada 1958 pernah diangkat sebagai Panglima Besar Angkatan Perang Permesta ketika daerah-daerah bergolak memperjuangkan otonomi yang luas. Pada 1961, 30.000 tentara Permesta di Sulawesi Utara keluar dari hutan-hutan setelah Kawilarang melakukan perundingan dengan Abdul Haris Nasution yang ketika itu menjabat sebagai KSAD. Mereka sepakat untuk bersama-sama menghadapi kekuatan komunis di ulau Jawa. Tetapi belakangan Kawilarang kecewa pada Nasution yang tidak menepati janjinya. Sejumlah perwira Permesta ditahan dan yang lainnya diturunkan pangkat. Ribuan pasukan Permesta setiba mereka di pulau Jawa dilucuti dan dimasukkan ke kamp-kamp konsentrasi. Sebagian lagi dikirim ke perbatasan Kalimantan Utara dan berperang melawan tentara Inggris Ghurka. Diinformasikan oleh Sjahrir, 07-06-2000.
Daan Mogot |
Pada masa Pendudukan Jepang, Daan dilatih untuk menjadi Pasukan Tentara Pembela Tanah Air (PETA) angkatan pertama. Ada 50 orang yang diambil dari peserta latihan angkatan pertama itu untuk mengikuti pendidikan “guerilla warfare” di bawah pimpinan Kapten Yanagawa. Di antara mereka yang ikut latihan khusus itu adalah Daan Mogot, Kemal Idris, Zulkifli Lubis, Kusno Wibowo, Sabirin Mukhtar, Syatibi dan Effendi. Karena prestasinya, kemudian ia diangkat menjadi pelatih anggota PETA di Bali, kemudian dipindahkan di Jakarta. Semasa di Bali, ia mendapatkan dua sahabat sejati yaitu Kemal Idris dan Zulkifli Lubis.
Pada tahun 1945 ketika Republik Indonesia diproklamasikan tanggal 17 Agustus 1945, Daan Mogot menjadi salah seorang tokoh pemimpin Barisan Keamanan Rakyat (BKR) dan TKR (Tentara Keamanan Rakyat) dengan pangkat Mayor. Ini suatu keunikan pada masa itu, Mayor Daan Mogot baru berusia 16 tahun! Badan Keamanan Rakyat (BKR) yang dibentuk pada tanggal 23 Agustus 1945 mendirikan markasnya di Jalan Cilacap No. 5 untuk daerah Keresidenan Jakarta, empat hari sesudah pembentukannya. Moefreini Moe’min, seorang bekas syodancho dari Jakarta Daidan I ditunjuk sebagai pimpinannya.
Sejumlah perwira yang bergerak di situ adalah Singgih, Daan Yahya, Kemal Idris, Daan Mogot, Islam Salim, Jopie Bolang, Oetardjo, Sadikin, Darsono dan lain-lain. Ironisnya, sementara ia berjuang mempertahankan kemerdekaan Indonesia , ayahnya tewas dibunuh para perampok yang menganggap ”orang Manado” (orang Minahasa) sebagai londoh-londoh (antek-antek) Belanda. Daan bercita-cita tentang sebuah perguruan untuk mendidik para pemuda yang mau menjadi tentara, yang kemudian ternyata terlaksana, ialah didirikannya “militer akademi” (akademi militer) pada tanggal 18 November 1945 di Tangerang. Kemudian ia dilantik menjadi Direktur Militer Akademi Tangerang (MAT) pada waktu ia berusia 17 tahun. Sebenarnya di Yogyakarta juga berdiri Militer Akademi Yogya (MA Yogya) hampir bersamaan, yaitu tanggal 5 November 1945. Sebenarnya Ide pendirian Militer Akademi Tangerang itu datang dari empat orang: Daan Mogot, Kemal Idris, Daan Yahya dan Taswin.
Pada tahap awal ada 180 orang Calon Taruna pertama yang dilatih. Di antara mereka terdapat mahasiswa yang berasal dari Sekolah Kedokteran Ika Daigaku Jakarta. Sejumlah perwira dan bintara TKR yang menjadi pelatih/instruktur MAT antara lain Kapten Taswin, Kapten Tommy Prawirasuta, Kapten Rukman, Kapten Kemal Idris, Kapten Oscar (Otje) Mochtan, Kapten Jopie Bolang, Kapten Endjon Djajaroekmantara, Sersan Bahruddin, Sersan Sirodz. Di Resimen Tangerang Taswin bertugas di staf sedangkan Kemal Idris di pasukan.
