Sejarah Singkat Berdirinya Wanua Wulauan
Jezriell Makiolor
Keaadaan ini setelah berakhirnya Perang Tondano dan dibuka kembali pemukiman oleh Tentara Inggris 1812 di Sebelah Utara Danau Tondano dan Minawanua. Yang berada di antara Sungai Temberan.
· Letak Geografis
Wanua(Desa/Kelurahan) Wulauan terletak di Wilayah Kecamatan (Distirk) Tondano Utara sekarang (Toulimambot: sebelah sendangan Sungai Temberan/Tondano) Kabupaten Minahasa yang berbatasan antara lain:
Sebelah Barat Kelurahan Kampung Jawa (JATON)
Sebelah Timur persawahan Touberis (Ranowangko)
Sebelah Utara persawahan Tawe (Tonsea)
Sebelah Selatan Sungai Sumesempot.
Sebagian besar tanah yang ada di Wanua Wulauan adalah Persawahan dan sebagian lagi adalah Ladang Datar dan Berbukit.
· Asal Usul Penduduk Dan Perkembanganya
Pada jaman pemerintahan Hindia Belanda yaitu Tahun 1896 telah di tunjuk seorang pribumi yang diangkat menjadi Pejabat Pemerintahan Belanda di Distrik Tondano-Toulimambot yaitu Alexander Hendrik Daniel Supit yang diberi tugas sebagai Hukum Kedua (Kepala Kecamatan) dan disamping tugasnya itu beliu melaksanakan perluasan distrik dengan membangun Kampung Baru atau Wanua.
Sebelum dijadikan Wulauan adalah ladang perkebunan dan persawahan masyarakat sekitar juga sudah ada yang mendiami wilayah ini. Pada Tahun 1925-1940 Dalam pelakasanaan perluasan Distrik terhambat dengan rencana Kolonisasi masyarakat oleh Minahasa Raad (Dewan Minahasa) saat itu ke sebelah Selatan Minahasa Tompaso Baru dan di daerah Tombariri dan Warembungan.
Perluasan perkampungan atau wanua yang diprakarsai oleh Alexander Hendrik Daniel Supit pada Tahun 1899, dimana musyawarah antara seluruh Hukum Tua se-Tondano- Toulimambot menghasilkan suatu kesepakatan bahwa lokasi perluasan Wanua terletak di sebelah timur Kampung Jawa (JATON) dan Sebelah Utara Wanua Papakelan yang disebut GESEL dan untuk menempati lokasi tersebut harus dipilih orang-orang yang kuat yang berasal dari sekitaran Wanua-Wanua diTondano. Pada waktu itu Alexander Hendrik Daniel Supit menunjuk Hukum Tua Wanua Kendis untuk mengaturnya, persiapan pembentukan Wanua berjalan kira-kira selama 2 Tahun dan penduduk yang datang diberi tanah seluas 40 x 35 Mtr dimana ruas jalan hanya ditempati oleh 3 Keluarga. Sebelum Wanua Wulauan berdiri atau diresmikan maka diadakan pesiapan Upacara Ritual menurut kepercayaan masyarakat saat itu yang dipimpin oleh Walian sebagai kepala adat tetua adat. Untuk mendirikan wanua harus “KUMOOKO” yang artinya harus bertanya pada Tuhan (Opo Empung) yang dinyatakan oleh suara burung manguni yang memberi tanda baik dan tidak dan apabila bunyinya bagus berarti permohonan dikabulkan. Dalam upacara pertama atau “KUMOOKO” tersebut mula-mula terdengar suara burung Jantan “BAIK” namun tua-tua berkata bahwa sudah bagus tapi berbahaya, sebab tanda tersebut menunjukan Parangen atau Keperkasaan yang berarti bahwa Wanua ini akan menghadapi banyak perkelahian dan oleh karena itu perlu pertanda lain.
Kemudian diadakan “KUMOOKO” kedua kalinya dan kali ini yang berbunyi adalah burung Betina yang sangat indah suaranya lalu berkatalah para Tua-tua “WULAUANA” yang artinya “MULIA”. Tanda tersebut langsung disetujui dan disambut dengan gembira dan saat itu juga ditanam Tawaang dengan “Putum” yaitu ucapan Sumpah atau Janji yang berbunyi: Karengan Umbanua Yei Lentutan Wulauan Ne Wewene, Wo Parangen Ne Tuama yang artinya: Semoga Negeri (Banua/Wanua) ini akan muncul Wanita-wanita (Wulan) Mulia (Cantik) dan Pria yang Perkasa (Waraney). sejak saat itu Banua ini dinamakan Wulauan yang di ambil dari bahasa tua “Mulia”.
Penanaman Tawaang tersebut dilaksanakan di halaman Hendrik C. Kuhon di bagian sudut kiri yang sekarang di tempati oleh keluarga Kuhon-Dotulong cucu tertua beliau. telah menjadi kebiasaan apabila ada pembagian kapling Tawaang itu dijadikan sebagai tanda batas yang harus disertai Ucapan Putum (Sumpah), oleh karena itu menjadi pantangan apabila Tawaang di cabut berarti melanggar janji dan biasanya bisa berakibat buruk bagi pelakunya.
