Menuju Keseragaman Penulisan Bahasa Toudano
Oleh Ray Maleke
Setelah sekian lama identitas lokal menjadi korban akulturasi dari ideologi penjajah kemudian ultra-nasionalisasi budaya negara, sekarang ini telah muncul kesadaran di dalam diri masyarakat etnis yang berbudaya, berbangsa dan berbahasa untuk tampil ke depan dengan kebanggaan identitas etnisnya, bukan dengan sikap primodialisme, melainkan dengan perspektif bahwa kekayaan budayanya adalah kekayaan nasional (bahkan internasional), dan bukan rintangan pada agenda nasional untuk pembangunan Indonesia bersama. Hal inilah yang nampak dari persepsi jati diri Minahasa, yang mengemuka dalam lahirnya kembali kerinduan berbahasa daerah di dalam diri Tou Minahasa, teristimewa Tou Toudano.
Ungkapan “so kuno ngana,” atau “orang gunung,” dulunya menimbulkan rasa sungkan (malu) bagi penutur bahasa daerah, terutama kaum muda yang ingin dianggap modern dan maju, namun komentar semacam itu sekarang ini akan memberikan kesan bahwa orang itu “berpikiran sempit,” atau “korban akulturasi” – ia tidak mempunyai sense of belonging (rasa kepemilikan) pada suatu identitas, karena ia tidak bisa menghargai identitas orang lain, atau identitas yang telah “diasingkan” dari dirinya. Sementara itu, di kalangan penutur bahasa daerah, baik yang muda maupun yang tua, telah muncul rasa bangga yang disertai meningkatnya self-esteem, karena pertama ia telah dianggap mampu menjaga identitas budayanya, kedua ia mempunyai sense of belonging, identitas diri, yang berdampak pada aktualisasi diri, sehingga dengan demikian juga, lahir keinginan untuk terus melestarikan jati diri itu.
Jikalau bahasa menandakan bangsa, maka penulisan bahasa menandakan kulminasi bangsa itu pada kemajuannya. Di sisi lain, penulisan bahasa adalah penting, karena dengan demikian saja bahasa itu mempunyai validitasnya tersendiri. Bahasa yang tidak tertulis berpotensi hilang pada satu titik tanpa meninggalkan bekas apa-apa. Banyak suku bangsa di dunia ini yang telah mengalaminya, dan yang tertinggal dari sejarah mereka, jikalau ada, adalah nama suku bangsa itu saja, tak ada lagi cerita atau kata-kata yang merupakan bentuk ”arkeologi” dari suatu bangsa yang pernah eksis.
Setiap bangsa dan suku bangsa mempunyai unconscious demand untuk tetap eksis, karena keinginan itu melekat erat pada titik inti manusia, baik sebagai individu atau kolektif. Sebagai Tou Toudano, kita mempunyai unconscious demand supaya bangsa dan identitas bangsa yang menandakan siapa kita dijaga dan dipelihara, dan karena itulah penulisan Bahasa Toudano perlu mendapat perhatian serius.
Tantangan bagi para pengguna Bahasa Toudano sekarang ini adalah cara penulisannya yang masih belum seragam. Hal ini dimaklumi karena baru pada dekade terakhir ini Bahasa Toudano mendapat perhatian dari badan pendidikan kita, dan itupun belum pada titik yang kita semua harapkan, karena Bahasa Daerah masih menjadi bagian dari Muatan Lokal (Mulok); maksudnya adalah sekolah dapat memilih apakah Bahasa Daerah perlu diajarkan, atau diisi dengan bahasa asing atau kegiatan lainnya. Demikian juga, telah ratusan tahun bahasa ini ditekan ke bawah arus komunikasi, diterpa badai akulturasi dan pencitraan negatif, ditambah lagi dengan terjadinya disorientasi budaya dalam diri masyarakat yang membuat akar budaya menjadi rapuh dan tak tertanam dengan kuat. Semua ini menyebabkan sistematika bahasa, tata bahasanya dan juga penulisannya, yang seragam dan yang memenuhi syarat-syarat ilmu linguistik mengundang lebih banyak energi untuk diciptakan.
Group-group Bahasa Toudano yang bisa kita dapati di jaringan social network online, seperti Facebook, Yahoo Group, dll, merupakan satu bentuk kebanggaan dan realisasi jati diri yang penting untuk kita semua apresiasi. Demikian juga dengan buku, kamus, artikel, dan berbagai jenis tulisan yang telah dibaktikan, termasuk yang saat ini sedang diupayakan Pusat Penerjemahan Bahasa (PPB) UKIT, yaitu menerjemahkan Alkitab ke dalam Bahasa Toudano dan menerbitkan buku-buku Mulok. Namun masih menjadi pergumulan bagi kita semua sebagai masyarakat bahasa, bahwa penulisan Bahasa Toudano masih saling berbeda antara satu dengan yang lain. Hal ini menimbulkan pertanyaan pada proses pelestarian bahasa itu sendiri, karena akibatnya pada pembelajaran bagi anak-anak di sekolah-sekolah yang menuntut keseragaman, termasuk bagi pengguna bahasa Toudano sendiri.
Oleh karena itu, penyeragaman penulisan harus menjadi salah satu agenda utama dalam upaya pelestarian Bahasa Toudano. Hal ini membutuhkan partisipasi pengguna bahasa dan pedoman akademik, yaitu dari segi ilmu linguistik. Dalam hal ini, pihak PPB UKIT mempunyai kompetensi yang perlu kita hargai. Penerjemahan Alkitab ke dalam bahasa-bahasa di Minahasa melibatkan organisasi internasional yang berkompeten dalam bidang bahasa, yaitu Summer Institute of Linguistic (SIL) dan Wycliff Bible Translation. Kedua organisasi ini telah berkecimpung dalam pendokumentasian bahasa-bahasa di seluruh dunia, dan metode penyusunan tata bahasanya disesuaikan dengan standar penulisan tata bahasa internasional, dan dalam penyusunan tata bahasa sederhana sebagai pedoman membaca dan menulis Bahasa Toudano mereka melibatkan secara kritis penutur bahasa dan buku-buku yang telah ditulis oleh para ahli bahasa Minahasa.
Sebagai pencinta dan pelestari bahasa ibu (mother tongue/vernacular), marilah kita melatih diri kita supaya mahir menggunakan bahasa (di antarnya adalah dengan menulis dengan baik dan benar) dengan memperhatikan kaidah-kaidah penulisan bahasa. Harapan kita bersama adalah supaya bahasa kita dapat lestari dan membangunkan di dalam diri kita semua Tou Toudano semangat dan kerinduan untuk membangun Minahasa, dan kampung halaman kita yang indah oleh danau, gunung, sungai, dan pantainya. Demikian bahwa hal ini adalah tugas kita bersama, marilah kita juga saling mapéro-péroan wo maturu-turu’an, wo rior itu toro kalo’orala en nuwu’ta karengan (saling memperbaiki dan saling memberi petunjuk, supaya kita dapat menikmati kelangengan bahasa kita sendiri). Akaré’la witu, wo péroani sa wewéan simélok (sampai di sini dulu, dan mohon diperbaiki jika ada yang salah). Tabéa.
0 comments:
Post a Comment