Pada tanggal 24 Januari 1946 Mayor Daan Yahya menerima informasi bahwa pasukan NICA Belanda sudah menduduki Parung dan akan melakukan gerakan merebut depot senjata tentara Jepang di depot Lengkong (belakangan diketahui bahwa Parung baru diduduki NICA bulan Maret 1946). Tindakan-tindakan provokatif NICA Belanda itu akan mengancam kedudukan Resimen IV Tangerang dan Akademi Militer Tangerang secara serius. Sebab itu pihak Resimen IV Tangerang mengadakan tindakan pengamanan. Mayor Daan Yahya selaku Kepala Staf Resimen, segera memanggil Mayor Daan Mogot dan Mayor Wibowo, perwira penghubung yang diperbantukan kepada Resimen IV Tangerang. Tanggal 25 Januari 1946 lewat tengah hari sekitar pukul 14.00, setelah melapor kepada komandan Resimen IV Tangerang Letkol Singgih, berangkatlah pasukan TKR dibawah pimpinan Mayor Daan Mogot dengan berkekuatan 70 taruna MA Tangerang (MAT) dan delapan tentara Gurkha.
Selain taruna, dalam pasukan itu terdapat beberapa orang perwira yaitu Mayor Wibowo, Letnan Soebianto Djojohadikoesoemo dan Letnan Soetopo. Kedua Perwira Pertama ini adalah perwira polisi tentara (Corps Polisi Militer/CPM sekarang). Ini dilakukan untuk mendahului jangan sampai senjata Jepang yang sudah menyerah kepada sekutu diserahkan kepada KNIL-NICA Belanda yang waktu itu sudah sampai di Sukabumi menuju Jakarta. Setelah melalui perjalanan yang berat karena jalannya rusak dan penuh lubang-lubang perangkap tank, serta penuh barikade-barikade, pasukan TKR tersebut tiba di markas Jepang di Lengkong sekitar pukul 16.00. Pada jarak yang tidak seberapa jauh dari gerbang markas, truk diberhentikan dan pasukan TKR turun. Mereka memasuki markas tentara Jepang dalam formasi biasa.
Mayor Daan Mogot, Mayor Wibowo dan taruna Alex Sajoeti berjalan di muka dan mereka bertiga kemudian masuk ke kantor Kapten Abe. Pasukan Taruna MAT diserahkan kepada Letnan Soebianto dan Letnan Soetopo untuk menunggu di luar. Gerakan pertama ini berhasil dengan baik dan mengesankan pihak Jepang. Di dalam kantor markas Jepang ini Mayor Daan Mogot menjelaskan maksud kedatangannya. Akan tetapi Kapten Abe meminta waktu untuk menghubungi atasannya di Jakarta, karena ia mengatakan belum mendapat perintah atasannya tentang perlucutan senjata.
Ketika perundingan berjalan, rupanya Lettu Soebianto dan Lettu Soetopo sudah mengerahkan para taruna memasuki sejumlah barak dan melucuti senjata yang ada di sana dengan kerelaan dari anak buah Kapten Abe. Sekitar 40 orang Jepang disuruh berkumpul di lapangan. Kemudian secara tiba-tiba terdengar bunyi tembakan, yang tidak diketahui dari mana datangnnya. Bunyi tersebut segera disusul oleh rentetan tembakan dari tiga pos penjagaan bersenjatakan mitraliur yang tersembunyi yang diarahkan kepada pasukan taruna yang terjebak. Serdadu Jepang lainnya yang semula sudah menyerahkan senjatanya, tentara Jepang lainnya yang berbaris di lapangan berhamburan merebut kembali sebagian senjata mereka yang belum sempat dimuat ke dalam truk.