Pendirian wanua ini langsung dilaporkan kepada Hukum Besar Alexander Hendrik Daniel Supit dimana saat itu merangkap Hukum Tua Taler dan sebagai pemrakarsa perluasan Wanua. Beliau sangat senang setelah mendengar cerita pendirian kampung ini oleh Tua-Tua bersama Hukum Tua Kendis Johanis Walangitan. Putum yang di ucapkan didengarnya, kemudian beliu berkata karena Wulauan yang mula- mula disebut maka kampung baru ini diberi nama Wulauan dan rencananya Parangen akan dipakai sebagai nama kampung baru di barat Papakelan GESEL sekarang, namun tidak digunakan karena kampung baru tersebut sudah menyatu dengan Papakelan. Maka pada tahun 1900 diadakan pemilihan Hukum Tua (Ukung Tua disingkat Kuntua )dan yang menjadi calon pada saat itu adalah :
1. Estefanus Walangitang dari Wanua Luaan
2. Bernadus Masengi dari Wanua Wewelen
Dan yang terpilih sebagai hukum tua pertama adalah estefanus walangitang, dan pada waktu itulah wulauan resmi sebagai salah satu wanua di distrik tondano-toulimambot yakni tahun 1900.
Adapun Dotu yang datang di Wanua Wulauan berjumlah 14 Orang yaitu:
1. Tombokan
2. Walangitan
3. Legoh
4. Moningkey
5. Pesik
6. Paruntu
7. Sampouw
8. Mailensun
9. Mea
10. Rampangiley
11. Koroh
12. Manangkot
13. Ratulangi
14. Tololiu
· Mata Pencarian Pokok Penduduk Dan Sejarah Perkembanganya
Pada masa pemerintahan Estefanus Walangitang selama kurun waktu 12 tahun mata pencarian penduduk adalah Bertani/Bercocok Tanam dan “Matoor” yang berarti tukar menukar atau dalam bahasa sehari-hari “Batukar”. Gabah pada saat itu masih di olah secara tradisional cara menanam yang masih mengunakan sistem tabur atau “Pasiboi” dengan masa tanam setahun sekali kemudian diolah dengan cara ditumbuk beramai-ramai, pemasaranya juga hanya di sekitar Tondano.
Peningkatan kualitas pertanian dibawah lansung oleh Alexander Hendrik Daniel Supit sebagai Hukum Kedua Tondano-Toulimambot yang didapat dari pulau jawa setelah mengikuti pelatihan dan hasilnya dibuatlah sawah dengan sistem irigasi. Dengan adanya irigasi yang baik maka masa tanam menjadi 2 tahun sekali sehingga meningkatkan produksi Padi/Gabah. Maka dibuatlah Gilingan Padi/Gabah sistim tumbuk dengan mengunakan baling2 air yang tempatnya sekarang telah dijadikan bendungan yang sampai saat ini disebut-sebut “Gilingan” di tempat ini juga pernah ada sebuah pabrik pembuatan sabun cuci tapi tidak diketahui kapan berdirinya serta pendirinya. Ada juga beberapa masyarakat pada saat itu yang mempunyai keahlian seperti Benyamin Sampow sebagai Pandai Besi, yang di dapatnya dari Bolaang Mongondow sewaktu menjadi Guru di Desa Nuangan. Keluarga Kandow mempunyai keahlian Sebagai Penyamak kulit kemudian dilanjutkan oleh Wellem Legoh. Dan yang mempunyai keahlian perkayauan adalah Daud Lumingkewas, Eferhardus Regah dan Yakob Mawuntu.
· Nama-nama Hukum Tua/Kades/Lurah di Wanua/Desa/Kelurahan Wulauan sejak terbentuknya sampai sekarang (1901-2009) antara lain:
1. Estefanus Walangitang 1901-1912 Hukum Tua
2. Herman Paruntu 1912-1925 Hukum Tua
3. Andris Walangitan 1925-1930 Hukum Tua
4. Hendrik Kuhon 1930-1934 Hukum Tua
5. Rompas Legoh 1934-1936 Hukum Tua
6. Jost Moningkey 1936-1939 Hukum Tua
7. Ferdinand Tololiu 1939-1943 Hukum Tua
8. Jacob Tualangi 1943-1946 Hukum Tua
9. Maramis Makiolor 1946-1950 Hukum Tua
10. Ernest Paruntu 1950-1958 Hukum Tua
11. Wim Lumingas 1958-1962 Hukum Tua
12. Martinus Moningkey 1962-1966 Kepala Desa
13. Willem Legoh 1966-1972 Kepala Desa
14. Willem Lasut 1972-1974 Kepala Desa
15. Johan Mamentu 1974-1988 Kepala Desa
16. Willy Paruntu 1988-1996 Lurah
17. Johny Wolayan 1996-2001 Lurah
18. Joudy Lasut, S.Si 2001-2006 Lurah
19. Telly Moningkey, SE 2006- Lurah
Inilah sejarah singkat yang ada sesuai informasi di sadur dari buku sejarah Jemaat GMIM Eben Haezer Wulauan yang ditulis oleh Tim Perumus Jemaat pada Medio Maret 1999, Sejarah Minahasa oleh FS Watuseke. Trima Kasih
Sumber: http://jezriellmakiolor.blogspot.com/
0 comments:
Post a Comment