Dalam waktu yang amat singkat terjadilah penembakan membabi buta yang menyebabkan Taruna MAT menjadi sasaran empuk. Tindakan Mayor Daan Mogot yang segera berlari keluar meninggalkan meja perundingan dan berupaya menghentikan pertempuran namun upaya itu tidak berhasil. Taruna MAT yang berhasil lolos menyelamatkan diri di antara pohon-pohon karet. Dalam peritiwa ini, Mayor Daan Mogot terkena peluru pada paha kanan dan dada. Akhirnya 33 taruna dan 3 perwira gugur dan 10 taruna luka berat serta Mayor Wibowo bersama 20 taruna ditawan, sedangkan 3 taruna, yaitu Soedarno, Menod, Oesman Sjarief berhasil meloloskan diri pada 26 Januari dan tiba di Markas Komando Resimen TKR Tangerang pada pagi hari.
Tanggal 29 Januari 1946 di Tangerang diselenggarakan pemakaman kembali 36 jenasah yang gugur dalam peristiwa Lengkong disusul seorang taruna Soekardi yang luka berat namun akhirnya meninggal di RS Tangerang. Mereka dikuburkan di dekat penjara anak-anak Tangerang. Selain para perwira dari Tangerang, Akademi Militer Tangerang, kantor Penghubung Tentara, hadir pula pada upacara tersebut Perdana Menteri RI Sutan Sjahrir, Wakil Menlu RI Haji Agoes Salim yang puteranya Sjewket Salim ikut gugur dalam peristiwa tersebut beserta para anggota keluarga taruna yang gugur. Pacar Mayor Daan Mogot, Hadjari Singgih memotong rambutnya yang panjang mencapai pinggang dan menanam rambut itu bersama jenasah Daan Mogot. Setelah itu rambutnya tak pernah dibiarkan panjang lagi.
(Catatan keluarga: Daan Mogot lahir dari pasangan Nicolaas Mogot dan Emilia Inkiriwang (Mien) dengan nama Elias Daniel Mogot. Ayahnya ketika itu adalah Hukum Besar Ratahan. Ia anak kelima dari tujuh bersaudara. Saudara sepupunya antara lain Kolonel Alex E. Kawilarang (Panglima Siliwangi, serta Panglima Besar Permesta) dan Irjen. Pol. A. Gordon Mogot (mantan Kapolda Sulut). Pada tahun 1939, yaitu ketika ia berumur 11 tahun, keluarganya pindah dari Manado ke Batavia (Jakarta sekarang) dan menempati rumah di jalan yang sekarang bernama Jalan Cut Meutiah – Jakarta Pusat. Di Batavia, ayahnya diangkat menjadi anggota VOLKSRAAD (Dewan Rakyat masa Hindia-Belanda). Kemudian ayahnya diangkat sebagai Kepala Penjara Cipinang). Disarikan dari http://id.wikipedia.org/wiki/Daan_Mogot.
JOOP WAROUW. Nama sarani (Kristen Protestan) Jacob Frederick Warouw alias Joop. Lahir di Batavia, 8 September 1917. Memulai perjuangannya membelah tanah air melalui karir militer, tahun 1942-1945 : Wakil Pimpinan Bagian Pasukan PERISAI (Pemuda Republik Indonesia Sulawesi) merangkap Kepala Pasukan (setingkat regu). Pada bulan oktober 1945 bertugas sebagai Kepala Barisan PRI Sulawesi (PERISAI)/KRIS Surabaya . Salah satu Komandan Regu Barisan Istimewa PERISAI bersama-sama dengan D.Somba, Oetoek Laloe,H.V.Worang (Kembi).
Catatan. Konon pada waktu pasukan sekutu Inggris yang dikomandani oleh Jenderal Mellaby mendarat di pantai Soerabaya, tepatnya tanggal 10 November 1945, seseorang yang ada di jembatan merah mengarahkan senjata laras panjangnya dan menembak ke arah Jenderal Melllaby yang berdiri di atas panzer. Akibat penembakan ini merupakan pemicu terjadinya perlawanan arek-arek Soeroboyo terhadap pasukan sekutu. Siapakah seseorang tersebut, tak lain adalah Joop Warouw (Sumber: EW)
Tahun 1946, berdasarkan track-record sebagai prajurit pejuang yang telah memperlihatkan kinerjanya sebagai perwira militer yang handal dalam mempertahankan kemerdekaan, karir militernya naik menjadi Wakil Komandan/Kepala Staf Divisi VI Tentara Laut RI (TLRI)merangkap Ka. Personalia di Lawang- Jawa Tengah (pangkat Letkol). Dan pada tahun 1946-1948 Wakil Komandan/Kepala Staf ALRI Pangkalan X di Situbondo Jatim merangkap Ka.Sie. Operasi (ex Divisi VI ALRI). Kemudian, para tahun 1958-1950 diangkat menjadi Komandan Brigade XVI di Yogyakarta. Dan akhirnya pada tahun 1950-1952 diberi tugas untuk menangani masalah pertahanan dan keamanan di daerah asal, menduduki jabatan militer sebagai Komandan Komando Pasukan (KOMPAS) B - Sulawesi Utara & Maluku Utara (Resimen Infanteri 24 (RI-24) di Manado; selanjutnya sebagai Komandan Komando Pasukan (KOMPAS) D - Maluku Selatan (Resimen Infanteri 25 (RI-25) di Ambon dan Komandan Komando Pasukan (KOMPAS) A - Sulawesi Selatan (Resimen Infanteri 23 (RI-23) di Makassar.
Tahun 1952-1953 merupakan eras krisis politik kemiliteran, di mana peristiwa 17 Oktober 1952 mendaulat Kol. Gatot Subroto sebagai Panglima TT-VII/TTIT, sementara Joop Warouw sendiri dipercayakan menjabat Kepala Staf TT-VII/Indonesia Timur (Maret '52, dan pejabat sementara Panglima TT-VII (5 Jan '53).
Puncak karir militernya sebagai perwira tinggi ditubuh AD, yaitu pada tahun 1954-1956 didaulat oleh negara sebagai Panglima TT-VII/Wirabuana dengan pangkat Kolonel (TMT 1 Agt'54), dan kemudian pada tahun 1956-1958 diberi kepercayaan untuk menjadi Atase Militer pada Kedubes RI di Peking (Beijing) Cina (TMT bulan Agustus 1956).
Babe Palar Foto: Bode |
LPN memulai pendidikan sekolah menengah (Belanda: Meer Uitgebreid Lager Onderwijs (MULO) di Tondano. Dia pindah ke Jawa untuk menghadiri sekolah tinggi (Belanda: Algeme (e) ne Middelbare School (AMS) di Yogyakarta di mana ia tinggal dengan Sam Ratulangi. Pada tahun 1922, Palar memulai studinya di Politeknik (Belanda: Technische Hoogeschool) di Bandung, yang sekarang dikenal sebagai Institut Teknologi Bandung (bahasa Indonesia: Institut Teknologi Bandung (ITB)). Di sekolah ini, Palar berkenalan dengan nasionalis Indonesia seperti Sukarno. Sebuah penyakit parah dipaksa Palar putus sekolah dan kembali ke Minahasa. Palar akhirnya ulang studinya di sekolah hukum (Belanda: Rechts Hoogeschool) di Batavia (sekarang Jakarta) di mana ia bergabung dengan organisasi pemuda bernama Muda Minahasa (bahasa Indonesia: Jong Minahasa). Pada tahun 1928, Palar pindah ke Belanda untuk belajar di University of Amsterdam (Belanda: Universiteit van Amsterdam).
Karir Politik di Belanda
Pada tahun 1930, Palar menjadi anggota Buruh Sosial Demokrat Partai (Belanda: Sociaal- Democratische Arbeiders Partij (SDAP)) segera setelah SDAP mengadakan Kongres Kolonial dan memilih pada proposisi yang meliputi tanpa syarat mengakui hak kemerdekaan nasional untuk Hindia Belanda. Palar kemudian memegang posisi sekretaris Komisi Kolonial dari SDAP dan Belanda 'Federasi Serikat Buruh (Belanda: Nederlands Verbond van Vakverenigingen (NVV) mulai pada bulan Oktober 1933. Ia juga direktur Persbureau Indonesia (Persindo), yang diberi tugas untuk mengirimkan artikel yang berhubungan dengan demokrasi sosial Belanda ke Hindia Belanda. Pada tahun 1938, Palar kembali ke tanah airnya dengan istrinya, Johanna Petronella Volmers, yang ia menikah pada tahun 1935. Ia melakukan perjalanan di seluruh nusantara dan mengumpulkan informasi mengenai perkembangan terkini. Ia menemukan bahwa gerakan nasionalis Indonesia sangat banyak hidup dan kembali ke Belanda menulis tentang pengalamannya.
Selama pendudukan Jerman Belanda, Palar tidak bisa bekerja untuk SDAP dan bukan bekerja di Van der Waals Laboratorium. Dia juga mengajar kelas untuk bahasa Melayu dan menjadi gitaris di sebuah ensemble Kroncong. Selama perang, Palar dan istrinya bergabung dengan gerakan bawah tanah anti-Nazi. Setelah perang, Palar terpilih ke dalam Majelis Rendah (Belanda: Tweede Kamer) yang mewakili Partai Buruh yang baru dibentuk (Belanda: Partij van de Arbeid (PvdA)), yang berasal dari SDAP. Setelah Deklarasi Kemerdekaan Indonesia pada tanggal 17 Agustus 1945, Palar yang simpatik terhadap proklamasi dipromosikan kontak dengan kaum nasionalis Indonesia. Ini tidak diterima dengan baik oleh PvdA yang dihasilkan dalam partai menjauhkan diri dari posisi asli tanpa syarat mengakui hak kemerdekaan nasional untuk Indonesia, yang ditentang oleh Palar. Menjadi yang diberikan oleh pihak di atas sebuah misi pencarian fakta ke Indonesia, Palar kembali bertemu dengan para pemimpin Revolusi Nasional Indonesia, termasuk Presiden Sukarno. Palar terus mendesak resolusi non-kekerasan dari sengketa antara Belanda dan Republik Indonesia yang baru. Namun, pada tanggal 20 Juli 1947, parlemen memutuskan untuk memulai Polisi Aksi (Belanda: Politionele Acties) di Indonesia. Palar mengundurkan diri dari parlemen dan Partai Buruh pada hari berikutnya.
Mewakili Indonesia
Wakil Presiden Hatta dan Ratu Belanda Juliana pada upacara penandatanganan di Den Haag di mana Belanda mengakui kedaulatan Indonesia. Palar bergabung dengan upaya untuk pengakuan internasional kemerdekaan Indonesia dengan menjadi Perwakilan Indonesia untuk PBB pada tahun 1947. Ia tetap dalam posisi ini sampai 1953. Periode waktu ini mencakup peristiwa penting seperti konflik Belanda-Indonesia terus, penyerahan kedaulatan dari Belanda, dan masuknya Indonesia sebagai anggota Perserikatan Bangsa-Bangsa.
Selama konflik Belanda-Indonesia, Palar berpendapat kasus kemerdekaan Indonesia di PBB dan Dewan Keamanan, meskipun statusnya hanya sebagai "pengamat" karena Indonesia bukan anggota PBB pada saat itu. Setelah Polisi kedua Aksi itu tidak populer dan kemudian dikutuk oleh Dewan Keamanan, Perjanjian Roem-van Roijen telah ditandatangani, yang menyebabkan Konferensi Meja Bundar Belanda-Indonesia dan pengakuan kedaulatan Indonesia oleh Belanda pada tanggal 27 Desember 1949.
Indonesia diakui sebagai Negara Anggota ke 60 Perserikatan Bangsa-Bangsa (PBB) pada 28 September 1950. Menjadi sebagai Duta Besar Indonesia pertama untuk PBB, Palar berterima kasih atas dukungan PBB dan berjanji bahwa Indonesia akan menjalankan peran sebagai negara anggota PBB secara bertasnggungjawab. Palar melanjutkan karyanya di PBB sampai yang menugaskan Duta Besar Indonesia untuk India. Pada tahun 1955, Palar diminta kembali ke Indonesia dan berperan dalam perencanaan Konferensi Asia-Afrika, yang dikumpulkan negara-negara Asia dan Afrika, sebagian besar yang baru merdeka. Setelah konferensi, Palar kembali responsibities duta besar itu dengan mewakili Indonesia di Jerman Timur dan Uni Soviet. Dari tahun 1957 sampai tahun 1962, ia menjadi Duta Besar untuk Kanada dan setelah itu kembali ke PBB sebagai Duta Besar sampai 1965. Sukarno menarik keanggotaan Indonesia di PBB karena konflik Indonesia-Malaysia dan pada pemilihan Malaysia ke dalam Dewan Keamanan. Palar kemudian menjadi Duta Besar untuk Amerika Serikat. Di bawah kepemimpinan baru Soeharto pada tahun 1966, Indonesia meminta pembukaan kembali keanggotaan PBB dengan pesan kepada Sekretaris Jenderal yang disampaikan oleh Palar.
Palar pensiun dari dinas luar negeri pada tahun 1968 memiliki melayani negara selama awal perjuangan dan konflik dan berjuang untuk kebebasan dalam arena diplomatik. Palar kembali ke Jakarta, tetapi tetap aktif melalui lectureships, kerja sosial, dan sebagai penasihat Perwakilan Indonesia untuk PBB. Lambertus Palar Nikodemus meninggal di Jakarta pada 12 Februari 1980. Dia meninggalkan istrinya, Johanna Petronella "Yoke" Volmers, dan anak-anak Mary Elizabeth Singh, Maesi Martowardojo, dan Bintoar Palar.
ROBERT W. MONGISIDI (Posted 22 Mei 2009 by obo/Oleh: Drs. A. Noldi Mandagie)
Tanggal 14 Februari 1925, dari kandungan ibu pertiwi lahirlah seorang anak bangsa nan perkasa, Robert Wolter Monginsidi, anak suku Bantik - Minahasa di pesisir desa Malalayang, sebagai putera ke 4 dari 11 bersaudara, hasil buah cinta Petrus Monginsidi dengan Lina Suawa. Wolter Monginsidi dengan panggilan kesayangan “BOTE” tumbuh sebagai seorang anak yang berani, percaya diri, jujur, serta cerdas dan pantang menyerah.
Menuntut ilmu pengetahuan menjadi tekadnya yang bulat walau situasi dan kondisi sangat berat untuk diterobos. Namun dengan semangatnya yang membara ia berjuang merebut peluang memasuki dunia pendidikan HIS tahun 1931, kemudian melangkah penuh kepastian ke Sekolah MULO Frater Don Bosco Manado dan berlanjut ke Sekolah Pertanian yang didirikan Jepang di Tomohon serta Sekolah Guru Bahasa Jepang, yang akhirnya membawa dia sebagai guru Bahasa Jepang di Malalayang Liwutung dan Luwuk Banggai dalam usia muda 18 tahun.
Genggaman tangan-tangan penjajah, semakin membangkitkan semangat juang Wolter Monginsidi, untuk terus mengejar cita-citanya, belajar dan terus belajar, sampai ia memapaki kakinya di Makassar dan masuk SNIP Nasional kelas III di tahun 1945.
Namun di hari-hari perjuangannya menuntut ilmu di Makassar. Wolter Monginsidi semakin tak kuasa menyaksikan kekejaman kaum penjajah. Jiwa patriotismenya makin membara. Untuk lebih efektif dan berdaya guna semua potensi yang ada untuk kepentingan perjuangan mempertahankan kemerdekaan Negara Kesatuan Republik Indonesia (NKRI) maka pada tanggal 17 Juli 1946, diadakan konferensi di desa Rannaya. Dalam konferensi itu, dibentuk suatu induk organisasi kelaskaran yang disebut LAPRIS (Laskar Pemberontak Rakyat Indonesia Sulawesi), terpilih sebagai Ketua Ranggong daeng rongo, Sekjen Wolter Monginsidi.
Keberanian kecerdasan dan pembawaan diri Wolter Monginsidi telah membuatnya makin disegani dan dipercaya sampai memimpin aksi pertempuran melawan tentara Belanda baik di dalam kota maupun di luar kota. Dengan berbagai taktik dan strategi Wolter memimpin gerakan perlawanan yang mencengangkan serta menegangkan pihak Belanda.
Keberhasilan dalam perjuangannya melawan penjajah, serta tekadnya untuk membebaskan bangsa ini dari cengkeraman penjajah sungguh tak dapat diraihnya dengan tuntas karena pada tanggal 28 Februari 1947 Wolter ditangkap tentara Belanda di Sekolah SMP Nasional Makassar.
Walau rantai-rantai mengikatnya di belakang terali besi, namun niat untuk meneruskan perjuangan bersama putra-putra bangsa terbaik tetap bergelora agar terbebas dari kunkungan penjajah. Pada tanggal 17 Oktober 1948 malam, bersama Abdullah Hadade, HM Yoseph dan Lewang Daeng Matari melarikan diri dari penjara melalui cerobong asap dapur, sebelum pelarian dilaksanakan, kawan-kawan Wolter dari luar telah menyelundupkan 2 buah granat tangan yang dimasukan di dalam roti.
Namun, walaupun tekadnya dapat terwujud tapi udara kebebasan hanya dihirupnya selama 10 hari sehingga impiannya melanjutkan perjuangan pupus, ketika pasukan Belanda menyekap kembali Wolter pada tanggal 28 Oktober 1948. Tertangkapnya Wolter akibat dari ruang gerak mereka sudah sangat sempit, juga, akibat bujukan dan rayuan Belanda untuk memberi hadiah bagi siapa saja yang menangkap Wolter diberi uang Rp 400,- Abdullah Hadade Rp 300,- HM Yoseph Rp 200,- dan Lewang Daeng Matari Rp 100,-. Dengan hadiah uang para pejuang kita dikhianati, di mana-mana ada mata-mata Belanda sehingga Wolter pernah mengatakan “ Tidak ada lagi bantal untuk kubaringkan kepalaku di sini.”
Wolter dimasukkan ke dalam tahanan di Kiskampement Makassar dengan tangan dan kakinya dirantai dan dikaitkan di dinding tembok. Wolter dijatuhi vonis hukuman mati pada tanggal 26 Maret 1949 oleh hakim Meester B Damen.
Dalam perenungannya menjalani hari-hari penuh duka mendekam di penjara menanti eskekusi hukum mati, Robert Wolter Monginsidi, mencoba menerobos kembali ke alam bebas lewat goresan pena yang dirangkai dalam deretan kata bermakna untuk saudara-saudaranya dan anak-anak bangsa sebagai ungkapan tekad dan kesetiaannya terhadap ibu pertiwi Indonesia serta harapan untuk meneruskan perjuangan suci buat bangsanya.
Renungkanlah sekilas cuplikan pesan-pesan dalam kata-kata bijak Robert Wolter Monginsidi berikut ini:
Jangan takut melihat masa yang akan datang. Saya telah turut membersihkan jalan bagi kalian meskipun belum semua tenagaku kukeluarkan.
Jangan berhenti mengumpulkan pengetahuan agar kepercayaan pada diri sendiri tetap ada dan juga dengan
kepercayaan teguh pada Tuhan, janganlah tinggalkan Kasih Tuhan mengatasi segala-galanya.
Bahwa sedari kecil harus tahu berterima kasih tahu berdiri sendiri…….belajarlah melipat kepahitan ! Belajar mulai dari 6 tahun…dan jadilah contoh mulai kecil sedia berkorban untuk orang lain.
Apa yang saya bisa tinggalkan hanyalah rohku saja yaitu roh “setia hingga terakhir pada tanah air ‘ dan tidak mundur sekalipun menemui rintangan apapun menuju cita-cita kebangsaan yang ketat.
Memang betul, bahwa ditembak bagi saya berarti kemenangan batin dan hukuman apapun tidak membelenggu jiwa……
Perjuanganku terlalu kurang, tapi sekarang Tuhan memanggilku, rohku saja yang akan tetap menyertai pemuda-pemudi…semua air mata, dan darah yang telah dicurahkan akan menjadi salah satu fondasi yang kokoh untuk tanah air kita yang dicintai Indonesia.
Saya telah relakan diriku sebagai korban dengan penuh keikhlasan memenuhi kewajiban buat masyarakat kini dan yang akan datang, saya penuh percaya bahwa berkorban untuk tanah air mendekati pengenalan kepada Tuhan yang Maha Esa.
Jika jatuh sembilan kali, bangunlah sepuluh kali, jika tidak bisa bangun berusahalah untuk duduk dan berserah kepada Tuhan.Ketika tiba pada hari Senin tanggal 05 September 1949 sebagai hari penghukuman pada sekitar jam 05.00 subuh, di Panaikang Tello, putera bangsa terbaik Robert Wolter Monginsidi dengan gagah berani berdiri tegak di hadapan regu penembak.
Wolter menulis surat pada secarik kertas sebagai pernyataan keyakinannya kepada Tuhan dan perjuangannya untuk Kemerdekaan Bangsa Indonesia tidak pernah pudar yaitu:
Setia Hingga Akhir di Dalam Keyakinan, Saya minta dimakamkan di Polombangkeng karena disana banyak kawan saya yang gugur.
Sampaikan salam saya kepada Papa, saudara-saudara saya di Malalayang serta teman-teman seperjuangan, saya jalani hukuman tembak mati ini dengan tenang, tidak ada rasa takut dan gentar demi Kemerdekaan Bangsa Indonesia tercinta.
Sesaat sebelum menuju ke tempat penembakan Wolter menjabat tangan semua yang hadir dan kepada regu penembak. Wolter berkata; “ Laksanakan tugas saudara, saudara-saudara hanya melaksanakan tugas dan perintah atasan, saya maafkan saudara-saudara dan semoga Tuhan mengampuni dosa-dosa saudara-saudara.“
Ketegaran dan keteguhan hati menghadapi moncong-moncong senjata yang dibidikan kepadanya dan menolak ketika matanya akan ditutup, ia berucap; “ Dengan hati dan mata terbuka, aku ingin melihat peluru penjajah menembus dadaku.“
Dengan pekikan’ Merdeka….merdeka..merdeka.. !!! dari Wolter, maka 8 butir peluru dimuntahkan ke tubuhnya, 4 peluru di dada kiri, 1 di dada kanan, 1 di ketiak kiri menembus ketiak kanan, 1 dipelipis kiri dan 1 di pusar, dan seketika ia terkulai. Wolter gugur dalam usia 24 tahun.
‘SETIA HINGGA TERAKHIR DALAM KEYAKINAN” itulah sebuah tulisan Wolter yang ditemukan pada Alkitab yang dibawahnya ketika eksekusi dilakukan. Itulah akhir kisah perjuangan Robert Wolter Monginsidi.
Memang masa perjuangannya terlalu singkat,. Tapi masa perjuangannya ditumpahkan dalam pergulatan batin, wawasan dan cakrawala pikirannya yang luas semangat nasionalisme dan jiwa patriotisme serta kecerdasannya tidaklah sependek waktu perjuangan yang dipersembahkannya untuk ibu pertiwi.
Untuk menghormati perjuangannya, maka sederet penghargaan dianugerahkan pemerintah Indonesia kapada sang pahlawan Robert Wolter Monginsidi. Keharuman namanya, seperti Bintang Gerilya (tahun 1958), Bintang Maha Putera Kelas III (tahun 1960), serta ditetapkannya sebagai Pahlawan Nasional (1973).
Indonesia, inilah putramu yang datang dari rahim bumi pusaka Indonesia…..
Diriwayatkan kembali oleh Drs. A. Noldi. Mandagie dalam peringatan 56 tahun wafatnya Bote di Tana’ Lapang Malalayang, Senin 05 September 2005, diturunkan tanpa di edit.
Refleksi
Semua bangsa/negara nasional di dunia memiliki sejarah yang tak mungkin dihapuskan sebagai arsip – dokumen negara. Siapa pun yang berperan sebagai tokoh sejarah, sekecil apa pun perannya mesti dihormati. Bung Karno sebagai proklamator kemerdekaan RI pun pernah menyatakan, “bangsa yang besar menghormati jasa para pahlawannya”.
Demikian juga halnya para tokoh pejuang di atas, lepas dari latar belakang primordial mereka (secara kebetulan berasal Minahasa dan beragama Kristen), apa yang telah mereka buat untuk bangsa ini tak lain adalah demi merah putih.
Sebagai warga negara, secara objektif saya harus akui bahwa peran mereka di kancah mempertahankan proklamasi kemerdekaan RI, cukup strategis dan menentukan, terutama untuk menyatakan kepada dunia bahwa perjuangan kemerdekaan Republik Indonesia dilakukan secara nasional oleh seluruh anak negeri yang ada pada waktu itu. Terlebih untuk mematahkan isu primordial yang diprovokasi oleh Belanda bahwa yang mengibarkan merah putih hanya di pulau Jawa, padahal pada tanggal 14 Pebruari 1946 sempat beberapa jam merah putih berkibar sehingga menjadi alasan bagi Lambertus Babe Palar, dkk di forum PBB untuk menepis provokasi Belanda tersebut. Merdeka!
--------------------------------------------------------
Waraney Camp, 23 Januari 2011
http://www.facebook.com/profile.php?id=100000212354865#%21/notes/albert-kusen/demi-merah-putih-peran-waraney-waraney-minahasa-dalam-mempertahankan-kemerdekaan/10150091991628449?notif_t=like
0 comments:
Post a Comment